6. Masih Penasaran

1504 Kata
Di sudut lain kota, di tengah jalanan yang sedikit ramai dan di dalam sedan hitam yang memiliki logo kuda jingkrak, Fattan duduk di balik kemudi. Sementara itu, duduk di sampingnya di bangku penumpang ada Aleida. Wajah wanita ayu itu tampak muram sementara pandangan dan jari-jarinya yang lentik masih sibuk bercengkrama dengan ponsel. “Untuk mendukung usaha kamu kayaknya kamu perlu lebih banyak meng-endorse selegram dan beauty vlogger deh, Le.” Satu saran tercetus dari mulut Fattan sambil dia mengamati laju kendaraan di sekitarnya. “Sepertinya harus begitu, tapi siapa lagi beauty vlogger yang kredibel untuk saya endorse? Hasil penjualan skincare dari perusahaan saya masih segitu-gitu saja?” Aleida sedikit menyuarakan rasa frustasinya. “Sabar. Semuanya kan butuh proses. Nggak harus langsung sukses. Sekalipun gagal, itu berarti sebuah pembelajaran buat kamu, Le.” Fattan berusaha menenangkan Aleida tanpa membuat wanita itu berharap lebih banyak dari bisnis yang sedang digelutinya. Aleida menoleh ke arah Fattan dan memperhatikan wajah tampan laki-laki itu dari samping. Dia kemudian berkata, “Thanks ya, Tan. Kamu selalu memberi saya semangat. Entah kalau saya nggak punya kamu? Saya pasti sudah putus asa sejak awal menjalankan bisnis ini.” Fattan tersenyum. “Namanya juga bisnis, Le. Kamu harus sabar. Nggak ada sejarahnya orang langsung sukses dengan satu kali membuat dan memasarkan produk.” Aleida tersenyum bangga sambil pandangannya tak lepas dari wajah Fattan. Sebagai teman yang cukup dekat dengan Fattan, dia merasa senang Fattan selalu mendukung semua usahanya. “Jadi, kita mau makan siang di mana?” tanyanya. “Terserah kamu mau makan di mana. Saya ngikut yang mau mentraktir saja sekarang.” Tawa ringan Aleida pecah. “Kamu sudah banyak membantu saya. Sekali-kali bolehlah mentraktir Bos Kontraktor Jalan.” “Bisa saja kamu, Le.” *** Kembali ke kantor Elvano, Azkia merasa dirinya sudah sangat salah mengambil keputusan. Seharusnya dia tidak pernah datang lagi ke kantor pria berperangai keras dan tidak berperasaan itu. Penyesalan bertubi-tubi Azkia lepaskan dengan lelehan air mata yang mengalir dari ujung matanya. Elvano yang telah hilang kendali terus menghujam dan mengentakkan miliknya tanpa ampun ke tubuh Azkia. Pria itu bahkan dia tidak peduli jika dia sedang menuntaskan hasrat bawah pinggangnya pada Azkia di ruang kerja. Permohonan Azkia agar dia menyudahi apa yang sedang dia lakukan sama sekali tidak digubrisnya. Sampai Elvano puas kebutuhan biologisnya sudah terpenuhi, pria itu baru bisa melepaskan cenkeraman gairahnya dari tubuh Azkia. “Kamu sudah gila, Van,” tutur Azkia dengan geram sambil merapikan kembali pakaiannya yang berantakan akibat ulah Elvano. “Saya ingatkan sama kamu, kamu yang meminta cerai. Saya hanya mengaktualisasikan apa yang kamu mau. Namun, perlu kamu tahu. Saya tidak akan mempermudah jalan ini.” Azkia segera bangkit dan melangkah ke hadapan Elvano yang sedang mengenakan kembali jasnya. “Apa mau kamu, Van? Apa tidak cukup semua usaha kamu untuk membalas sakit hati kamu kepada saya yang tidak seharusnya saya terima?” Elvano menyunggingkan senyuman sinis. “Tidak pantas kamu terima, hah?! Kamu pikir harga diri saya bisa kembali setelah kamu dan ayahmu mempermalukan saya?” “Kapan sih kamu sadar kalau perbuatan kamu ke saya dua tahun yang lalu itu salah?” Suara Azkia terdengar bergetar lantaran menahan marah dan luapan emosi yang lainnya. “Kamu tidak perlu mengingatkan saya,” tepis Elvano, “saya hanya mau kamu merasakan apa yang saya rasakan.” “Kamu benar-benar nggak waras, Van. Saya sudah salah dengan datang ke sini menemui kamu. Satu hal lagi, saya akan membayar lunas hipotek rumah orang tua saya dan saya tidak ingin lagi berurusan dengan kamu.” Elvano melayangkan tatapan tajamnya pada Azkia. Rahangnya yang mengeras menahan dengan kuat umpatan dan celaan yang ingin dia lontarkan pada Azkia. “Jangan sombong dulu kamu. Kamu pikir kamu punya uang yang cukup banyak untuk membayar lunas hipotek rumah itu? Mulai tahun ini suku bunga yang diterapkan dalam pengambilan setiap unit hunian, baik yang baru maupun yang sudah lama, adalah flat.” Elvano menandaskan. Azkia melebarkan mata. Niat banget Elvano membuatnya gagal bayar dalam melunasi kredit rumah orang tuanya, pikir Azkia. “Kamu benar-benar nggak punya hati nurani, Van. Suku bunga flat itu akan memberatkan debitur,” sergahnya. Elvano menunjukkan seringainya sebelum merespons sergahan Azkia. “Hometown itu dibangun untuk warga kelas menengah ke atas. Tidak ada lagi suku bunga floating. Kalau kamu merasa tidak mampu membayar dan tidak merasa berada di dalam kelas tersebut, sebaiknya keluarga kamu angkat kaki dari sana. Carilah hunian yang sesuai dengan kelas kalian.” Hinaan Elvano sukses menyematkan rasa sakit luar biasa di d4d4 Azkia. Bukan hanya itu, perbuatannya tadi pun meninggalkan jejak yang tidak kalah menyakitkan. “Jangan khawatir, saya akan membayar semuanya. Br3ngs3k kamu, Van!” “Tungu apa lagi?” Elvano mengangkat dagunya dengan pongah seolah-olah menantang Azkia. Tidak menanggapi pertanyaan Elvano dengan untaian kata-kata, Azkia justru meninggalkan ruang kerja Elvano begitu saja. Kemarahan terbit dengan cepat di benaknya, begitupun dengan rasa sakit yang meremas-remas hatinya. Azkia bahkan tidak menyadari kalau langkahnya tengah berada di jalur khusus pedestrian setelah beberapa menit keluar dari ruang kerja Elvano. Dia sangat menyesal sudah datang ke kantor Elvano siang itu. Bukan penyelesaian masalah yang dia dapatkan, melainkan masalah baru. Teeet!!! Suara klakson yang kencang dan juga panjang membuyarkan lamunan Azkia. Wanita itu menelan kesiap ketika menyadari dirinya hampir saja tertabrak oleh sebuah sedan hitam yang baru keluar dari pelataran parkir sebuah restoran Prancis. Selama beberapa saat wanita itu hanya berdiri dan melihat ke arah kaca depan mobil tersebut dengan mata melebar dan satu tangan menekan d4d4. Di dalam mobil, baik Fattan maupun Aleida sama-sama dikejutkan oleh kemunculan Azkia yang tiba-tiba di depan pintu keluar tersebut. Keduanya saling bertatapan sesaat sebelum keluar dari mobil dan Aleida memilih keluar terlebih dahulu, lalu menanyakan keadaan Azkia. “Kamu tidak apa-apa?” tanyanya. Azkia masih dalam keadaan syok. Kulit wajahnya yang seputih pualan kian memucat. Namun, Azkia berusaha keras untuk tetap sadar walaupun masih tampak kebingungan. Dia hanya memandangi wajah Aleida karena bibirnya masih terkunci rapat. “Kamu tidak apa-apa?” Aleida bertanya sekali lagi. Azkia mengerjap lalu menggeleng. “T-tidak. Saya tidak apa-apa.” Aleida mengamati wajah Azkia. Kekhawatiran berhasil mengambil alih perhatiannya. “Kamu yakin kamu oke?” “Iya. S-saya baik-baik saja,” jawab Azkia dengan sedikit gugup. Tanpa Azkia sadari Fattan telah berdiri di sisi yang lain dan menjadikan posisi Azkia berada di tengah-tengah. Kehadiran pria itu begitu mengejutkan Azkia dan ketika pandangan mereka berserobok, keduanya hanya saling diam mengingat memori tentang diri masing-masing. “Kamu temannya Fey, ‘kan?” Fattan memecah kebisuan yang sempat melanda dan nyaris menjadi atmosfer menegangkan di sana. Azkia menelan ludah dengan susah payah. Pertemuannya dengan Fey dan juga Fattan semalam sempat terlupakan karena beban pikiran yang semakin membesar. Kini, dia diingatkan kembali oleh Fattan. Azkia pun mengangguk pelan. “Kamu mau ke mana?” tanya Fattan. Azkia mengernyitkan dahi sambil berusaha mencari jawaban. Dia tidak mungkin mengatakan bahwa dia baru saja dari kantor suaminya dan mengalami pelecehan dari pria itu. “Sa-saya ada urusan pekerjaan di sekitar sini,” jawab Azkia dengan gugup. Teeet! Teeet! Bunyi klakson di belakang mobil Fattan menginterupsi obrolan mereka. Fattan menoleh ke belakang dan memberi isyarat kepada mobil di belakang untuk menunggu dengan mengangkat tangan yang terbuka. “Kamu bawa kendaraan?” tanya Fattan lagi pada Azkia. Azkia menggeleng. “Saya naik taksi.” “Kalau begitu, kita bareng saja.” Aleida mencetuskan saran. “Tidak. Saya naik taksi saja,” tolak Azkia dengan halus. Teeet! Suara klakson berbunyi lagi. Sepertinya mobil di belakang itu sudah tidak sabar. Serta merta Aleida meraih tangan Azkia. “Kamu ikut kami saja. Kita ngobrol di mobil saja. Ayo!” katanya sambil menarik tangan Azkia. Di tengah dentuman hati yang terluka dan kepala yang tidak bisa berpikir jernih, Azkia akhirnya menuruti Aleida. Mereka bertiga naik ke mobil Fattan. Azkia mengambil posisi duduk di bangku penumpang tengah. Mobil yang dikendarai Fattan pun melesat keluar dari area parkir tersebut. “Kayaknya saya pernah melihat kamu, tapi di mana, ya?” Aleida mencetuskan rasa penasarannya setelah dia mengamati Azkia dari spion dalam dan menoleh ke belakang. Pertanyaan yang sama pun sebenarnya tercipta dalam diri Fattan sejak semalam, sejak pertama kali dia melihat Azkia. Pria itu bersyukur pertanyaan Aleida turut mewakilinya. Sementara itu, Azkia hanya diam tidak berusaha menjelaskan apa pun. Biarlah Aleida sendiri yang menebaknya. Dia tidak mau mengumumkan jati dirinya yang lain di dunia maya. “Oh, I know, I know!” Aleida menepuk dahinya lalu memandangi dan tersenyum pada Azkia. “Kamu yang suka nongol di channel Kia Amore, ya?” tebaknya. Azkia hanya tersenyum kaku mengiakan tebakan Aleida. Meskipun sudah hampir dua bulan Azkia tidak membuat konten untuk channel pribadinya di situs web berbagi video, tetapi masih banyak pengikut Azkia yang masih merindukan kontennya. Wajah Aleida tampak semringah. Dia kemudian menepuk pelan lengan Fattan. “Tan, dia Kia Amore! Beauty vlogger itu. Pengikutnya di Youtube dan t****k sudah jutaan lho.” Oh. Fattan hanya mengiakan di dalam hati. Namun, keterangan Aleida tetap saja tidak membuat rasa penasarannya akan Azkia terobati. Fattan pernah melihat Azkia di tempat dan situasi berbeda, bukan di dunia maya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN