Bab 18

1226 Kata
Beberapa saat setelah Dalimah pergi dari kamar, Lyra menyempatkan diri untuk sekadar berdiri di ambang pintu kamarnya yang terbuka. Kepalanya menoleh ke ujung lorong, mencari keberadaan Dewangga. Karena kan, siapa tahu malam ini Dewangga tidur di kamar ini. Namun, hingga hampir satu jam menunggu, sosok Dewangga masih tidak muncul juga. Karena merasa kesal, akhirnya Lyra masuk ke dalam kamar lalu merebahkan diri di kasur, bersiap untuk tidur. Hanya saja, suasana malam di kamar dan juga rumah ini agak ngeri yang membuatnya kesusahan untuk sekadar menutup mata. Lyra mengamati kamarnya yang tampak begitu menakutkan tanpa adanya Dewangga di sini. Bagaimana bisa Lyra tidur, beristirahat dengan tenang, jika setiap kali menutup mata rasa was-was menggerogoti jantungnya. Bagaimana jika ketika Lyra tidur, menutup matanya, tiba-tiba saja ada yang muncul di hadapannya? Membayangkan hal itu membuat Lyra kembali membuka matanya yang sempat tertutup. “Mas Dewangga,” rengek Lyra pelan seraya mengamati pintu kamarnya, berharap Dewangga muncul dari sana. Masak sih, hanya gara-gara kejadian tadi, Dewangga benar-benar tak mengacuhkan Lyra seperti ini? Memangnya Dewangga tidak khawatir jika luka karena duri di jari Lyra tiba-tiba bernanah dan infeksi? Kalau memang khawatir, bukankah seharusnya Dewangga menghampiri Lyra untuk sekadar melihat kondisinya? Lyra menghela napas dengan sedih. Apa sebaiknya Lyra yang pergi menghampiri Dewangga dan meminta maaf? Seharusnya, Lyra paham apa pun yang Dewangga lakukan adalah untuk kebaikan Lyra. Kenapa malah jadi Lyra yang menyesal, sih? Padahal kan, yang berlebihan itu Dewangga hingga membuat Lyra kesal. Apa sebaiknya Lyra memanggil Dalimah untuk menemaninya hingga dirinya tertidur? Tapi, ini sudah lewat tengah malam. Tidak seharusnya Lyra mengganggu orang yang sedang beristirahat. “Pagi masih lama pula,” gumam Lyra. Untuk beberapa saat Lyra hanya bergelung di bawah selimut dengan mata tetap waspada mengamati sekitar. Lyra hanya bisa berharap jika Dewangga mau berbaik hati untuk pergi ke kamar, menemani Lyra tidur malam ini. Sudah setengah jam berlalu tapi Dewangga tidak muncul juga. Suasana sunyi tengah malam membuat Lyra semakin ketakutan tidak jelas. Ada rasa tidak nyaman yang membuat jantungnya berdegup tidak keruan. Walaupun dirinya merasa mengantuk, tapi Lyra seperti tidak bisa tertidur. Rasanya sangat menyiksa. Lyra memutuskan untuk bangkit dari atas kasur lalu berjalan menuju pintu. Sebelum membuka pintu kamar, Lyra menarik napas yang sangat dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ia sedang mencoba mengumpulkan segenap keberanian untuk pergi keluar kamar, mungkin ke perpustakaan, untuk mencari Dewangga. Lyra berniat untuk membujuk Dewangga agar mau menemaninya tidur malam ini. Kalau perlu, Lyra akan menangis dan meminta maaf kepada Dewangga karena marah kepada suaminya sendiri. Apa pun akan Lyra lakukan asal Dewangga mau menemaninya di kamar. Lyra tidak mau terus-terusan ketakuan yang membuatnya sulit untuk tidur meskipun ia merasa mengantuk. Dengan memantapkan hati, Lyra membuka pintu kamarnya. Masih dengan tarikan dan helaan napas yang semakin cepat, Lyra berjalan menyusuri lorong menuju arah tangga. Lyra hendak turun ke lantai dua di mana ruang perpustakaan berada. Siapa tahu Dewangga masih berada di sana. Lyra selamat melewati lorong sampai ke tangga. Kepalanya menunduk, menatap lantai satu. Suasana mencekam tiba-tiba Lyra rasakan hingga membuat bulu kudunya berdiri. Kini di lantai satu tampak begitu gelap seperti tidak ada penerangan sama sekali. Perlahan Lyra berjalan menuruni tangga menuju perpustakaan. Ketika sampai di depan pintu perpustakaan, Lyra langsung membuka pintu itu. Lyra melongokkan kepala ke dalam ruangan. “Mas Dewangga?” panggilnya dengan suara pelan. Lyra tidak berani berbicara dengan suara yang lebih keras karena kesunyian yang begitu mencekik. Ketika tidak mendengar balasan dari dalam, Lyra memberanikan diri untuk melangkah masuk ke dalam perpustakaan yang saat ini tengah diterangi oleh lampu temaram. Hal ini membuat suasana perpustakaan tak jauh lebih seram daripada ruangan lain di rumah ini. “Mas Dewangga?” panggil Lyra lagi sambil menajamkan indra pendengarannya. Dan lagi. Tidak ada jawaban. Malah, Lyra seakan mendengar suara degup jantung yang begitu samar dan jauh. Hal ini membuat Lyra memegang dadanya, merasakan degupan jantungnya yang sudah mulai menggila. Tiba-tiba saja lampu di ruangan ini padam. Hal ini membuat Lyra terkesiap. Degupan jantungnya semakin cepat yang membuat rasa takut dalam dirinya menjalar ke seluruh sel-sel tubuhnya. Mata Lyra menyisir ruangan yang begitu gelap. Lyra tidak dapat melihat apa-apa yang membuatnya meraba-raba di kegelapan. Lyra menyesal meninggalkan kamarnya. Kalaupun ia ketakutan di dalam kamar, masih ada guling yang bisa ia peluk dan dapat membuatnya sedikit tenang. Dengan tangan meraba-raba, Lyra berjalan kembali menuju pintu. Dua kali Lyra tersandung kakinya sendiri yang membuatnya hampir jatuh. Namun, beruntungnya ia masih bisa menyeimbangkan diri hingga keluar dari ruang perpustakaan itu. Kini, keadaan luar ruangan pun gelap gulita. Untuk beberapa saat Lyra hanya berdiri di depan pintu perpustakaan karena kebingungan. Bukankah ini sangat tidak wajar? Kalaupun listrik mati dan membuat seluruh lampu di rumah ini padam, bukankah seharusnya ada pelayan yang berbondong-bondong menyalakan lilin untuk penerangan ataupun menyalakan lentera. Karena setahu Lyra, ada banyak tampat lilin di sudut rumah ini. Apa yang sebenarnya terjadi? Jantung Lyra seakan meledak karena terkejut ketika mendengar suara benda jatuh lalu pecah dari lantai satu. Tak lama berselang, terdengar suara erangan kucing yang begitu keras, seakan kucing itu tengah kesakitan. “Albert,” gumam Lyra panik seraya berjalan menuju arah tangga. Tangan Lyra kembali meraba-raba mencari pegangan tangga. Ketika sudah menemukannya, Lyra berjalan dengan sangat hati-hati menuruni tangga untuk menuju lantai satu. Di bawah tangga, Lyra melihat siluet ada orang tengah berdiri di teras depan ruang tamu. Pintu ruang tamu saat ini tengah terbuka sedikit yang membuat seberkas cahaya masuk ke dalam rumah. Apa mungkin itu adalah Pak Bejo, pelayan yang biasanya bertugas mengecek pintu dan jendela setiap malam? Mungkin sebaiknya Lyra bertanya kepada Bejo apa mungkin saat ini sedang ada pemadaman di daerah sini. Selain itu, Lyra pun ingin meminta lilin, lentera, senter apa pun yang bisa menyala sebagai alat penerangan. Karena dalam keadaan gelap gulita ini, Lyra benar-benar merasa ketakutan. Ketika kaki Lyra menapak di lantai bawah. Tiba-tiba saja kakinya terasa sakit karena tertusuk sesuatu yang tajam. Hal ini membuat Lyra tanpa sadar memekik lalu kembali menaiki satu anak tangga. Lyra terduduk di anak tangga seraya meraba telapak kakinya yang terluka. Lyra dapat merasakan bahwa saat ini kakinya tengah berdarah. Matanya mencoba mengamati lantai yang tampak ada pecahan benda. Sepertinya suara benda jatuh dan pecah itu datang dari vas bunga yang ada di meja dekat tangga. Kini Lyra bangkit dari duduk, hendak pergi ke ruang santai, di mana kotak obat berada. Lyra pun ingat tempat Adipati meletakkan kotak obat itu. Sambil terpincang-pincang Lyra berjalan ke arah kirinya, di mana ruangan itu berada. Namun, tiba-tiba saja kaki telanjang Lyra tersandung sesuatu yang membuat Lyra menunduk. Samar-samar Lyra melihat bulu putih dan hitam. Juga siluet ekor. “Albert,” panggil Lyra pelan seraya menunduk, memegang badan Albert. Lyra merasakan tangannya basah serta ada bau anyir khas darah. Untuk memastikan, Lyra mencium benda cair yang membasahi tangannya. Dan benar saja, Lyra mencium darah dari tangannya yang tadi memegang badan Albert. Rasa takut dan ngeri memeluknya sangat erat. Membuat Lyra mematung di tempat dengan tatapan bingung. Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini? Ke mana semua orang? Kenapa tempat ini begitu sepi? Lyra benar-benar sangat ketakutan. Kalaupun harus lari, kabur, Lyra tidak tahu harus lari ke araha atau ruangan yang mana untuk bersembunyi. Karena Lyra yakin, saat ini pasti ada sesuatu yang terjadi di dalam rumah. Tapi, Lyra tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba saja seseorang membekap mulut Lyra dari belakang. Lyra terperanjat kaget, hendak berteriak. “Ssstt…,” ucap suara itu yang membuat Lyra membeku di tempat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN