5. Paksaan Elvano

1368 Kata
Praaang! Elvano membanting gelas kristal bertangkai yang masih berisi anggur merah hingga pecahannya berserakan di lantai. Pria itu mengeraskan rahang sementara matanya menatap tajam sesuatu yang tak nyata yang menari-nari di benaknya yaitu, bayangan Azkia. “Sialan kamu, Kia!” Napas Elvano masih memburu seakan-akan dia baru saja mengikuti lomba lari cepat. Dentaman rasa marah yang menguasai seluruh tubuhnya mengentak-entak kesabaran dan emosi pria itu. Dia merasa terkhianati dengan kepergian Azkia yang didukung sang ayah. Hanya ketika sepasang tangan memeluknya dari belakang, deru napasnya menjadi sedikit berkurang dan lebih lembut. “Sudahlah, Sayang. Kamu tidak perlu mengingat-ingat lagi perempuan tidak berguna itu,” bisik Zoya sebelum mendaratkan kecupannya di pundak telanjang Elvano. Setelah kepergian Azkia dari rumah, Elvano memutuskan untuk menemui Zoya di sebuah hotel berbintang. Dia tidak tahan menanggung kemarahannya pada Azkia sendirian. Pria itu butuh pelampiasan dan hanya Zoya yang mampu meredakan seluruh ledakan amarahnya. Zoya mampu mengimbangi aktivitas liar Elvano di atas ranjang, bahkan wanita itu rela tubuhnya disakiti Elvano demi bisa memberi kepuasaan biologis untuk pria itu. Hal itulah yang tidak bisa dilakukan Azkia selama ini sehingga Elvano mencari pelampiasan. “Perempuan itu harus menanggung akibatnya karena berani pergi meninggalkan saya. Dia mau bercerai dan saya akan memberikan perceraian yang tidak akan bisa dia lupakan seumur hidupnya,” tandas Elvano. Zoya tersenyum puas mendengar pernyataan Elvano.Wanita itu bereuforia dalam hati dan berharap lebih dari peristiwa yang menimpa kekasih serta istrinya. Cita-citanya untuk memiliki Elvano akan segera terwujud. *** Bogor, Jawa Barat. Keesokan harinya “Ayah dan Ibu hanya meminta yang terbaik,” tutur Ali, ayah Azkia, menanggapi masalah yang dikemukakan anak sulung mereka. “Kalau kamu tidak bahagia dengan pernikahan kamu, untuk apa pernikahan kalian dipertahankan.” Azkia yang duduk di tepi ranjang di samping Maryam, ibunya, hanya tertunduk. Kesedihan kembali menusuk-nusuk hati wanita itu mengingat semua yang sudah terjadi. Isak tangisnya pun kembali pecah. “Maafkan Kia, Yah, Bu. Selama hampir dua tahun Kia tidak pernah mengunjungi kalian. Sekalinya Kia pulang, Kia membawa kabar buruk. Selama ini ....” Azkia kembali terisak-isak. Maryam merengkuh Azkia ke pelukannya seraya mengusap-usap punggung anaknya dengan penuh kasih sayang. “Tidak apa-apa, Kia. Menangislah. Ibu dan Ayah tahu semuanya. Selama ini Pak Rendra terus memberi kabar kepada Ayah mengenai keadaan kamu. Pak Rendra juga kerap meminta maaf pada Ayah dan Ibu lantaran anaknya tidak memberi izin kamu untuk pulang,” jelas Maryam. “Cuma Papa Rendra yang baik kepada Kia di rumah itu, Bu,” tutur Kia, “kalau tidak ada dia, Kia tidak akan bertahan selama ini.” “Syukurlah semuanya sudah terbuka, meskipun harus dengan jalan perceraian.” Ali turut memberi dukungan pada Azkia. Tiba-tiba Ary, adik Azkia, membuka pintu kamar Azkia dan melongok dari balik daun pintu. Remaja laki-laki itu terdiam sesaat mengamati situasi sebelum akhirnya mengumumkan maksud kedatanganya. “Teh, ada Bapak-bapak dari kantor hukum. Kata mereka, mereka mau ketemu Teteh.” Ary memanggil Azkia dengan panggilan “Teteh” yang berarti kakak perempuan dalam bahasa Sunda. Azkia sudah bisa menduga kalau kedatangan orang-orang tersebut adalah pasti perintah Elvano. Suaminya itu bisa melakukan apa saja untuk membuatnya sengsara. Entah kenapa Elvano sangat mendendam kepadanya, padahal semua bermula dari kesalahannya sendiri, pikir Azkia. “Iya, Ry. Sebentar lagi Teteh menemui mereka.” Azkia bangkit dari duduknya, begitupun dengan Maryam dan Ali. Kedua orang tua itu mendampingi Azkia untuk menemui orang-orang dari kantor hukum tersebut. “Kami datang untuk memberi tahu Bu Azkia mengenai gugatan cerai dari Pak Elvano. Kami harap Ibu bisa bekerja sama dengan baik supaya prosesnya cepat selesai.” ungkap salah satu pengacara setelah mereka memperkenalkan diri mereka kepada Azkia dan orang tuanya. “Saya mengerti dan saya akan bekerja sama karena saya pun ingin proses perceraian saya dengan klien kalian cepat selesai.” Azkia merespons dengan cepat dan tanggap. “Namun, sebelumnya harus kami jelaskan dulu. Pak Elvano menginginkan Ibu untuk membereskan masalah hipotek rumah ini supaya masalahnya tidak tumpang tindih,” tambah si pengacara. “Maksudnya bagaimana, Pak? Hipotek rumah ini adalah kewajiban saya terhadap Bank, bukan kepada Elvano.” Belum apa-apa Azkia sudah dibuat geram. Azkia sudah menduga kalau Elvano tidak akan mempermudah proses perceraian mereka. Pria itu akan melakukan segala cara untuk membuat hidupnya kacau balau. “Apakah Ibu belum tahu kalau kepemilikan perusahaan developer perumahan ini sudah diambil alih oleh perusahaan Pak Elvano?” tanya pengacara yang lainnya. Azkia menelan ludah. Tahu atau tidak Elvano telah mengambil alih kepemilikan perusahaan developer itu, tidak menjadi masalah untuk Azkia. Hanya saja Azkia tidak habis pikir bahwa Elvano sangat berniat untuk membuatnya menderita. “Pak Elvano tidak ingin berurusan dengan Ibu lagi setelah perceraian kalian nanti. Oleh sebab itu, Pak Elvano meminta Ibu melunasi cicilan rumah yang tersisa,” imbuh si pengacara. “Saya juga tidak mau berurusan dengan klien kalian lagi setelah bercerai. Saya akan membayar lunas semua cicilan yang tersisa,” tantang Azkia kadung merasa kesal. “Kia.” Dari tempat duduknya di samping Azkia, Ali memperingatkan putrinya. Azkia menoleh ke samping ke arah Ali dan berusaha menenangkan pria tua itu. “Tenang saja, Yah. Kia akan membayar semuanya.” “Terserah kamu saja, Nak, tapi Ayah minta kamu jangan terbawa emosi,” tutur Ali. “Iya, Yah.” Kesanggupan Azkia untuk bersabar hanya sebatas sampai kedua pengacara Elvano hengkang dari rumahnya. Setelah keduanya pergi, Azkia tidak bisa menahan kemarahannya lagi pada Elvano. Berpura-pura akan menemui calon pengacara yang akan mewakili dirinya, Azkia akhirnya pergi ke kantor Elvano siang itu juga. Kesabaran yang selama ini selalu dia junjung tinggi, kali ini tidak berlaku lagi. Tiba di kantor Elvano, Azkia langsung menerobos masuk ke ruang kerja pria itu meskipun sempat dihalau oleh asistennya. “Kamu keterlaluan, Van!” tuding Azkia sambil melemparkan tatapan tajamnya kepada Elvano yang sedang duduk di balik kerja. “Kenapa masalah hipotek rumah harus kamu kait-kaitkan dengan urusan perceraian kita?” lanjutnya. Dari tempat duduknya Elvano menyunggingkan senyuman sinis sebelum mengejek Azkia. “Kenapa? Kamu tidak sanggup membayar?” “Saya mampu membayarnya. Kamu tidak perlu merendahkan saya seperti itu.” Sekali lagi Elvano tersenyum mencemooh. “Dengan penghasilanmu menjual diri di dunia maya?” “Br3ngs3k kamu, Van! Kamu tahu saya tidak pernah menjual diri di mana pun! Kamu terlalu sibuk mencari bahan hinaan untuk saya sampai kamu lupa kalau kamulah yang sering bermain dengan penjual diri itu.” Sergah Azkia disertai tatapan berapi-api yang menghujam langsung ke mata Elvano. “Apa kamu bilang?” nada tanya Elvano mulai menekan. “Kamu tahu apa yang saya maksud, Van. Jangan pura-pura bodoh!” Elvano tidak biasa dibentak dan dikasari oleh siapa pun apalagi oleh seorang wanita. Dalam sekejap keegoisan dan emosi yang berunsur kemarahan merayap dengan cepat ke seluruh tubuhnya. Bisikan ketersinggungan membujuknya untuk bertindak impulsif. Elvano bangkit dari duduknya, lalu mengitari meja kerja menuju ke hadapan Azkia, dan mencekal tangan wanita itu. Dengan tenaga penuh, dia menarik Azkia hingga d4d4 wanita itu beradu dengan d4d4nya dan mengaduh. “Auw!” pekik Azkia. Sebelum Azkia menyadari apa yang terjadi pada dirinya, rasa sakit akibat jambakan di rambutnya membuatnya mengerang lebih kencang. “Aah! Van, lepaskan saya!” Alih-alih menggubris permohonan Azkia, Elvano justru menyeret Azkia ke sisi lain ruang kerjanya yang terbilang cukup mewah. Sebagai CEO sekaligus putra ketua Dewan Komisaris dan pemilik perusahaan, ruang kerjanya dilengkapi dengan ruang tamu terpisah dan privilege lainnya. Pria itu kemudian mendorong Azkia ke sofa panjang dan membuat Azkia jatuh terduduk di sana. Dengan gerakan yang cepat Elvano yang berdiri di depan Azkia kembali menjambak rambut panjang Azkia dan memaksa wajah wanita itu menengadah. Tanpa tedeng aling-aling, Elvano mencium Azkia dengan kasar, lalu membaringkannya dengan paksa. “Van, mau apa kamu?” Azkia terus meronta berusaha terbebas dari cengkeraman Elvano. “Shut up!” Peringatan Elvano diikuti oleh satu tangannya yang kemudian membekap mulut Azkia. Sementara itu, tangan lain Elvano bergerilya di balik rok Azkia berupaya menurunkan pakaian dalamnya. Hanya ketika Elvano sedang membuka pengait celana katunnya, Azkia baru bisa menghirup lebih banyak oksigen. Dia sedikit terengah-engah sambil terus berusaha membuat Elvano menyingkir dari atas tubuhnya. “Van, kamu nggak bisa melakukan ini sama saya.” “Kamu masih istri saya.” “Tapi kamu sudah menjatuhkan talak.” Elvano menatap Azkia dengan geram. “Sekalipun kamu bukan lagi istri saya, saya akan tetap mendapatkan yang saya mau.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN