Masalah pada Bagian Hati Mario

1103 Kata
“Heuh?” Damian lantas terkejut mendengarnya. “Mau gue temenin? Mario. Jangan dianggap enteng.” Mario lalu menghela napasnya pelan. “Nggak usah. Nanti gue pergi sendiri aja. Semoga aja hanya sakit biasa, Dam. Doain gue, supaya nggak terjadi apa-apa. Gue nggak mau buat Rhea kecewa.” Mario berucap dengan sangat pelan dan memelas. Ia takut hal yang selalu ditakutkan oleh Rhea akan terjadi. Namun, Mario akan selalu berusaha tetap ada untuk Rhea dan Kaisan. “Jangan sembunyikan apa pun, Mario. Kunci utama yang mesti elo pegang. Apa pun yang terjadi nanti, elo harus beri tahu Rhea.” Damian mengingatkan Mario agar ia mau berterus terang kepada Rhea tentang hasil pemeriksaannya nanti. “Iya, Damian. Thanks, yaa.” Mario lalu menutup panggilan tersebut lalu membalikan tubuhnya. Betapa terkejutnya ia kala melihat Aryo berdiri di belakangnya. “Papa. Sejak kapan, ada di sini?” tanyanya sembari menenangkan dirinya agar terlihat biasa saja dan santai. Seolah tidak ada yang terjadi. “Kamu kenapa, Nak? Apa yang terjadi?” tanya Aryo mengkhawatirkan lelaki yang sudah dia anggap sebagai menantunya itu. Maria lalu mengulas senyumnya dan menggeleng dengan pelan. “Nggak ada, Pa. Aku hanya mau periksa kondisi tubuh aku aja. Akhir-akhir ini perut aku sering sakit, takutnya asam lambung aku naik,” ucapnya dengan santai. Padahal bukan di bagian lambung yang ia rasa nyeri itu. Melainkan di bagian ulu hatinya. Mario belum siap memberi tahu yang sebenarnya kepada Aryo maupun Rhea bila belum mendapatkan hasilnya. “Benar, hanya itu saja?” tanya Aryo seolah tak percaya dengan ucapan lelaki itu. Mario menganggukkan kepalanya. “Ya. Hanya itu. Papa tidak perlu khawatir. I will be fine. Rhea tidak akan kehilangan untuk kedua kalinya,” ucapnya lalu menerbitkan senyum. Aryo lantas tersenyum tipis. “Ya sudah kalau begitu. Jaga kesehatan, Mario. Papa tidak mau kamu kenapa-napa.” “Baik, Pa.” “Mau jemput Kaisan? Maminya ke mana?” “Lagi ada meeting, Pa.” Aryo manggut-manggut lalu melangkah bersama dengan Mario masuk ke dalam rumah. Sebab Kaisan pun sudah menyelesaikan makannya. “Kita pulang dulu, yaa. Nanti main lagi ke sini.” “Dadah, Oma, Opa.” Kaisan melambaikan tangannya kepada nenek dan kakeknya. “Hati-hati di jalan ya, Sayang.” Mario lalu membawa masuk Kaisan ke dalam mobil bersama dengan pengasuhnya. Melajukan mobilnya menuju rumah. “Kaisan belum dimandiin ya, Rit?” tanya Mario kepada pengasuh Kaisan. “Belum, Pak. Soalnya Kaisan nggak bawa baju. Mandi di rumah saja.” “Mau mandi sama Daddy, nggak?” tanya Mario kepada Kaisan. “Maauuuu!” jawab Kaisan dengan hebohnya. Mario lantas mengulas senyumnya dan mengusapi pucuk kepala anak kecil itu dengan lembut. “Oke! Nanti mandi sama Daddy.” Kaisan mengangguk sembari melebarkan senyumnya. Lalu melahap camilan yang dibawa dari rumah neneknya itu. Sesampainya di rumah. Mario menggendong Kaisan dan membawanya masuk ke dalam. “Sekarang, buka bajunya dulu.” Mario membuka baju Kaisan lalu membawanya masuk ke dalam kamarnya. Memandikan anak kecil itu atas keinginan dirinya. ‘Anak sepintar dan sebaik Kaisan tidak boleh dibiarkan tumbuh dalam kekurangan kasih sayang dari orang tuanya. Jangan beri ujian lagi pada dia, Tuhan. Anak ini masih kecil. Dia masih butuh kasih sayang dan bimbingan dari orang tuanya.’ Mario berucap dalam hatinya. Meski belum tahu sakit apa yang dia derita, akan tetapi sudah mengkhawatirkan kondisi Kaisan. Khawatir dia tidak dapat menepati janjinya yang akan menemani Rhea merawat Kaisan bersama-sama. Ia lalu tersenyum lirih dan menyelesaikan mandinya. Membawa Kaisan keluar dari kamar mandi dan memakaikan pakaian untuk anak lelaki itu. “Sayang. Daddy mau jemput Mami dulu, yaa. Kaisan sama Mbak Rita dulu.” Mario pamit mau menjemput Rhea terlebih dahulu. “Oke, Daddy.” Mario lalu menerbitkan senyumnya. “Rit. Aku pergi sebentar, yaa.” “Baik, Pak.” “Oh, yaa. Jangan main keluar dari rumah. Di sini saja. Rhea larang dia main di luar rumah soalnya.” Mario mengingatkan Rita agar jangan membawa Kaisan main di luar rumahnya. “Iya, Pak. Saya sudah diberi tahu juga sama Ibu.” “Ooh. Ya udah, okelah kalau begitu. Aku pergi dulu.” Mario lalu mengambil kunci mobilnya dan bergegas melajukan mobil tersebut menuju rumah sakit. Bukan untuk menjemput Rhea. Dua puluh menit kemudian, ia sampai di rumah sakit. “Sus. Ruangan Dokter Ryan, ada di mana?” tanyanya kepada bagian admin. “Di lantai tiga, Pak. Dekat ruangan laboratorium.” “Terima kasih, Sus.” Mario langsung melangkahkan kakinya menuju lift. Sambil menunggu lift terbuka, Mario menghubungi Damian lagi. “Gue udah di rumah sakit.” “Oh, iya. Gue udah telepon tadi, katanya langsung masuk aja. Nanti gue kirim nomor HP Dokter Ryan-nya ke elo. Dia udah nunggu elo di sana kok.” “Oke. Dam. Jangan dulu bilang ke siapa-siapa soal ini, yaa.” Mario memohon dengan memelas. “Tenang aja. Gue nggak akan bilang kalau bukan elo yang bilang. Semoga nggak terjadi sesuatu yang bikin elo down, Mario. Pokoknya tetap positif thinking.” Mario lalu menghela napasnya dengan panjang. “Ya. Semoga nggak ada yang aneh-aneh. Gue udah sampai ke lantai tiga. Nanti gue telepon lagi.” Mario lalu menutup panggilan tersebut dan keluar dari lift. Melangkahkan kakinya menuju ruangan Dokter Ryan yang rupanya sudah dikonfirmasi oleh Damian bila Mario hendak ke sana. Tok tok tok! Mario lalu masuk ke dalam. “Permisi, Dok. Saya Mario. Temannya Damian.” “Oh, baik. Silakan duduk, Pak Mario.” Dokter Ryan lalu menjabat tangan lelaki itu. “So. Ada yang bisa kami bantu?” tanyanya langsung pada intinya. “Sudah dua bulan ini saya sering merasakan nyeri di perut kanan bagian atas. Yang artinya ada masalah di bagian hati saya. Untuk itu, saya ingin memeriksakan kondisi hati saya yang sering sakit ini, Dok.” Dokter Ryan manggut-manggut dengan pelan. “Sudah dua bulan. Setiap menit, atau jam? Mungkin hari?” “Bisa dikatakan seminggu dua sampai tiga kali, Dok. Setiap kali bangun dari duduk, pasti nyerinya sangat terasa.” Dokter Ryan lalu menarik napasnya dalam-dalam. “Kalau begitu, sebaiknya kita lakukan scanning, Pak Mario. Silakan berbaring dulu.” Mario lalu berbaring di atas bangsal yang ada di sana. Dokter Ryan pun memeriksa bagian perut kanan itu sembari mengerutkan keningnya. “Ya. Sepertinya ini harus dilakukan CT Scan untuk mendapat hasil yang maksimalnya, Pak Mario. Tunggu sebentar, saya siapkan alatnya dulu.” Mario lalu bangun dari duduknya seraya menatap Dokter Ryan yang tengah menyiapkan alat untuk memeriksa lebih lanjut kondisi Mario. “Dok. Kemungkinannya, saya menderita sakit apa?” tanya Mario ingin tahu. “Kita belum bisa memastikan kalau hasilnya belum keluar, Pak Mario. Tapi, setelah saya melakukan pemeriksaan manual tadi, sepertinya ada masalah di bagian hati Anda.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN