Di rumah sakit terdekat Azkia duduk dengan gelisah. Tangannya yang menggenggam ponsel masih terlihat gemetaran. Perasaan yang bercampur aduk membuatnya semakin bingung. Di ruang tunggu emergency unit itu dia ditemani sopir Fattan. “Apakah saya harus menghubungi Fey, Bang?” tanyanya pada sopir Fattan yang bernama Ago. “Tadi Pak Fattan bilang, jangan, Mbak,” jawab Ago, “Pak Fattan tidak mau membuat keluarganya khawatir.” “Tapi, ....” “Biasanya kalau ada masalah yang nggak parah-parah amat dan bisa diselesaikan sendiri, Pak Fattan jarang bilang ke Bos Bapak dan Bos Ibu,” jelas Ago. Azkia mengangguk mengerti. Namun, Azkia pikir hal ini bukan masalah yang akan bisa Fattan selesaikan sendiri. Ada dirinya yang terlibat dan menjadi objek utama di balik masalah ini. Azkia percaya bahwa pen