Bab 16

1316 Kata
Lyra memutuskan untuk menenangkan diri di teras taman, tempat dirinya tadi merangkai bunga bersama dengan Dalimah. Dirinya tidak menyangka akan sekesal ini dengan Dewangga. Padahal kan, mereka tadi hanya membahas masalah yang sangat sepele. Lyra pun tidak paham kenapa Dewangga bisa sekhawatir itu hanya karena luka kecil yang Lyra alami. Lyra menghela napas dalam seraya membuang pandangan ke arah taman. Di taman itu, tumbuh bunga mawar yang tampak sangat indah. Bisa-bisanya Dewangga berniat memangkas bunga yang menjadi satu-satunya penghias di rumah seram ini. Dasar menyebalkan. “Meong….” Lyra menunduk menatap kucing yang saat ini sudah berada di bawah meja. Tanpa sadar Lyra tersenyum menatap kucing itu. “Albert!” sapa Lyra seraya mengambil kucing itu lalu meletakkannya ke atas meja. “Kamu nggak ada temennya, ya?” tanya Lyra mengelus kepala Albert dengan gemas. “Sama dong kayak aku. Aku pun nggak punya temen di sini,” katanya berbisik. Untuk beberapa saat Lyra mengobrol satu arah dengan kucing itu. Tangan Lyra tidak henti-hentinya mengelus kepala dan leher Albert yang membuat kucing itu nyaman. Sampai akhirnya Albert tertidur pulas di atas meja yang membuat Lyra tersenyum kecil. "Ternyata Albert di sini," kata suara dari arah pintu. Lyra menoleh ke sumber suara dan mendapati Adipati tengah berjalan ke arah Lyra. "Nyonya," sapa Adipati dengan ramah. Lyra tersenyum ke arah Adipati. "Albert tidur, Pak," ucapnya kembali mengelus kepala Albert. "Padahal mau saya kasih makan." "Apa dibangunin aja, ya, Pak?" "Tidak perlu. Nanti kalau udah lapar juga akan bangun sendiri," kata Adipati. "Nyonya kenapa di sini? Tuan mana?" Mendengar Adipati mencari Dewangga tiba-tiba saja membuat Lyra kembali mengingat pertengkaran kecilnya dengan Dewangga tadi. Dan tentu saja itu membuat Lyra kembali kesal. Lyra mengangkat kedua bahunya tak acuh. "Tahu deh, dia di mana," gumamnya. "Kalau boleh saya tahu, apa Anda sedang bertengkar dengan Tuan?" Lyra mendengus kesal. "Nggak kok," jawabnya. Adipati tersenyum lembut sambil menganggukkan kepala. "Bagus kalau begitu," katanya. "Tuan memang terkadang bisa sangat keras. Saya takut kalau Nyonya salah paham dengan Tuan." "Bukan keras lagi, udah nggak masuk akal jatuhnya, Pak," gerutu Lyra pelan. "Apanya yang tidak masuk akal?" Lyra kembali mendenguskan napas kesal. Rasanya susah sekali menahan diri untuk tidak mengomel tentang sikap Dewangga yang berlebihan. "Mas Dewangga tuh, rasa khawatirnya terlalu berlebihan, Pak. Masak hanya gara-gara kena tusuk duri, Mas Dewangga mau melarangku buat pegang bunga mawar. Bahkan Mas Dewangga juga berniat untuk memangkas bunga-bunga itu." Lyra menunjuk arah taman yang ditumbuhi bunga mawat yang tampak indah. "Kalau nggak berlebihan, terus apa coba?" tanyanya. “Selain itu, kemarin pun Mas Dewangga sempat memarahi Mbak Kinarsih sama Bi Dalimah hanya karena mengajakku ke perkebunan lewat hutan. Iya, sih, memang hutan cukup bahaya, tapi kan nggak perlu sampai memarahi orang segala. Kan bisa ngomongnya baik-baik tanpa perlu memarahi orang. Rasanya tuh, kayak Mas Dewangga nggak ngebolehin aku buat melakukan ini dan itu. Nyebelin tahu, Pak.” Adipati menyimak curahan hati Lyra tanpa sekalipun menyela. Dengan sabar pria paruh baya itu mendengarkan keluh kesal Lyra tentang suaminya. “Padahal nggak banyak juga kegiatan yang bisa aku lakukan di sini. Tapi, nggak dibolehin ini dan itu. Terus aku harus melakukan apa, Pak? Duduk manis aja gitu? Aku kan bukan pajangan!” kata Lyra kesal dengan napas memburu. “Saya tahu Nyonya merasa kurang nyaman dengan sikap protektif Tuan. Namun, mohon Nyonya memaklumi itu. Karena kan, saat ini hanya Nyonya yang Tuan miliki. Jadi, mungkin Tuan hanya ingin memastikan kalau Nyonya tidak terluka, baik-baik saja.” “Aku tahu, Pak. Tapi, kan, terlalu berlebihan. Masak hanya karena kena duri sampai kayak gitu banget resposnnya,” ucap Lyra memperlihatkan jarinya yang tadi sempat tertusuk duri. “Mungkin kali ini hanya kena duri, bagaimana kalau di lain waktu malah kena gigit ular yang entah bagaimana ada di antara tanaman bunga itu? Kalau tidak berbisa, mungkin hanya akan meninggalkan bekas luka. Tapi, bagaimana kalau ularnya berbisa? Keselamatan Anda akan terancam. Kan bahaya, Nyonya.” “Ya kan aku tetap bakal hati-hati, Pak,” ujar Lyra bingung sendiri karena dari duri malah merembet ke ular. “Saya tahu, Nyonya pasti akan berhati-hati. Hanya saja, bagi Tuan, pasti itu tetap membuatnya khawatir, Nyonya.” “Pak Adipati juga sih, pakai cerita ke Mas Dewangga kalau aku tadi habis kena tusuk duri. Kan jadi panjang gini ceritanya,” kata Lyra sebal. “Maaf, Nyonya. Saya tidak bermaksud untuk membuat Anda kena masalah. Saya hanya menyampaikan saja kabar Anda kepada Tuan. Kebetulan tadi Tuan bertanya Anda sedang melakukan apa di rumah.” Adiapati menunduk sekilas sebagai permintaan maaf. Lyra menghela napas dalam. Lyra ingin kembali mengomeli Adipati. Tapi, rasanya agak sungkan mengomeli orang tua. Akhirnya, Lyra hanya menganggukkan kepala. “Apa Pak Adipati tahu kenapa ayahnya Mas Dewangga memilihku?” tanyanya tiba-tiba. “Maksudku, kan ada perempuan yang lebih baik dan lebih-lebih deh, pokoknya daripada aku. Tapi, kenapa aku yang dipilih?” Adipati diam sejenak. Lalu, Adipati tersenyum kecil ke arah Lyra. “Apa Nyonya percaya dengan memilih jodoh lewat hitungan jawa?” Lyra mengangkat kedua bahunya mendengar pertanyaan dari Adipati itu. Lyra tidak pernah memikirkan apa-apa tentang jodoh. Karena kan, dirinya masih terlalu muda untuk memikirkan hal itu. “Ayahnya Tuan Dewangga percaya jika Anda itu adalah jodohnya Tuan Dewangga. Kalian itu ditakdirkan untuk menikah dan menghabiskan hidup bersama. Pernikahan kalian akan membawa kebahagiaan serta keberuntungan untuk Tuan Dewangga dan juga untuk Anda. Jadi, karena itu lah Tuan memilih Anda.” “Hanya karena itu?” “Kalaupun ada alasan lain, saya kurang tahu, Nyonya. Sebab, hanya itu yang Tuan katakan kepada saya,” kata Adipati. “Maka dari itu, Tuan meminta orang tua Anda menjodohkan Anda dengan Tuan Dewangga. Beruntungnya orang tua Anda menyetujuinya.” Bagaimana tidak menyetujuinya? Ayah Lyra diiming-imingi harta yang melimpah, yang bisa menghidupi keluarganya tanpa kekurangan apa pun. Bahkan, Lyra sampai merasa dirinya dijual alih-alih dijodohkan karena harta itu. Namun, meskipun begitu, Lyra toh sekarang masih tetap ada di sini, menjalani pernikahan perjodohan itu. Padahal Lyra dulu pernah berniat kabur jika tidak sanggup hidup dengan calon suaminya. Akan tetapi, sosok Dewangga yang rupawan mampu membuat Lyra tetap tinggal. Sepertinya Lyra pun tidak jauh berbeda dengan ayahnya. Mudah terbutakan oleh sesuatu. Hanya saja, Lyra dibutakan oleh ketampanan suaminya sendiri. Tidak kalah menyedihkan dengan ayahnya yang dibutakan oleh harta. “Terlepas dari sikap protektif yang Tuan tunjukkan, saya rasa, Tuan memperlakukan Anda dengan sangat baik, Nyonya. Jadi, saya rasa semuanya akan baik-baik saja.” “Mas Dewangga memang memperlakukanku dengan sangat baik. Tapi kan, aku nggak gitu suka dilarang ini itu, Pak,” kata Lyra sebal sendiri. “Saya tahu,” balas Adipati. “Mungkin Nyonya bisa membicarakan mengenai hal tersebut dengan Tuan secara baik-baik.” Tadi pun Lyra mencoba membicarakan hal itu dengan baik-baik, tapi Dewangga merasa punya hak untuk melarang Lyra melakukan ini dan itu hingga tidak mau mendengarkan keluhan Lyra. Ya, walaupun semua itu demi keselamatan Lyra sendiri, tapi tetap saja, Lyra tidak suka. Lyra menghela napas dalam. “Iya, Pak,” katanya kepada Adipati seraya menganggukkan kepala. “Terima kasih udah mau dengerin ocehanku. Dan mohon jangan bilang-bilang ke Mas Dewangga kalau aku ngomongin dia di belakang,” tambahnya agak berbisik. Adipati tersenyum lalu menganggukkan kepala. “Tentu Nyonya,” ucapnya. “Silakan cari saya kalau Nyonya merasa ingin menceritakan sesuatu. Saya bersedia untuk mendengarkan.” “Sekali lagi terima kasih, Pak.” “Kalau begitu, bagaimana jika saya buatkan Anda teh chamomile? Setahu saya, teh chamomile mempunyai efek menenangkan.” Lyra tersenyum kecil. “Boleh, Pak,” katanya mengelus kepala Albert. Kucing itu masih tertidur nyenyak di tengah keluh kesah Lyra mengenai suaminya. “Baik. Saya buatkan dulu, ya. Anda silakan tunggu di dalam. Karena sebentar lagi malam tiba. Dan udara malam hari akan terasa lebih dingin, Nyonya.” “Iya, Pak.” “Saya permisi dulu,” kata Adipati seraya bangkit dari duduk lalu berjalan meninggalkan Lyra. Lyra menghela napas dalam. Setelah mengeluarkan unek-uneknya di depan Adipati, Lyra merasa cukup lega. Ternyata Adipati bisa juga dijadikan teman bercerita.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN