Bab 14

1515 Kata
Lyra mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang ia rasakan karena pembahasan mengenai mimpi dengan Dalimah. Lyra harus menanamkan pikiran postif karena dengan begitu, dirinya bisa jadi lebih tenang. Jadi, semua mimpi yang dialaminya selama di sini, hanyalah sekadar mimpi. Bukan pertanda ataupun apa pun itu. Benar. Lyra harus menganggapnya seperti itu. “Kalau boleh tahu, Bibi sudah berapa lama bekerja di sini?” tanya Lyra. “Sudah sangat lama, Nyonya. Sepertinya sudah lebih dari tiga puluh tahun.” “Benarkah?” tanya Lyra agak terkejut. Dalimah tersenyum kecil seraya menganggukkan kepala. “Sudah lama sekali, ya, Bi.” “Iya, Nyonya,” jawab Dalimah. “Apa Bibi nggak pernah bosan tinggal di tempat yang jauh dari mana-mana seperti rumah ini?” “Tentu saja tidak, Nyonya,” katanya. “Nyonya sendiri bagaimana?” Lyra menarik napas dalam lalu mengembuskannya dengan segera. “Aku bosan setengah mati,” jawabnya. “Setiap hari, aku merasa kebingungan harus melakukan apa, Bi.” “Anda bisa ikut Tuan ke perkebunan dan melihat pemandangan di sana.” Lyra menggeleng kecil. “Aku takut kalau Mas Dewangga marah misal aku ikut ke sana,” ucapnya. “Sebenarnya, kemarin aku dengar waktu Mas Dewangga memarahi Bibi sama Mbak Kinarsih gara-gara mengajakku ke perkebunan lewat hutan. Soal itu, aku beneran minta maaf, Bi. Aku nggak tahu kalau Mas Dewangga akan semarah itu.” Dalimah tersenyum lembut ke arah Lyra. “Tidak perlu meminta maaf, Nyonya,” katanya. “Tuan hanya khawatir dengan Anda. Karena yang namanya hutan kan, memang agak menyeramkan.” Lyra menganggukkan kepala. “Iya. Mbak Kinarsih juga cerita mengenai kejadian yang pernah terjadi kepada Mbak Endah, salah satu pelayan di sini.” “Kinarsih cerita soal Endah?” “Iya.” Dalimah menghela napas dalam. Tatapannya tertuju ke arah taman yang ditumbuhi bunga-bunga indah. “Apa yang sudah terjadi dengan Endah memang sangat menyedihkan,” katanya lirih, seolah tengah mengenang kepergian Endah yang begitu mendadak dan juga tragis. “Aku jadi khawatir kalau hal serupa terjadi dengan pelayan yang lain, Bi,” timpal Lyra. “Apalagi pelayan perempuan.” Kali ini Dalimah tersenyum ke arah Lyra dengan ekspresi menenangkan. “Anda tidak perlu khawatir,” katanya seraya mencondongkan tubuhnya ke arah Lyra. “Saya selalu meminta mereka untuk membawa pisau lipat untuk berjaga-jaga, Nyonya,” tambahnya berbisik. “Begitu, ya.” Lyra mengangguk-anggukkan kepala mengerti. “Mungkin sebaiknya Anda pun harus membawa pisau lipat untuk menjaga diri, Nyonya. Kita tidak tahu kapan seseorang akan melakukan hal buruk kepada kita.” Lyra terkekeh pelan mendengar ucapan Dalimah. “Kayaknya berlebihan kalau aku harus bawa senjata, deh, Bi.” “Tempat ini penuh kejutan, Nyonya. Kebanyakan kejutan buruk. Kita harus selalu waspada.” Kening Lyra sontak berkerut mendengar ucapan Dalimah. “Iyakah?” “Iya,” jawab Dalimah. “Selama saya tinggal di sini, terlalu banyak hal buruk yang sudah saya saksikan, Nyonya.” “Contahnya?” “Ya seperti apa yang sudah menimpa Endah. Pemerkosaan. Bunuh diri. Lalu, sudah beberapa kali ada perampok yang masuk ke rumah. Ada beberapa orang yang sampai terluka karena perampokan itu. Pernah ada pencurian juga di kantor. Selain itu, ada kasus pembunuhan juga di area hutan yang dekat dengan perkebunan,” kata Dalimah dengan nada sedih. “Karena hal-hal buruk itu, tak sedikit orang yang menyebut area rumah ini angker.” Lyra terdiam sejenak setelah mendengar cerita dari Dalimah. Lyra ingat kalau Dewangga pernah menceritakan kepada dirinya tentang perampokan di rumah ini. Itu adalah salah satu alasan kenapa tidak ada petunjuk arah di hutan. Agar menghindari kejadian buruk seperti itu. “Bi,” panggil Lyra. “Apa mungkin, perempuan yang kuimpikan itu, sosok Mbak Endah?” tanyanya tiba-tiba kembali teringat sosok perempuan yang hadir di mimpinya. “Kenapa Anda berpikir begitu?” Lyra merasa bisa jadi arwah Endah tidak bisa tenang di alam sana karena apa yang pernah menimpanya dulu semasa hidupnya. Terlebih, Endah meninggal karena bunuh diri. Bisa jadi kan, hantu Endah gentayangan, menghantui Lyra, si orang baru di rumah ini. Lyra mengangkat kedua bahunya. “Kali aja,” jawabnya dengan bingung. “Saya rasa, Endah nggak akan menghantui Nyonya. Tidak ada yang pernah dihantui oleh Endah di rumah ini, Nyonya,” ucap Dalimah mencoba menenangkan Lyra. “Bagaimana kalau aku mengunjungi makamnya, Bi? Anggap saja, aku sedang menyapa dengan niat baik?” kata Lyra memberi ide. “Aku bisa membawakan bunga untuk Mbak Endah.” “Saya rasa itu bukan ide yang buruk,” balas Dalimah. “Tapi, sebelumnya Anda harus meminta izin dulu kepada Tuan Dewangga. Karena seperti yang Anda tahu, Tuan tidak suka Anda pergi ke hutan.” Lyra menganggukkan kepala. “Iya,” jawabnya. “Nanti aku akan meminta izin kepada Mas Dewangga untuk mengunjungi makam Mbak Endah. Semoga Mas Dewangga ngasih izin.” “Tuan pasti memberi izin,” ucap Dalimah. “Omong-omong, saya merasa tidak asing dengan kalung yang Anda pakai,” katanya mengamati kalung yang tengah dikenakan oleh Lyra. Lyra memegang bandul kalung pemberian Dewangga. “Dikasih sama Mas Dewangga, Bi. Katanya ini sudah turun temurun dari neneknya, ke ibunya, terus dikasihkan ke aku,” katanya tanpa sadar sudah tersenyum kecil. “Ah, begitu,” balas Dalimah mengangguk mengerti. “Pantas saja saya merasa tidak asing.” “Mungkin Bibi pernah lihat pas ibunya Mas Dewangga mengenakan kalung ini.” “Iya, benar.” Dalimah tersenyum seraya mengamati kalung yang melingkar di leher Lyra. “Sudah lama sekali saya tidak melihat seseorang mengenakannya.” Tatapan Dalimah terangkat untuk menatap wajah majikannya. “Kalung itu sangat cantik Anda kenakan,” katanya lirih. Senyum Lyra melebar mendengar pujian dari Dalimah. “Makasih, Bi,” balasnya. “Sama-sama, Nyonya,” timpal Dalimah. “Rangkaian bunga yang Anda susun tampak indah.” Dalimah mengamati vas bunga di depan Lyra yang sudah terisi bunga mawar merah yang sudah mekar. “Iyakah?” Dalimah menganggukkan kepala. “Iya. Sangat cantik.” Lyra tersenyum seraya menata tangkai bunga di vas yang ada di hadapannya. “Ini baru pertama kalinya aku merangkai bunga seperti ini, Bi,” katanya. Lalu, tatapan Lyra mengarah pada rangkaian bunga yang ditata oleh Dalimah. “Punya Bibi juga bagus. Indah sekali.” “Terima kasih untuk pujiannya, Nyonya,” balas Dalimah. “Menurut Nyonya, bagaimana kalau bunga ini ditaruh di meja yang ada di dekat tangga?” Lyra mengangguk setuju. “Iya, Bi,” katanya. “Kalau yang ini, ditaruh di kamarku bagaimana? Apa boleh?” “Tentu saja boleh, Nyonya,” kata Dalimah. Lyra terkesiap karena merasakan sentuhan di kakinya. Ia menunduk untuk melihat apa yang menyentuh kaki kirinya. “Albert!” seru Lyra ketika mendapati kucing itu menyundulkan kepalanya ke kaki Lyra. “Sepertinya Albert lapar. Biar saya kasih makan dulu, Nyonya,” ucap Dalimah menatap kucing yang masih berada di dekat kaki Lyra. “Iya, Bi,” kata Lyra. Dalimah bangkit dari duduk seraya memanggil kucing itu untuk mengikutinya. Lyra melambaikan tangan ke arah kucing itu yang saat ini sudah berjalan mengikuti Dalimah sambil mengeong. Lyra mengalihkan pandangan kembali ke vas di depannya yang kini sudah terisi dengan beberapa tangkai bunga mawar. Lyra tersenyum kecil melihat hasil karyanya. Lyra merasa mempunyai bakat merangkai bunga. Dan ia menyukai kegiatan ini. Mungkin Lyra akan melakukan kegiatan ini lagi ketika dirinya bosan di rumah. Toh di rumah ini banyak sekali vas bunga. Bunga di taman juga tidak kalah banyaknya. Lyra mengambil satu tangkai bunga mawar yang ada di meja, hendak menaruhnya ke dalam vas kosong yang ada di kursi kosong di sampingnya. Namun, tanpa sengaja jarinya tertusuk duri dari tangkai mawar yang membuat Lyra terkejut. “Aw,” kata Lyra seraya mengamati jari telunjuknya yang kini sudah berdarah. “Aku ceroboh banget, sih,” gerutunya sendiri seraya menekan jari terlunjuknya yang terluka, berharap dapat menghentikan darah yang keluar. Lyra bangkit dari duduk lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Ia hendak meminta tolong kepada salah satu pelayan untuk diambilkan plaster. Luka di jari Lyra sama sekali tidak parah. Hanya saja, bukankah lebih baik ditutupi plaster biar darahnya berhenti? “Nyonya tidak apa-apa?” tanya suara di belakangnya. Lyra menoleh ke belakang. Dilihatnya Adipati tengah berjalan ke arahnya. Tatapan matanya tertuju pada jari Lyra yang berdarah. “Hanya nggak sengaja tertusuk duri, nggak apa-apa,” jawab Lyra tersenyum lebar. “Pak Adipati tahu di mana letak kotak obatnya?” Ketika Adipati sudah berada di depan Lyra, pria itu langsung memegang tangan Lyra, mengecek luka di jari Lyra yang masih mengeluarkan sedikit darah. Tatapan khawatir tergambar jelas di mata Adipati yang membuat Lyra mengernyit bingung. “Ini hanya luka kecil, Pak,” kata Lyra berharap Adipati dapat berhenti menatap lukanya dengan penuh kekhawatiran. “Anda seharusnya berhati-hati, Nyonya,” ucap Adipati dengan helaan napas dalam. Ekspresi khawatir masih terpasang jelas di wajahnya. “Mari saya obati luka Anda. Takutnya kalau tidak segera diobati bisa infeksi.” Lyra hanya menganggukkan kepala seraya mengikuti Adipati yang sudah berjalan menuju lorong yang berada di samping tangga. Bukankah Adipati agak berlebihan memperlakukan luka Lyra yang hanya kena duri bunga mawar? Lyra benar-benar tidak terbiasa dengan segala kekhawatiran orang-orang yang ada di rumah ini terhadap dirinya. Seolah, Lyra adalah barang yang mudah tergores hanya karena sebuah sentuhan. Benar-benar berlebihan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN