Bab 15

1163 Kata
“Makasih, Pak,” ucap Lyra kepada Adipati ketika plaster sudah menempel sempurna di jarinya. “Sama-sama Nyonya,” balas Adipati. “Mungkin sebaiknya Nyonya tidak usah lagi merangkai bunga mawar. Takutnya, Anda akan kembali tertusuk duri bunga mawar.” “Ini kan hanya luka kecil, Pak. Lagian juga nggak sakit, kok.” “Nanti luka itu berbekas di kulit Nyonya,” kata Adipati lagi. Lyra mengamati jarinya yang sudah tertutup plester. “Nggak apa-apa,” balas Lyra. “Kalaupun lukanya berbekas, itu pun nggak akan kelihatan dengan jelas. Orang lukanya kecil banget kok.” Lyra tersenyum ke arah Adipati. “Nggak perlu dibesar-besarin, Pak. Ini bukan luka yang serius kok,” katanya santai. “Omong-omong, apa Mas Dewangga juga pulang ke rumah?” “Tuan masih di perkebunan, Nyonya. Saya pulang hanya ingin mengambil beberapa dokumen milik Tuan,” jawab Adipati. “Mas Dewangga pulangnya jam berapa kira-kira, Pak?” “Mungkin nanti sore Tuan sudah pulang,” kata Adipati. "Jadi, Mas Dewangga akan makan malam di rumah?" "Seharusnya begitu, Nyonya." Tanpa sadar kini Lyra sudah tersenyum senang mendengar ucapan dari Adipati itu. Jika ada Dewangga, paling tidak, Lyra tidak akan kesepian. "Apa Nyonya ingin menitip pesan kepada Tuan? Nanti biar saya sampaikan," kata Adipati kepada Lyra. Lyra diam sejenak. Lyra ingin Adipati menyampaikan bahwa Lyra rindu kepada Dewangga dan ingin Dewangga segera pulang. Namun, Lyra menahan diri untuk mengatakan hal itu kepada Adipati. Lyra tidak mau dianggap berlebihan oleh Adipati ataupun Dewangga. "Nggak ada, Pak," kata Lyra seraya menggelengkan kepala. "Anda yakin tidak ada yang ingin disampaikan kepada Tuan Dewangga?" Adipati menatap Lyra penuh selidik. "Bilang aja jangan pulang terlalu malam dan hati-hati di jalan nanti pas pulang," kata Lyra. Adipati tersenyum seraya menganggukkan kepala. "Baik, Nyonya. Akan saya sampaikan kepada Tuan Dewangga," balasnya. "Kalau begitu, saya permisi dulu." "Iya," kata Lyra. "Sekali lagi terima kasih, Pak, untuk ini." Lyra mengacungkan jarinya yang tertempel plaster, menunjukkannya kepada Adipati. "Sama-sama, Nyonya. Mohon untuk lebih berhati-hati lagi ke depannya." Lyra menganggukkan kepala. "Iya, Pak. Pasti." Setelah itu Adipati pergi meninggalkan ruangan. Kini hanya ada Lyra yang berada di ruang santai lantai satu. Mungkin sebaiknya Lyra pun pergi dari ruangan ini. Siapa tahu Dalimah mencarinya. Karena tadi kan dirinya dan Dalimah tengah merangkai bunga di teras taman. Lyra keluar ruangan dan langsung berderap menuju teras taman. Di sana, Dalimah sudah mengangakat satu vas yang berisi mawar merah mekar yang tampak begitu indah. "Bi," sapa Lyra mendekat ke arah Dalimah. Dalimah menoleh ke arah Lyra. "Nyonya, dari mana?" tanya. "Tadi habis dari sana," jawab Lyra menujuk arah ruangan tempat Adipati mengobati lukanya."Jariku tadi kena duri.” Lyra memperlihatkan jarinya yang saat ini sudah tertutup plaster. "Apa jari Anda baik-baik saja?" Lyra menganggukkan kepala. "Baik-baik saja kok, Bi. Ini juga nggak sakit," jawabnya tersenyum menenangkan. Lalu, Lyra menunjuk vas yang dibawa Dalimah. "Itu mau dibaw ke mana?" "Ini mau saya taruh di meje dekat tangga," jawab Dalimah. "Ya udah aku lanjutin ini kalau gitu," kata Lyra menunjuk beberapa tangkai bunga yang ada di atas meja. "Jangan Nyonya," ucap Dalimah buru-buru. "Sebaiknya biar saya sendiri saja yang melanjutkannya." Lyra mengernyitkan dahi bingung. "Kenapa?" "Anda terluka." "Ini cuma luka kecil, Bi. Nggak perlu—" "Saya takut kalau Tuan nanti marah misal Nyonya kena duri lagi," potong Dalimah. Ucapan Dalimah itu membuat Lyra membatu beberapa saat. Dirinya kembali mengingat saat di mana Dewangga memarahi Kinarsih dan Dalimah habis-habisan hanya karena mengajak Lyra ke perkebunan melewati hutan. Jika kali ini Lyra ketahuan terluka, bisa-bisa Dalimah kembali kena amuk Dewangga. Dan tentu saja Lyra tidak mau orang lain kena marah hanya karena dirinya. Lyra menganggukkan kepala. "Iya, Bi. Kalau begitu, aku bawa vas ini ya, ke kamar." "Biar nanti itu saya bawakan ke atas, Nyonya. Vas bunganya cukup berat soalnya." "Begitu, ya," balas Lyra lirih. Apa jadi istri dari Tuan besar seistimewa itu hingga Lyra tidak boleh mengerjakan apa pun? Bahkan, sekadar mengangkat vas bunga saja Dalimah tidak memperbolehkan. Padahal, Lyra yakin jika vas bunga itu tidak begitu berat. *** Setelah selesai makan siang, Lyra langsung naik ke kamarnya. Di dalam kamar, sudah ada bunga yang tadi ia rangkai. Dalimah meletakkan vas bunga di atas meja yang berada di dalam kamar. Keberadaan bunga mawar yang cantik itu membuat suasana kamar menjadi lebih hidup. Lyra duduk di kursi sambil memebelai bunga mawar hasil rangkaiannya. Lalu pandangannya berhenti pada jari tangannya yang tertutup plaster. Lyra ingat betul ekspresi wajah Adipati ketika melihat Lyra terluka. Pria itu tampak begitu khawatir seolah tangan Lyra terluka karena teriris pedang. "Apa mungkin, luka sekecil ini bisa membuat Mas Dewangga khawatir?" gumamnya dengan bingung. Tanpa banyak berpikir Lyra langsung melepas plaster yang menempel pada kulitnya yang terluka. Kini sebuah luka sobekan sangat kecil terlihat di permukaan kulit Lyra. Luka itu sudah tidak mengeluarkan darah. Pun tidak terasa sakit sama sekali. Jika tidak diamati betul-betul, tidak akan ada yang tahu kalau jari itu pernah tertusuk duri. Pintu kamar terbuka. Sontak Lyra menoleh ke arah tersebut. Dilihatnya Dewangga berjalan memasuki kamar yang membuat Lyra tersenyum. “Mas Dewangga udah pulang,” kata Lyra bangkit dari duduk, menyambut kedatangan suaminya itu. “Iya,” jawab Dewangga berjalan mendekat ke arah Lyra. “Kata Adipati kamu terluka?” tanyanya seraya menarik tangan Lyra untuk mengamati luka yang didapat oleh istrinya itu. “Aku nggak apa-apa kok.” Dewangga mengabaikan ucapan Lyra. Matanya masih terpancang pada jari-jari Lyra, mencari luka yang disebutkan oleh Adipati. “Mas,” ucap Lyra. “Aku nggak apa-apa,” katanya meyakinkan Dewangga seraya menarik tangannya dari genggaman Dewangga. “Adipati bilang tanganmu tertusuk duri tangkai mawar,” balas Dewangga dengan ekspresi wajah serius, seolah luka yang diderita Lyra adalah luka serius. “Iya,” jawab Lyra enteng. “Dan aku nggak apa-apa, Mas.” Lyra memperlihatkan jari-jari tangannya kepada Dewangga. “Mas aja nggak tahu kan, jariku yang terluka yang mana? Lukanya nggak parah kok. Cuma tertusuk duri aja. Nggak sakit juga.” “Tapi tetap saja, Lyra. Kamu terluka,” ucap Dewangga tampak kesal. “Kamu nggak boleh lagi pegang bunga mawar.” “Astaga, Mas. Ini kan hanya masalah sepele. Kenapa Mas sampai kesal begini, sih, sampai nggak ngebolehin aku pegang bunga mawar?” “Kalau perlu malah aku akan meminta pelayan untuk memangkas bunga mawar yang ada di taman,” kata Dewangga mengabaikan protes Lyra. “Mas, kenapa sih, sampai kayak gini banget?” tanya Lyra heran sekaligus kesal. “Ya karena aku nggak suka kamu terluka, Lyra. Aku nggak mau kamu kenapa-napa. Aku pengennya kamu baik-baik saja.” “Aku baik-baik saja, Mas. Kenapa sih, Mas memperlakukanku seperti aku itu rapuh banget?” tanya Lyra heran. “Kekhawatiran Mas itu terlalu berlebihan tahu nggak.” Lyra menatap Dewangga dengan ekspresi jengkel. “Aku malah jadi nggak nyaman kalau diperlakukan kayak gini. Aku nggak suka.” Setelah mengatakan itu Lyra langsung berderap pergi meninggalkan kamar. Ia mengabaikan panggilan dari Dewangga yang memintanya berhenti dan kembali ke kamar. Saat ini Lyra benar-benar kesal. Baginya, sikap Dewangga yang terlalu protektif terhadapnya itu terlalu berlebihan. Sangat menyebalkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN