Bab 17

1213 Kata
Sejak pertengkaran kecilnya dengan Dewangga sore tadi, Lyra masih belum bertemu dengan suaminya itu. Makan malam pun Lyra lalui sendirian karena sosok Dewangga tidak muncul di ruang makan. Ketika naik ke kamarnya, Lyra pun tidak melihat sosok Dewangga di sana. Padahal tadi Lyra sempat berpikir jika Dewangga akan datang meminta maaf kepadanya karena sudah seenaknya sendiri. Tapi, pria itu malah tidak muncul di hadapan Lyra sampai sekarang. Apa jangan-jangan Dewangga sedang sangat marah kepada Lyra? Tapi, masak hanya perdebatan kecil mereka tadi, Dewangga langsung marah dan mendiamkan Lyra seperti ini? Lyra menghela napas dalam. Tatapannya mengarah pada vas bunga yang berisi rangkaian bunga mawar yang tadi disusun oleh Lyra. Padahal, Lyra tadi berniat untuk memamerkan hasil karyanya itu kepada Dewangga. Siapa tahu Dewangga suka lalu memujinya. Namun, belum apa-apa sudah membahas luka yang Lyra dapatkan dari duri tangkai mawar hingga membuat mereka berdua bertengkar. Apa Dewangga memang serumit ini orangnya? Lyra benar-benar tidak mengerti. Terdengar ketukan dari arah pintu. Buru-buru Lyra berjalan ke arah pintu itu lalu membukanya. Awalnya Lyra pikir itu adalah Dewangga. Namun, sosok Dalimah yang tengah membawa nampan berisi teko dan juga gelas membuat Lyra agak kecewa. "Selamat malam, Nyonya," sapa Dalimah. "Tuan berpesan untuk mengantarkan air minum, karena siapa tahu nanti tengah malam Nyonya terbangun karena harus. Tuan tidak ingin Anda repot-repot untuk turun ke bawah." Lyra menganggukkan kepala seraya mempersilakan Dalimah masuk ke dalam kamar. "Mas Dewangga yang nyuruh?" "Iya, Nyonya," jawab Dalimah yang saat ini sudah meletakkan nampan ke atas meja. "Lalu, Mas Dewangganya mana, Bi?" tanya Lyra penasaran akan keberadaan suaminya itu. "Ada di ruang perpustakaan, Nyonya." "Apa Mas Dewangga nanti nggak tidur di kamar ini?" "Masalah itu saya kurang tahu, Nyonya," jawab Dalimah. Lyra menghela napas kecewa. Mungkin Dewangga memang tidak ingin melihat Lyra malam ini. Dan entah kenapa, Lyra merasa sedih karena hal itu. “Nyonya tidak apa-apa?” tanya Dalimah mengamati ekspresi wajah Lyra yang tampak murung. “Mas Dewangga kayaknya marah sama aku deh, Bi,” kata Lyra seraya duduk di sofa. “Kenapa Tuan marah dengan Anda?” Dengan helaan napas dalam Lyra menceritakan kejadian tadi sore ketika Dewangga tahu jika Lyra terluka karena tertusuk duri. Juga cerita tentang bagaimana Dewangga terlalu mengkhawatirkan Lyra secara berlebihan. Lyra mengeluhkan semua sikap Dewangga yang bagi Lyra terlalu membatasi pergerakan Lyra hanya karena khawatir Lyra kenapa-napa. Lyra pikir, bercerita dengan Adipati saja sudah cukup membuat dirinya lega. Namun, ternyata kekesalan di hati Lyra juga rasa kecewanya masih tersisa untuk ia bagi dengan Dalimah. Karena saat ini Lyra tidak punya siapa-siapa di sini, ia hanya bisa bercerita kepada para pelayan di rumah ini. Memang agak tidak etis menceritakan rumah tangganya kepada pelayan. Hanya saja, Lyra sudah tidak tahu lagi caranya menahan diri. “Bagaimana ya, Nyonya, Tuan sendiri sudah sejak kecil dibesarkan dengan cara yang seperti raja. Semua keinginan Tuan, apa pun, pasti diturutin dan harus dilaksanakan. Bagi Tuan, untuk berkompromi terhadap masalah sepele seperti itu juga mungkin agak susah. Apalagi Tuan tidak pernah berkompromi dengan seseorang sebelumnya. Jadi, Anda memang harus bersabar Nyonya. Tuan memang begitu,” kata Dalimah menasehati Lyra dengan suara lirih. “Lalu aku harus bagaimana, Bi? Aku kan bukan bawahannya. Aku kan istrinya. Mana boleh Mas Dewangga memutuskan sesuatu begitu saja. Apalagi, kan aku yang menjalani kehidupanku sendiri. Terluka pun, aku yang merasakannya. Seharusnya Mas Dewangga tidak perlu terlalu berlebihan seperti itu.” "Anda kan istrinya Tuan, Nyonya," kata Dalimah. "Jika Anda terluka, Tuan pun pasti sedih. Tuan hanya ingin menjaga Nyonya. Hanya saja, memang caranya agak semena-mena dan terkesan melarang Nyonya untuk melakukan ini dan itu. Tapi, saya yakin itu semua untuk kebaikan Nyonya." Lyra ingin membantah. Namun, yang dikatakan Dalimah tidak sepenuhnya salah. Apalagi mengingat status Dewangga yang adalah seorang Tuan besar dengan begitu banyak bawahan. Memang sudah bisa dipastikan jika suami Lyra itu diperlakukan seperti raja sejak kecil. Memangnya siapa yang bisa berkompromi dengan raja? Tidak ada. "Terus, aku harus bagaimana, Bi?" "Nyonya hanya bisa bersabar," jawab Dalimah. "Atau, kalau memang Nyonya tidak bisa hidup berdampingan dengan Tuan, kenapa tidak kabur saja?" Dalimah berbisik. Ucapan Dalimah itu membuat Lyra membelalakkan mata karena terkejut. Dalimah tersenyum kecil. "Bercanda, Nyonya," katanya. "Bibi bisa bercanda juga ternyata," balas Lyra yang membuat senyum Dalimah melebar. "Kalau boleh tahu, kenapa Nyonya menyetujui untuk menikah dengan Tuan? Padahal kan, Nyonya tidak mengenal Tuan sama sekali." Lyra terdiam sejenak mendengar pertanyaan dari Dalimah. Kalau dipikir-pikir, Lyra pun tidak paham kenapa ia menyetujui untuk menikah dengan Dewangga. Padahal sebelumnya Lyra sempat ragu dan ketakutan karena harus menikah dengan pria yang tidak dikenalnya. Namun, hari itu, ketika Dewangga berjalan ke arahnya dan menatapnya dengan sorot mata yang lembut, ketakutan Lyra sontak lenyap dari dalam dirinya. Bukan..., bukan lenyap karena saat ini pun Lyra masih bisa merasakan ketakutan itu ada pada dirinya. Namun, ketakutan itu terpendam jauh, sangat jauh, di dasar jiwanya. Dewangga dapat membuat keberanian Lyra muncul, mengalahkan ketakutannya dengan mudah. Lyra merasa semua hal itu sangat aneh. Namun, Lyra pun merasa keanehan itu adalah hal yang sangat wajar. Lyra bingung dengan pemikirannya sendiri. "Karena Mas Dewangga tampan, Bi," kata Lyra mengungkapkan sedikit hal yang membuatnya terjerat dalam pernikahannya dengan Dewangga ini. Karena memang benar, Lyra terpesona dengan suaminya sendiri. Dalimah menganggukkan kepala. "Tuan memang tampan, Nyonya. Sangat sulit untuk menolak menikahi pria setampan Tuan," balasnya tersenyum ramah kepada Lyra. "Benar," ucap Lyra ikut menganggukkan kepala seraya mengulum senyum. Rasanya pun sulit untuk tidak merasa bahagia membayangkan jika pria setampan Dewangga adalah suaminya. “Nyonya,” kata Dalimah memulai. “Saya tahu Nyonya agak kesulitan untuk menyesuaikan diri tinggal di sini dan menikah dengan Tuan. Saya hanya ingin mengatakan jika Nyonya mengalami kesulitan apa pun, Nyonya bisa mencari saya. Saya akan berusaha untuk membantu Nyonya sebisa saya.” Lyra tersenyum senang mendengar ucapan Dalimah itu. “Makasih, Bi,” balasnya. Dalimah menganggukkan kepala. “Dan untuk masalah Nyonya dengan Tuan Dewangga, mungkin sebaiknya Nyonya memberi Tuan waktu untuk menyesuaikan diri juga terhadap Nyonya. Karena bagaimanapun juga, kehidupan kalian sebelumnya itu sangat berbeda. Nanti, ketika Nyonya dan Tuan sudah sama-sama tenang, mungkin Nyonya bisa membicarakan masalah kalian dengan baik-baik.” “Iya, Bi,” kata Lyra. Bagaimanapun juga kan, Lyra dan Dewangga itu sepasang suami istri. Jadi, memang mereka harus saling berkomunikasi untuk menyelesaikan masalah apa pun yang mereka hadapi. Terlebih, usia Lyra itu masih sangat muda. Lyra masih agak labil. Jadi, semoga saja Dewangga paham dengan apa pun yang Lyra debatkan. “Oh ya, Bi, apa Mas Dewangga sudah makan malam? Karena tadi kan Mas Dewangga nggak ikut makan malam bareng aku,” ucap Lyra menatap Dalimah penuh kekhawatiran. “Sepertinya belum, Nyonya,” balas Dalimah. “Bagaimana kalau saya menyarankan Tuan untuk segera makan malam karena Anda sangat khawatir?” Dengan malu-malu Lyra menganggukkan kepala. “Iya. Tolong ya, Bi,” katanya. “Baik, Nyonya. Kalau begitu, saya permisi dulu. Silakan panggil saya jika Anda membutuhkan sesuatu.” Setelah mengucapkan itu Dalimah langsung keluar dari kamar Lyra. Kini, perasaan Lyra sudah cukup lega setelah berbicara dengan Adipati dan juga Dalimah. Mungkin karena usia mereka berdua jauh di atas Lyra, Lyra merasa mendapat nasihat dari orang yang jauh lebih bijaksana dan dewasa. Kalau tidak ada mereka berdua, Lyra tidak tahu harus bercerita dengan siapa. Kemungkinan, Lyra hanya bisa mengomel di depan Albert, yang tentu saja akan membuat Lyra seperti orang gila karena berbicara sendiri dengan kucing.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN