“Saya Aleida.” Aleida mengulurkan tangan ke belakang ke arah Azkia.
Azkia menyambut ulurusan tangan Aleida. “Saya Azkia.”
“Panggil saja saya Ale,” ucap Aleida ketika melepas jabat tangannya dengan Azkia. “Kamu sibuk nggak hari ini?” tanyanya kemudian.
Azkia kesulitan menjawab karena sebenarnya dia tidak punya jawaban. Saat ini Azkia hanya ingin menyelesaikan urusannya dengan Elvano.
“Sebenarnya saya—“
“Saya ingin meng-endorse kamu kalau kamu tidak keberatan,” potong Aleida, “saya punya usaha skincare dan sudah mengantongi izin BPOM. Saya juga telah meng-endorse beberapa beauty influencer termasuk artis. Saya perlu beberapa lagi untuk mendorong produk saya lebih terlihat di permukaan,” lanjutnya.
“Saya senang dengan tawaran kamu, tapi saat ini saya masih punya banyak urusan yang belum selesai.” Azkia berusaha menolak secara halus.
Kekecewaan terbit di wajah cantik Aleida, tetapi wanita itu masih bisa melontarkan senyum pada Azkia. “Tidak apa-apa. Saya akan menunggu sampai semua urusan kamu beres.”
“Terima kasih atas pengertian kamu.” Azkia membalas senyuman Aleida dengan senyuman tulus.
“Ngomong-ngomong, kamu mau ke mana? Biar saya antar.” Kali ini Fattan yang bertanya. Pria itu hanya melihat Azkia dari spion dalam.
“Saya mau pulang, tapi kamu tidak perlu mengantarkan saya. Saya akan naik taksi saja. Tolong, turunkan saya di depan perempatan sana. Oh, iya. Terima kasih atas tawarannya.” Azkia berusaha sesopan mungkin menolak tawaran Fattan.
“Yakin nih nggak mau diantar?” Fattan berusaha membujuk Azkia sekali lagi.
“Iya,” jawab Azkia, “saya naik taksi saja.”
“Baiklah kalau begitu.”
Begitu tiba di tempat yang ditunjuk Azkia, Fattan menghentikan laju mobilnya. Azkia pun turun dari mobil mewah tersebut. Dia kemudian di samping jendela yang kacanya dibuka lebar-lebar oleh Aleida. Seuntai senyum mengembang dari bibir merah mudanya sebelum berucap, “Terima kasih atas tumpangannya.”
Aleida membalas senyuman Azkia dengan sama manisnya. Wanita berambut cokelat ikal sebahu itu kemudian mengambil kartu nama dari dalam clutch dan memberikannya pada Azkia. “Ini kartu nama saya. Kalau semua urusan kamu sudah beres, saya akan senang menerima kabar dari kamu.”
Azkia sedikit mengangguk sambil bibirnya kembali mengembangkan senyuman tipis. “Saya janji saya akan mengabari kamu kalau semua urusan saya sudah beres.”
Secepatnya Azkia memesan taksi online setelah mobil yang dikendarai Fattan berlalu. Dia kembali pulang dengan perasaan hampa. Semua yang sedang dia coba perjuangkan hari itu berakhir tanpa hasil. Meskipun begitu, Azkia tidak mau menyebut semua usahanya gagal. Dia percaya Tuhan itu ada dan akan selalu melindunginya dari tindakan keji Elvano. Masih ada hari esok dan lusa untuk memenangkan peperangan yang sudah dimulai suaminya yang sebentar lagi akan bergelar mantan.
“Kamu nggak menemui si Vano, ‘kan?” Pertanyaan Tita, kakak sepupu Azkia, membuat Azkia terkesiap ketika memasuki ruang tamu rumahnya. Wanita bertubuh subur yang mengenakan setelan blazer biru dan celana hitam itu tengah duduk di sofa sambil bertumpang kaki.
“Eh, ada Mbak Tita.” Azkia memanggil Tita dengan ‘Mbak’ karena ayah Tita adalah orang Semarang dan dia dibesarkan di sana. Sampai wanita itu meneruskan pendidikannya di sebuah universitas negeri di Jakarta, barulah Tita menetap di Jakarta. “Sudah lama, Mbak?” tanya Kia kemudian.
“Sudah,” jawab Tita, “sudah ngobrol juga dengan Om dan Tante. Ngomong-ngomong, kamu nggak menemui Vano lagi, ‘kan? Meskipun kamu bilang sama Om mau menemui pengacara, tapi Mbak nggak yakin.”
Azkia duduk di sofa di seberang Tita. Dia meletakkan tas bahunya di atas meja. Sambil mengembus napas panjang, Azkia bersandar ke punggung sofa. Dia ingin sekali menceritakan semua kepedihan yang dia rasakan pada Tita. Namun, Azkia ragu-ragu lantaran dia tidak ingin disalahkan. Walaupun begitu, Azkia tidak bisa terus menerus memendamnya sendirian.
“Saya menemui Vano tadi, Mbak,” cetus Azkia.
“Seharusnya kamu tahan dulu untuk sementara. Kepala kalian masih sama-sama panas untuk berbicara dari hati ke hati.”
“Saya ingin segera menyelesaikan masalah saya dengan Vano. Saya tidak mau proses perceraian ini berlarut-larut. Lagi pula saya dan Vano sudah tidak bisa berbicara dari hati ke hati sejak lama.”
“Apa kalian harus bercerai? Dalam pernikahan memang tidak semua harus berjalan mulus—“
“Vano selingkuh, Mbak,” potong Azkia. Dia tidak mau Tita memperpanjang uraian nasihatnya. “Kia melihat dengan mata Kia sendiri. Dan yang paling menyakitkan Kia, Vano berselingkuh dengan Zoya,” lanjut Azkia sambil menahan tangis.
“Apa?!” Tita nyaris melompat dari sofa mendengar penjelasan Azkia. Mata bulat wanita itu kian membesar saat menatap Azkia. “Zoya teman kamu itu?”
Azkia mengangguk mengiakan. Dia kemudian menarik punggungnya dari sandaran sofa, lalu menangkup wajah dengan kedua tangan.
“Kurang ajar banget si Vano!” Napas Tita kian memburu. Dia kemudian berdiri sambil berkacak pinggang. “Om dan Tante sudah tahu?”
Azkia menurunkan tangan ke pangkuan, lalu mengangkat wajahnya memandang Tita yang tampak sangat marah. “Ayah dan Ibu sudah tahu,” jelasnya.
“Kalau begitu, kamu tidak usah mencari pengacara lain. Mbak akan minta Mas Daud untuk menangani perceraian kamu dan Vano. Bukti sudah jelas. Suami saya pasti bisa mengalahkan pengacara si Vano itu, sama seperti dua tahun yang lalu.”
“Terima kasih, Mbak, tapi apa saya tidak akan merepotkan Mbak dan Mas?”
“Sudahlah, Kia. Kamu itu adik saya, adik Mas Daud juga. Kami akan membantu kamu.”
Azkia merasa sangat berterima kasih kepada Tita. Selama ini, sejak dua tahun lalu, Azkia memang kerap mencurahkan isi hati dan segala keluh kesahnya pada Tita alih-alih pada Zoya. Keraguan Azkia pada Zoya setelah peristiwa dua tahun lalu ternyata terbukti. Zoya terang-terangan merebut Elvano darinya. Namun, Azkia masih bungkam soal p********n hipotek rumah yang ditinggali ayah dan ibunya pada Tita.
***
Di rumah keluarga Al Ghazi
Fattan baru saja tiba ketika sekilas ingatan akan Azkia kembali menyambangi benaknya. Pria yang masih mengenakan setelan kantor, kemeja biru berlapis vest abu-abu bermotif kotak hitam, itu bergegas melintasi ruang makan menuju kolam renang yang berada di halaman belakang. Dia melihat Fey bersama dua temannya yang lain sedang bermain air di sana.
“Fey!” panggilnya dari tepi teras.
Seketika Fey yang sedang bercanda dengan temannya di tepi kolam menoleh ke arah Fattan. Dalam waktu yang sama, kedua teman Fey pun turut menoleh dan memandangi kakak Fey hingga salah satunya menyeletuk, “Njiiir, kece banget abangnya si Fey.”
“Jangan ngimpi lo! Dia berada di luar jangkauan kayak sinyal HP di bukit berduri.” Teman Fey yang lain membalas dengan candaan ringan.
“Berisik lo semua! Mas gue galak tau.” sambar Fey sebelum beranjak dari sana. Setelah mengenakan kimono handuknya, Fey segera menghampiri Fattan. “Ada apa, Mas?”
“Kenapa kamu nggak bilang kalau teman kamu, si Mbak-mbak, itu ternyata beauty vlogger?”
Wow! Fey tersengat kejut mendengar penjelasan Fattan. Pasalnya, Fey pun baru mengetahui kalau perempuan yang dimintai bantuan olehnya semalam adalah seorang beauty vlogger. Namun, Fey berpura-pura bersikap biasa saja.
“Mas kenapa nggak nanya?” kelit Fey.
“Mas baru tau tadi siang waktu ketemu sama dia.”
Mendadak wajah Fey menjadi menegang dan mendadak gelisah. “Mas ketemu sama Kak Azkia? Di mana?”
“Tadi Mas ketemu dia di jalan waktu Mas dan Ale habis makan siang. Ale sempet nawarin endorse ke dia, tapi dia menolak. Mas mau kamu membantu Ale untuk membujuk teman kamu itu. Mas nggak mau tahu caranya gimana, tapi kamu harus bisa.”
“Wow! Maksa banget. Segitu pentingnya Kak Ale buat Mas.” Fey sedikit memberengut lantaran dia sendiri tidak tahu apa-apa soal Azkia.
“Cerewet. Pokoknya kamu harus bisa membujuk dia untuk menerima endorse dari Ale.
“Kalau Fey nggak mau, gimana?”
Fattan berkacak pinggang sambil melayangkan tatapan mengancamnya pada Fey. “Mas akan kasih tahu Mami sama Papi kalau kemarin itu kamu pergi sama cowok, bukan sama si Mbak-mbak itu.”
Mata Fey membulat sementara jantungnya langsung berdetak dua kali lebih kencang. Sial, Mas Fattan ternyata tau.