Sakit yang Datang Secara Tiba-tiba

1069 Kata
Satu minggu berlalu …. Ulang tahun ketiga ini, Rhea harus menerima kenyataan kalau pada akhirnya Brandon pun tahu Kaisan adalah anak kandungnya. Namun, bukan berarti Rhea akan membiarkan Brandon memberi tahu kepada Kaisan tentang kenyataan itu. “Jangan takut. Brandon udah bilang ke aku, dia nggak akan mengaku-ngaku jadi ayahnya. Karena dia paham, Kaisan masih kecil. Dia hanya ingin melihat tumbuh kembang anaknya aja. Jangan dipikirin. Masalah kayak gini aja kok dipikirin.” Mario menghampiri Rhea yang tengah melamun dan Mario tahu apa yang tengah dipikirkan oleh wanitanya itu. Rhea lalu menghela napasnya dengan pelan. “Selama ini aku selalu menutupi kenyataannya. Tapi, akhirnya harus ketahuan juga. Seolah semuanya memang harus diberi tahu dan kejujuran adalah hal terpenting. Aku malu sendiri, karena sudah merendahkan diri aku di depan dia dulu. Yang mengatakan aku sudah selingkuh.” Mario terkekeh pelan. “Nggak ada yang perlu dibuat malu, Sayang. Semuanya sudah clear. Brandon juga nggak nanya itu. Dia hanya menitipkan Kaisan ke aku dan jaga dia dengan baik. Sudah aku lakukan sejak Kaisan masih di dalam perut kamu.” Ia lalu menatap Rhea dengan lekat. “By the way, aku punya cerita lucu dari Kaisan.” “Apa itu?” tanyanya ingin tahu. Mario menghela napasnya panjang. “Katanya, Daddy … perut Tante Indi kok besar? Terus aku jawab, lagi ada dedek bayinya. Adiknya Chloe itu, Nak.” Sambil mengembuskan napasnya, Rhea melirik ke arah Mario. “Terus?” tanyanya datar. Mario lalu menerbitkan cengiran khasnya sembari mengelus lengan wanitanya itu. “Kaisan juga pengen, punya adik katanya. Perut kamu isi lagi, Sayang. Janji kok, nggak bakalan pergi. Sumpah!” Rhea lalu memutar bola matanya pelan. “Mario. Nggak mau. Aku belum siap. Bukan karena nggak percaya, tapi … lebih ke lagi nyiapin mental. Kamu tahu sendiri, waktu hamil Kaisan tuh mabuknya parah banget. Nanti kamu sibuk urus aku lagi. Nggak bisa kerja.” Mario lalu mengerucutkan bibirnya. “Ya udah, deh. Tapi, ini kan sudah seminggu. Masa iya belum surut?” Rhea menggigit bibir bawahnya sembari melirik Mario. “Sudah, sih. Kamu nggak ke kantor? Nggak nyiapin apa gitu?” “Sayang? Bercinta paling lama berapa jam sih. Paling satu jam. Kaisan masih di rumah neneknya. Nggak ada orang, lho.” Mario menaik-turunkan alisnya menggoda Rhea. Perempuan itu menggeleng dengan pelan. “Aku nggak biasa bercinta siang bolong. Kurang pas aja, momennya. Kecuali lagi bulan madu. Mungkin bisa pagi, siang, sore malam.” Mario terkekeh pelan. “Ya udah. Nanti malam berarti, yaa. Habis Kaisan tidur.” Rhea menganggukkan kepalanya. “Iya, Mario. Ngebet banget, sih!” “Udah lama soalnya.” Rhea lalu mengerucutkan bibirnya. “Aku ada meeting nanti sore. Pelanggan aku dari Paris butuh tas sepuluh pcs. Minggu depan kayaknya aku sibuk banget. Minta tolong buat jemput Kaisan nanti, yaa.” Mario memberikan jempolnya kepada Rhea. “Aman! Semangat, Sayang. Buat beli sebongkah berlian.” Rhea lantas terkekeh pelan. “Dunia terbalik memang.” “Kata siapa? Enam bulan lagi udah mulai jalan kok, produksinya. Nanti aku adain pameran di Yogyakarta dan Solo. Semoga aja sukses dan banyak yang minat.” “Aamiin. Karya kamu bagus-bagus, kok. Aku yakin, pasti banyak yang minat. Karena semua kantor, gedung dan rumah butuh interior yang unik untuk memanjakan mata agar nyaman berada di situ.” Mario—yang memiliki bakat dalam melukis, membuat pernak-pernik unik bahkan kitchen set itu lantas memilih mengambil job tersebut sebagai usahanya. Modal yang cukup banyak bahkan menghabiskan sampai miliaran rupiah dari Damian, membuatnya semangat untuk memproduksi semua yang sudah dia ukir dan desain untuk dia kembangkan dan produksi. “Kamu nggak kepikiran buat kuliah lagi?” tanya Rhea kemudian. Mario menggeleng pelan. “Nanti aja kayaknya. Mau masuk kuliah pun susah karena nggak punya identitas asli. Mau sih, lanjut S3. Tapi, masih aku pikir-pikir lagi. Uangnya kepake buat usaha dulu.” Rhea menghela napasnya lalu menganggukkan kepalanya. “Ya sudah, kalau masih mau dijeda dulu. Masih muda juga.” “Iya, Sayang.” Rhea lalu melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. “Udah jam tiga. Aku siap-siap dulu.” Ia lalu beranjak dari duduknya. “Aku jemput Kaisan dulu kalau begitu.” Mario lalu beranjak dari duduknya. Hal yang sama ia rasakan dulu kembali ia rasakan. Lalu memegang bagian perut kanan bagian atas sebab merasakan nyeri pada ulu hatinya. ‘Kayaknya udah waktunya ke rumah sakit untuk periksa,’ ucapnya dalam hati. Ia lalu menarik napasnya dalam-dalam dan melangkahkan kakinya mengambil kunci mobil di atas meja. “Semoga hanya sakit biasa. Nggak ada yang aneh-aneh. Aku udah janji, pada Rhea dan Kaisan akan selalu menjaga mereka,” ucapnya dengan pelan sembari melajukan mobilnya menjemput Kaisan di rumah orang tua Rhea. Sesampainya di rumah, Mario menghampiri Kaisan yang tengah makan bersama pengasuhnya. “Daddy!” Kaisan langsung menghampiri Mario kala melihat lelaki itu datang menghampirinya, “Lagi makan rupanya. Yang kenyang ya, Nak,” ucapnya lalu mengusapi pucuk kepala anak kecil itu. “Oke, Daddy. Mami ke mana? Kok nggak jemput?” “Mami lagi ada kerjaan, Sayang. Makanya Daddy yang jemput.” “Ooohh.” Mario lalu mengulas senyumnya. “Ya udah, lanjut lagi makannya. Daddy mau telepon teman Daddy dulu.” Ia lalu menoleh kepada Rita. “Ibu sama Bapak ke mana, Rit?” tanyanya kemudian. “Ada di dalam, Pak. Kaisan pengen makan di luar sambil lihat ikan di kolam katanya.” “Oh. Ya udah, aku ke samping dulu sebentar.” “Iya, Pak.” Rita mengangguk lalu memberi makan Kaisan lagi. Sementara Mario pergi ke samping rumah itu dan berdiri tepat di kolam renang. “Lagi ngapain, Bro?” Mario menghubungi Damian. “Sibuk, nggak?” tanyanya lagi. “Nggak sih. Baru selesai meeting tadi sama clien. Ada apa, Mario?” tanyanya kemudian. Mario menghela napasnya dengan panjang dan menelan salivanya dengan pelan. “Elo tahu nggak, dokter spesialis dalam di rumah sakit Harapan?” Damian lantas mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan dari temannya itu. “Spesialis dalam? Organ dalam, maksud elo?” “Iyaa. Elo tahu, nggak?” tanyanya lagi. “Yang udah senior mah Dokter Ryan. Udah sepuluh tahun dia, tugas di rumah sakit itu. Multitalent juga sih. Bisa jadi dokter bedah, bisa juga jadi dokter spesialis dalam. Dua gelar by the way. Emang pinter itu dokter satu. Single parent, istrinya meninggal dua tahun yang lalu. Dan sampai sekarang masih single.” “Bukan itu yang gue maksud, Damian. Gue mau periksa. Perut kanan gue sering sakit akhir-akhir ini.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN