Jasmine 1. The Buried Dreams

1888 Kata
“Selamat siang? Apakah ada wanita bernama Jasmine disini?” Detak jantung Jasmine seketika berdegup kencang, keningnya berkerut. Tidak hanya Jasmine, tetapi sang Nenek juga menoleh ke arah yang sama. Mereka melihat siapa yang berkunjung di toko mereka. Seketika senyuman di wajahnya berubah menjadi sumringah. “Kakek?? Jasmine pikir siapa,” ujar Jasmine beranjak dari kursi dan menghampiri sang Kakek yang sudah mengulum senyum. Abbu Jabare, pria lansia berusia 72 tahun. Dia berjalan masuk ke dalam toko mereka sembari membawa sapu lidi. “Apa salah kalau Kakek bertanya apakah ada wanita bernama Jasmine??” ujar Abbu sambil tersenyum. Dia menerima pelukan dari cucu semata wayang mereka. Sementara Eshe tidak berhenti menahan senyum melihat sang cucu begitu menyayangi mereka. “Sudah-sudah. Kita harus makan siang dulu supaya kita memiliki tenaga untuk memanggil para pembeli,” ujar Eshe seraya membuyarkan kesenangan mereka. Abbu mengendurkan pelukan mereka. “Ayo, Sayang. Habiskan dulu makan siang kamu. Biar Kakek yang duduk disini,” ujar Abbu. Jasmine menolak dan menarik lembut lengan kanan sang Kakek untuk ikut duduk bersama mereka. “Kakek harus menemani Jasmine makan siang. Setelah itu, kita akan menarik pembeli bersama-sama. Lagi pula, ini jam makan siang, Kakek. Jadi kita harus beristirahat sebentar saja,” ujar Jasmine tersenyum dan mengambil tangan sang Kakek, mengecupnya lembut. Abbu dan Eshe tidak berhenti mengulum senyum. Bila cucu semata wayang mereka sudah memberikan ultimatum seperti itu, maka mereka tidak bisa menolak. “Baiklah, Sayang. Kakek akan tetap berada disini sampai kamu selesai makan siang. Ayo, habiskan makanan kesukaan kamu.” Abbu tersenyum. Sementara Eshe kembali menyuapi sang cucu dengan penuh kesabaran. Tidak ada hal yang membahagiakan mereka selain bersama seperti ini. Karena sejak awal kehidupan mereka berubah drastis, Jasmine adalah penyejuk rumah mereka. Hanya Jasmine yang mereka punya sebagai penyemangat hidup. Sembari menikmati makan siang yang terus tersuap ke mulutnya, Jasmine tidak berhenti berbincang mengenai hal kecil untuk toko mereka. Seandainya saja dia memiliki peluang untuk membesarkan toko mereka seperti toko-toko lainnya, Jasmine pasti akan melakukannya. “Hari ini ramai tapi … tidak satupun dari mereka yang tertarik untuk melihat kain yang kita jual,” ujar Jasmine sesaat setelah ia meneguk air mineral di cangkirnya. Abbu dan Eshe membalas ucapan Jasmine dengan senyuman. “Itu berarti belum rezeki, Nak. Tidak apa-apa, yang penting toko kita masih berdiri sampai sekarang,” balas Abbu berusaha menenangkan hati cucunya. Eshe tetap tersenyum dan menatap lekat sang cucu. “Kalau sudah rezeki, pasti tidak akan tertukar, Sayang. Allah sudah menjamin rezeki kita. Bukankah Nenek selalu mengatakan itu padamu?” ujar Eshe. Jasmine tersenyum dan mengangguk pelan. “Iya, Nek. Jasmine selalu ingat. Tapi … Jasmine janji! Jasmine akan membuat Kakek dan Nenek bahagia. Dan … Jasmine pasti bisa mengembangkan usaha kita ini menjadi toko besar seperti toko-toko yang lain,” ujarnya berusaha membuka semangat di dalam diri mereka. Abbu dan Eshe mengangguk, mengiyakan. Mereka tidak mau mengecewakan harapan besar cucu semata wayang mereka. Siang itu, setelah jam makan siang berlalu, mereka kembali menjaga toko bersama. Jasmine selalu menjadi sosok yang bersemangat untuk menarik para pembeli. Walau tidak ada seorangpun yang berniat melirik toko mereka, tetapi Jasmine tetap menunjukan semangatnya. Sesekali dia dan sang Kakek berbincang terhadap pemilik toko lain yang berdekatan dengan toko mereka. Sembari mengisi kekosongan waktu disela-sela hari yang sangat terik, mereka selalu mencari bahan perbincangan baru terhadap tetangga yang lain. Dari pada mereka merasakan perasaan yang tidak biasa kala melihat toko-toko yang ramai, lebih baik mereka membuang perasaan itu demi menjaga kemurnian hati dan jauh dari kata iri serta dengki. Begitulah hari-hari yang Jasmine lewati setiap harinya. Hanya ada dia, Kakek, Nenek, dan dagangan mereka. *** Jasmine House, Port Said, Egypt., Kamar Jasmine., Malam hari., Jarum sudah menunjukan pukul 8.45 malam waktu Port Said. Setelah selesai membereskan dapur, Jasmine memutuskan untuk pergi ke kamar dan hendak beristirahat. Ketika malam tiba dan dia sudah bersantai seperti ini, lagi-lagi Jasmine mengingat almarhum kedua orang tuanya. Perasaan rindu ingin dipeluk dan melihat wajah mereka secara langsung sungguh membuat d**a Jasmine terasa sesak. Namun, dia tidak mungkin memperlihatkan jika dirinya juga lemah. Jasmine harus menjadi sosok yang kuat dan tegar di hadapan kakek dan neneknya. Dia masih betah bersandar pada dinding berbahan bata yang sudah usang. Rumah ini memang tidak pernah direnovasi. Walau terlihat rumah lama, tapi masih layak untuk dihuni. Rumah sederhana dua lantai dan kamarnya terletak di lantai dua. Kamar ini memang tidak terlalu besar. Namun, kamar ini menjadi saksi bisu air mata yang tiba-tiba menetes karena menahan rindu teramat dalam. Jendela kamarnya masih terbuka. Dia menatap hambaran lampu temaram diluaran sana. Malam ini, pasti akan sama seperti malam yang sudah-sudah. Rindu yang tidak akan pernah terbalas. Pada akhirnya, akan berhujung pada kantuk. Jasmine sudah terbiasa dengan malam kelabu seperti ini. Dia tersenyum tipis dengan kedua tangan melipat pada bibir jendela dan dagunya bertumpu pada lipatan tangan. Berulang kali ia menarik napas panjang. Tidak jarang Jasmine bertanya-tanya pada dirinya dan Tuhan, apakah kehidupan mereka akan selamanya seperti ini. Apakah dia tetap tidak bisa berbuat apapun sampai akhir hayat kakek dan neneknya. Banyak sekali pertanyaan yang ada di benaknya yang bahkan Jasmine sendiri tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Dia hanya rakyat kecil yang tidak memiliki bekal apa-apa. Dia tidak terlahir dari keluarga mapan yang bisa meneruskan pendidikan seperti teman-temannya yang lain. Sepertinya memang sangat mustahil jika dia bisa menjadi sosok yang membanggakan bagi kakek dan neneknya. Saat dia sedang melamun, ketukan pintu kamar menyadarkan lamunan Jasmine. Dia langsung menoleh ke arah pintu. “Nak? Kamu sudah tidur?” “Belum, Nek. Masuk saja, Nek. Jasmine tidak mengunci pintu kamar.” Pintu kamar terbuka, kemudian dia tersenyum. “Nenek belum tidur?” tanya Jasmine menarik napas panjang dan beralih duduk di bibir ranjang yang hanya bisa dipakai untuk satu orang saja. Eshe tersenyum dan meletakan wadah tertutup yang berisi cemilan diatas meja kayu kecil tepat di sisi ranjang sang cucu. “Ini … Nenek hanya mau meletakkan ini. Siapa tahu kamu terbangun dan lapar tengah malam nanti,” ujar Eshe kemudian duduk di bibir ranjang. Jasmine tersenyum dan memeluk sang Nenek. Dia mengecup puncak kepalanya. “Terima kasih, Nek. Tapi … Kakek sudah tidur?” tanya Jasmine sembari merapikan penutup kepala sang Nenek yang terlihat tidak rapi. Eshe menggelengkan kepala. “Belum, Sayang. Kakek kamu sedang mendengarkan radio dibawah. Dia tahu kalau Nenek ke kamarmu. Kenapa kamu belum tidur, Nak? Ada yang sedang kamu pikirkan?” tanya Eshe berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang terselip dibenaknya. Bukan dia tidak menyadari, tapi Eshe sering mendapati cucunya melamun seorang diri. Pasti ada sesuatu yang sering dipikirkan oleh cucunya ini. Namun, Eshe sendiri tidak berani bertanya banyak jika itu menyangkut hal-hal yang sensitif. Dia takut kalau cucunya menjadi sedih. Kemungkinan, hal yang sering dilamunkan oleh cucu mereka ini adalah almarhum putra dan menantu mereka. Pertanyaan sang Nenek membuat Jasmine mengulum senyum. “Tidak ada, Nek. Jasmine hanya ingin cepat tertidur, itu sebabnya Jasmine selalu melihat lampu-lampu diluaran sana. Rasanya … lampu-lampu itu bisa menghipnotis mata kita supaya cepat lelah,” ujar Jasmine mengambil alasan lain. Eshe tersenyum dan mengusap lembut lengan sang cucu yang masih memeluknya. “Kamu ini … apa perlu Nenek menemanimu tidur??” Jasmine semakin tidak bisa menahan senyum di bibir. “Nenek, Jasmine bukan anak kecil lagi. Lagi pula Nenek juga sudah tahu, Jasmine pasti selalu melihat pemandangan lampu diluaran sana sebelum pergi tidur,” ujarnya berusaha meyakinkan sang Nenek kalau dia baik-baik saja. Dia tidak bisa berbuat banyak selain mengiyakan ucapan sang cucu. “Baiklah, Sayang. Kalau begitu lanjutkan hal yang biasa kamu lakukan supaya kau cepat tidur malam ini,” ujar Eshe mengangkat tangan kirinya, membelai sisi wajah Jasmine. “Iya, Nek. Dan … besok pagi Nenek tidak boleh memegang apapun di dapur. Nenek masih ingat pesan Jasmine bukan?” Eshe tersenyum dan mengangguk paham. “Iya, Sayang. Nenek masih ingat. Kami hanya boleh mengerjakan pekerjaan ringan seperti menyapu, makan, dan mandi.” Jasmine tertawa geli mendengar pernyataan sang Nenek barusan yang benar adanya. “Baiklah. Nenek akan ke bawah dan menemani kakekmu lagi.” “Iya, Nek.” Eshe hendak beranjak dari bibir ranjang, tapi Jasmine kembali menahan lengan kirinya. “Nek …” sapa Jasmine menatap lekat sang Nenek. Dia tersenyum dan memasang wajah biasa saja. “Iya, Sayang? Kamu mau sesuatu?” tanya Eshe merasa penasaran. Jasmine bingung mau mengatakan ini, tapi dia juga tidak bisa memungkiri jika keinginan itu selalu muncul dibenaknya. Keadaan ekonomi yang tidak memungkinkan selalu memaksa Jasmine untuk bertekad bulat mewujudkan impian yang selama ini terpendam. Bukan dia melupakan keputusan terakhir sang Kakek dan Nenek yang tetap tidak mengizinkan dirinya untuk melanjutkan bakat almarhumah sang Ibu, tetapi Jasmine merasa hanya itu yang bisa dia lakukan supaya mampu menghasilkan uang untuk memenuhi kehidupan mereka selanjutnya. Jasmine tidak ingin masa mudanya sia-sia hanya dengan berdiam diri dan tidak melakukan apapun seperti ini. Jika dia tidak melanjutkan pendidikan, itu tidak menjadi masalah. Namun, untuk biaya hidup mereka, Jasmine tidak bisa tinggal diam. “Nek, apa Jasmine … Jasmine benar-benar tidak boleh?” tanyanya dengan wajah memohon. Eshe tertegun. Raut wajah yang tadinya tersenyum teduh, kini mendadak mengendur. Ternyata tebakannya benar. Selama ini, cucunya masih tetap memikirkan mengenai hobi yang sudah mereka larang. Tidak, mereka tidak akan pernah membiarkan cucu semata wayang mereka mewarisi bakat almarhumah ibunya. Hanya Jasmine, harta paling berharga mereka. Masa lalu itu tidak boleh terulang kembali. Mungkin, lebih baik dia berpura-pura tidak tahu dan tidak menjawab pertanyaan cucunya. Dia menghela napas panjang dan langsung beranjak dari ranjang. “Tidurlah, Nak. Ini sudah malam. Nenek mau menemani kakekmu dibawah. Kalau butuh sesuatu, kau bisa mengambilnya sendiri di dapur ya,” ujar Eshe dengan bahasa lembut yang sama. Dia mengusap puncak kepala sang cucu sebelum berlalu dari kamar itu. Jasmine hanya diam menatap kepergian sang Nenek dari kamarnya. Setelah sekian lama dia tidak membahas mengenai hobi yang ingin ia kembangkan, sang Nenek tetap tidak menyetujui bahkan enggan untuk membahasnya barang sedetikpun. Sebelum menutup pintu kamar sang cucu, Eshe kembali menatap sang cucu yang masih melihatnya dari arah ranjang. “Kami sangat menyayangimu, Nak. Tidurlah. Besok pagi bantu Nenek membersihkan ladang kita,” ujar Eshe seraya tidak mengetahui apapun yang sebenarnya ingin dibahas oleh Jasmine. Kemudian, dia menutup pintu kamar tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi. Jasmine menarik napas panjang dan kembali membenarkan duduknya untuk bersandar pada posisi yang sama. Dia kembali bertumpang dagu dilipatan kedua tangan dan menatap ke arah luar sana. ‘Kenapa mereka tidak pernah mengizinkanku? Padahal … aku berniat baik untuk membantu perekonomian kami,’ bathin Jasmine menitihkan air mata. … Setelah menutup pintu, Eshe berbalik badan dan hendak turun ke lantai bawah. Namun, ternyata sang suami sudah berada di depan kamar sang cucu. Mereka saling menatap satu sama lain. “Dia bertanya mengenai hal yang sama?” tanya Abbu menebak apa yang ia dengar tadi. Eshe mengangguk kecil. “Apapun yang terjadi, aku tidak mau cucuku meneruskan profesi ibunya. Dia harta berharga kita,” ujar Eshe. Abbu tersenyum. “Jasmine tidak akan melanggarnya. Yang paling penting, dia tetap berada di rumah dan tidak kemana-mana,” balas Abbu. Mereka saling menguatkan diri satu sama lain ditengah-tengah kondisi ekonomi yang kian menurun. Apalagi harus menghadapi keinginan cucu mereka selama ini. Sebisa mungkin Abbu dan Eshe terlihat baik-baik saja agar cucu mereka tidak merasa terpaksa harus bekerja diluar kota Port Said. Biarlah mereka hidup apa adanya, asalkan Jasmine tetap berada di samping mereka. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN