- Karena, pernikahan adalah ibadah seumur hidup. Setiap langkahnya bisa menjadi pahala untuk kita, bisa juga menjadi dosa untuk kita.-
***
"Bunda bahagia sekali saat mengetahui jika pria yang akan menikah denganmu adalah anak Sekar. Dia teman bunda saat SMA, apalagi saat Fares datang untuk melamar kamu. Kamu tau apa alasan dia ingin menikahi kamu, sayang?"
"Dia mengatakan. 'Saya ingin menjaga Ayya dalam ikatan yang halal, Tante. Saya ingin menjaga anak Tante dan Om dalam ikatan suci dan memetik setiap pahala ibadah seumur hidup ini. Saya tahu saya belum memiliki pekerjaan tetap dan masih berstatus sebagai mahasiswa, tapi jika untuk menghidupi Ayya. Insya Alloh saya sanggup. Saya memiliki beberapa usaha bersama teman-teman. Saya akan bertanggung jawab dan menyayangi Ayya sepenuh hati, Tante.' Bukankah itu sangat gentle, sayang? Beruntung sekali kamu memiliki Fares. Kenapa tidak pernah bercerita pada Bunda?"
"Bukan begitu, Bunda. Ayya hanya belum sempat bercerita pada Bunda saja."
"Tidak apa-apa. Bunda bahagia kamu menemukan orang yang tepat. Bunda yakin Fares bisa menjaga dan melindungimu. Dia juga yang akan menggantikan peran Bunda dan Ayah."
"Iya, Bunda. Doakan Ayya, ya."
"Pasti sayang. Bunda sangat bahagia akhirnya anak Bunda menemukan pasangan hidupnya."
"Sah." Teriakan itu menyadarkan Ayya dari lamunannya. Usapan lembut di tangannya membuat ia meneteskan air mata menatap bundanya.
"Bunda." Ayya menangis, membuat Rita juga meneteskan air matanya. Ia mengusap pelan air mata di wajah Ayya tanpa merusak riasan anaknya itu.
"Detik ini. Anak bunda bukan lagi menjadi milik Bunda dan Ayah. Sekarang Ayya adalah milik suami Ayya. Jadilah istri yang berbakti sayang. Surga Ayya telah berpindah pada suami Ayya. Jangan berkata dengan nada tinggi. Layani dan cintai dia dengan sepenuh hati. Setiap tetes keringatnya adalah usaha untuk membahagiakanmu. Jadi, Ayya harus menjadi istri yang berbakti. Jangan saling mementingkan ego, dewasalah dalam menghadapi setiap sikap. Karena pernikahan adalah ibadah seumur hidup. Setiap langkahnya bisa menjadi pahala untuk kita, bisa juga menjadi dosa untuk kita."
Ayya semakin terisak mendengar nasihat Rita. Kenapa ucapan Rita begitu mengena di hati. Andai keadaannya memang dia dan Fares saling mencintai, pasti semuanya akan terasa lebih mudah.
"Jangan menangis, sayang. Ini adalah hari bahagiamu. Ayo keluar. Fares pasti sudah menunggu." Tepat setelah itu pintu terbuka, di sana ada Dimas. Ayah Ayya yang tersenyum begitu hangat dan tuxedo hitam yang membuatnya terlihat tampan di usia yang hampir senja. Pria paruh baya itu mengulurkan tangannya yang langsung di sambut oleh Ayya dengan sebuah pelukan.
"Ayah." Ayya kembali terisak, membuat Dimas tersenyum dan melepaskan pelukan anaknya itu.
"Suamimu sudah menunggu. Jangan menangis, berikan senyum terbaik Ayya. Dia adalah orang yang harus Ayya prioritaskan kebahagiaannya sekarang. Ayo." Dimas menggandeng lengan kiri Ayya, pun dengan Rita yang menghampiri mereka dan menggandeng lengan kanan Ayya.
Jantung Ayya berdebar keras saat telah duduk di samping Fares. Gadis itu belum berani melihat Fares. Ayya hanya terus menundukkan kepalanya, dia hanya terlalu takut dengan tatapan Fares yang mungkin akan menghancurkan perasaannya sekali lagi.
"Ayo cium tangan pada suamimu, sayang. " Bisikkan Bundanya membuat Ayya memejamkan matanya. Ia meraih tangan Fares dan menciumnya penuh perasaan.
Semua nasihat Bundanya tentang pernikahan kembali terputar di kepala Ayya. Membuat gadis itu kembali meneteskan air matanya. Pria yang dulu sangat jauh untuk ia jangkau. Kini menjadi seseorang yang sangat dekat dengannya. Yang akan menemaninya mengukir pahit manis kehidupan dan meraih asa yang masih menjadi sebuah doa.
Fares memejamkan matanya saat merasakan bibir lembut Ayya mencium punggung tangannya. Rasanya sangat damai dan melegakan. Namun, saat merasakan punggung tangannya basah. Pria itu seketika teringat akan nasihat Mamanya sebelum akad berlangsung.
"Di detik selanjutnya. Kamu adalah laki-laki dewasa yang memiliki tanggung jawab baru, Fares. Kamu menjadi seorang suami, telah mengambil anak gadis orang dari orang tuanya. Anak gadis yang sangat dimanja selama hidupnya oleh orang tuanya. Kini tugasmu menggantikan peran orang tuanya."
Sekar menggenggam erat tangan Fares, sedang Fares hanya mampu terdiam. Mencerna setiap kalimat Sekar yang rasanya sangat sulit ia realisasikan.
"Jangan pernah menyakitinya, sayang. Jika kau berniat menyakitinya. Ingatlah Mama. Jika kau menyakitinya berarti kau menyakiti Mama juga. Terlepas kenapa alasan kalian menikah, kau tetaplah harus bertanggung jawab untuk kebahagiaannya. Dia prioritasmu sekarang. Dia adalah wanita yang akan menemani kehidupanmu ke depannya. Belajarlah untuk mencintainya, Fares. Mama mohon, jangan menaruh benci padanya karena kejadian itu. Dia adalah wanita yang baik.
Mama percaya akan hal itu."
"Mah, Fares.... " Ucapan Fares tertahan saat Sekar menatapnya dengan senyum walau matanya berkaca-kaca.
"Perempuan adalah makhluk yang kuat sekaligus rapuh. Dia bisa menjadi kuat karena keadaan yang memaksa. Dia tidak ingin menunjukkan kerapuhannya pada siapapun. Jadi Mama minta, sekuat apapun Ayya nanti, Mama harap kamu akan menjadi tempat wanita itu untuk membuka segala kerapuhannya. Sayangi dia Fares. Pernikahan kalian ini, Mama yakin adalah hal terbaik yang Tuhan rencanakan. Kamu hanya perlu menjalani sebaik mungkin dan melupakan masa lalu."
"Fares," Panggil Ayya saat penghulu di depannya meminta mereka menandatangi buku nikah, namun Fares masih bergeming di tempatnya. Saat Ayya mendongak, ia melihat pria itu justru tengah melamun.
"Ah ya?" Fares tersadar dan melihat Ayya yang kini tengah menatapnya, begitu dekat. Hingga Fares kembali tersihir. Ayya terlihat begitu cantik dalam balutan kebaya berwarna putih. Wajah wanita itu yang berseri-seri membuatnya terlihat semakin cantik.
'Ya jelas dia berseri-seri. Keinginannya untuk memilikimu terwujud.'
'Ingat pesan Mamamu, Fares. Terimalah takdir dan jalani tanpa harus melihat ke belakang.'
Hati Fares kembali berperang, membuat pria itu sekali lagi melamun, hanyut dengan pikirannya.
"Fares," Ayya kembali memanggilnya, kini menggenggam tangan pria itu yang lagi-lagi melamun.
"Oh, sorry." Fares lalu menandatangi buku nikah itu dengan jantung berdetak keras. Dirinya telah resmi menjadi seorang suami. Telah memiliki tanggung jawab baru walau semua itu di luar keinginan hatinya, tapi telah menjadi takdirnya.
"Fares. Cium kening istrimu." Ucapan itu menyentak Fares dari pikirannya. Ia menatap Sekar yang melotot padanya.
Fares memejamkan matanya, meraih wajah Ayya lebih dekat dan mengecup kening wanita itu.
Kecupan ringan itu membuat Ayya sekali lagi merasakan kehangatan yang belum pernah ia rasakan. Perasaan damai itu, tercipta begitu saja saat bersama Fares, walau Ayya tahu dengan jelas jika Fares pasti memiliki perasaan yang berbanding terbalik dengannya.
Fares memejamkan matanya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, belum pernah ia merasakan sedamai ini saat mencium seorang wanita selain Sekar. Perasaan asing itu muncul dan membuatnya merasa tidak nyaman, dia tau, hatinya tengah berperang antara mengikuti ucapan Sekar atau sebaliknya.
Baginya semua masih terasa asing. Dia bahkan tidak pernah memikirkan akan menikah di usia yang terbilang muda, bahkan saat dia belum menyelesaikan studinya. Tapi kini, semuanya terjadi begitu saja dan di luar kendalinya. Fares perlu waktu untuk menerima dan memahami semuanya.
Resepsi yang sederhana itu berlangsung setelah akad. Tamu undangan hanya sebatas keluarga Fares dan Ayya saja.
Ayya tersenyum tipis melihat segelintir tamu undangan, mengingat bagaimana perdebatan antara Sekar dan Fares karena Fares enggan mengundang teman-teman sekampus dan hanya mau mengadakan resepsi tertutup dengan mengundang sanak saudara saja.
'Cih. Tentu saja. Memang apa yang kamu pikirkan, Ayya? Dia akan dengan senang hati mengundang anak kampus? Menikah denganmu saja enggan. Wake up, Ayya.'
"Ngga usah mikir yang aneh-aneh tentang malam pertama. Itu ngga akan terjadi dan ngga usah ngarep." Suara Fares yang berbisik di telinganya menyadarkan Ayya dari lamunannya. Wanita itu menatap Fares dengan kesal dan memukul lengan pria itu.
"Gila. Siapa juga yang mikirin itu." Ayya mendengus, lalu kembali menatap ke depan, membuat Fares menyunggingkan senyum tipisnya.
***