30. Perasaan Tidak Enak Willy

1512 Kata
Bali Pagi ini setelah melakukan ritual mandinya dan memakai baju kemeja kerjanya seperti biasa Willy sarapan. Biasanya Willy memsak telur dan sosis, atau nasi goreng. Tetapi kali ini karena stok makanannya habis Willy memanggang roti. Willy duduk sambil di meja makan dengan satu roti panggang keju dan secangkir kopi hitam. Willy menyantap roti panggang yang masih hangat itu ke dalam mulutnya. Walaupun tidak seenak roti panggang yang Bianca buatkan untuknya, tetapi membayangkan Bianca ada disampingnya menemani makan membuat Willy menikmati roti panggangnya. Roti panggangnya habis, Willy mengambil cangkir kopinya lalu menyeruputnya. Willy menikmati sarapan sederhananya ini. Saat Willy sedang menikmati kopinya, ponselnya yang di atas meja bergetar. Willy melihat siapa yang menghubunginya. Sebenarnya Willy sudah tahu, dan benar saja itu adalah Luna. Willy mengangkat telepon dari Luna. “Halo” ucap Willy. “Selamat pagi sayang” terdengar suara Luna disana. Entah kenapa tiba-tiba perut Willy merasa mual dan hampir saja dia ingin muntah. Willy segera menutup mulutnya. “Lun, aku akan menjemputmu sekalian aku mau datang ke gudang” ucap Willy cepat lalu mematikan sambungan teleponnya tanpa menunggu jawaban dari rumah. Willy segera berlari ke kamar mandi. Willy pun memuntahkan semua isi perutnya yang baru terisi satu roti panggang dan sedikit kopi. Willy segera mencuci mulutnya. “Ada apa tidak biasanya aku mual seperti ini?” Tanya Willy pada dirinya sendiri. Willy membasuh mulutnya dengan tissue. Baru saja Willy ingin melangkah tiba-tiba perasaannya merasakan tidak enak. Willy terdiam sebentar. Makin lama Willy merasa gelisah.  Lalu dipikirannya teringat Bianca. “Apa terjadi sesuatu dengan Bianca?” Tanya Willy pada dirinya sendiri. Willy menghela nafas. Willy ingat semalam sebelum mereka tidur Bianca baik-baik saja dan mereka juga sama-sama tersenyum. Aditya juga tidur dengan lelap. “Ah mungkin ini hanya kecemasanku yang berlebihan. Aku harap semua ini segera selesai. Aku tidak akan pernah pergi sendiri lagi tanpa Bianca” ucap Willy. Willy pun mengabaikan perasaan tidak enaknya itu. Willy berpikir mungkin ini karena keadaan perutnya yang sedang tidak baik. Willy mengambis jas coklatnya lalu dia segera melangkah keluar tanpa menghabiskan kopinya. Willy mengendarai mobilnya menuju rumah Gunardi. Willy akui rumah Gunardi sangat besar. Tetapi apa enaknya tinggal hanya berdua saja di rumah besar ini. Willy teringat dulu kedua orang tuanya menempati rumah besar hampir seperti rumah Gunardi. Karena rumah peninggalan Kakek Willy di renovasi dan di gabungkan dengan rumah kedua orang tua Willy. Saat itu Willy dan Wina masih anak-anak. Mereka belum mengerti apa-apa. Hanya saja mereka sering mengeluh lelah kalau setiap kali main berlari-lari keliling rumah. Semakin bertambah dewasa mereka berdua pun mulai jarang sekali di rumah. Terutama Wina yang senang sekali berpergian ataupun berpetualang. Wina bisa pergi sampai sebulan baru kembali. Sedangkan Willy setiap hari selalu pulang ya, itu karena Mami yang terus menerus menghubunginya untuk selalu ingat pulang. Sampai Wina akhirnya bisa tinggal sendiri karena kesibukannya berpetualang dan saat Willy meminta tinggal sendiri seperti Wina. Mami dan Papi menentangnya. Terutama Mami, karena Mami tahu bagaimana Willy. Rumah besar mereka pun menjadi sepi. Dan akhirnya Willy pun protes karena tingga di rumah besar hanya bertiga saja. Papi dan Mami ikut merasakan kesepiannya karena Wina jarang sekali pulang. Akhirnya mereka pun kembali merenovasi rumah ini di bagi menjadi dua. Satu rumah di tempati oleh mereka bertiga dan satu lagi mereka sewakan. Willy tersenyum mengingat bagaimana dia dulu bersama keluarganya. Kini rumah itu yang menempati hanya Papi dan Mami. Wina pun masih saja jarang pulang. Bisa di bilang setahun Wina pulang bisa di hitung dengan jari. Rumah itu juga yang sempat menaruh luka kepada Bianca. Willy sedih jika mengingat bagaimana dulu dia sering bermain tangan dan memarahi Bianca. Padahal Bianca jujur kepadanya. Bianca berusaha menjadi istri yang baik kepadanya walaupun saat itu Bianca belum mencintainya. “Aku beruntung Bii mempunyai istri kamu” ucap Willy. Tok tok Luna mengecuk kaca mobil Willy dan menyadarkan Willy tentang lamunannya. Willy pun membukakan pintu untuk Luna. “Kenapa tidak masuk dulu?” Tanya Luna. “Tidak apa-apa” jawab Willy. Luna masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya kembali. Willy menyalakan mesin mobilnya lalu menjalankan mobilnya meninggalkan halaman rumah Gunardi. Sebenarnya kalau di pikir-pikir Willy saat ini seperti supir Luna. Setiap pagi willy harus menjemputnya dan sore harus kembali menjemputnya pulang. Kalau libur Willy harus sering menuruti Luna yang minta di ajak pergi. Sejak kejadian di pantai itu Willy kini sudah bisa mengontrol dirinya. Dia selalu menyebut nama istrinya di dalam hati agar Willy tidak salah melangkah. Willy takut jika sampai Bianca terluka hatinya dan Willy tidak sanggup melihat Bianca menangis. “Will, minggu depan temanku ada yang menikah. Kamu temani aku ya” ucap Luna. “Dia teman baikmu? Tanya Willy. Ya, sebenarnya Willy memastikan dulu. Kalau dia teman baik Luna pastilah dia sudah tahu tentang sandiwara yang Willy lakukan saat ini. Tetapi kalau bukan teman baik Luna Willy tidak tahu apa dia sudah mengetahui yang terjadi kepada Luna atau belum. Karena Gunardi hanya mensetting untuk orang-orang terdekat dengannya dan teman-teman baik Luna. Selain itu Gunardi tidak tahu lagi. “Tentu saja Will. Dia Anita besti aku” jawab Luna. Willy sedikit lega. Sejujurnya Willy tidak ingin datang ke acara itu. Pastinya mereka akan berfoto-foto dan menaruhnya ke social media. Walau kemungkinannya sangat kecil untuk Bianca lihat, tetapi tidak dengan Icha dan Naena. Mereka sekarang memegang secial media dari Bianca Management dan pastinya mereka sering membuka social media. Jika foto bersama Willy dan di post dengan hastag yang sedang viral bisa saja itu terlihat oleh Icha dan Naena. Selama ini saja di social media Luna tidak ada foto Willy ataupun foto Putu. Ya, sejak Gunardi meminta orang kepercayaannya untuk menghapus seluruh foto Putu dan memasukkan foto Willy yang sudah dibuat untuk menggantikan Putu, Willy menolaknya dengan keras. Tolakan Willy itu tentu saja ada dasarnya dia tidak ingin semua ini diketahui oleh orang lain terutama jika sampai Bianca ataupun keluarganya tahu akan semua ini. Gunardi setuju. Benar sekali kalau itu terjadi dan orang yang mengenal Willy bertanya bisa gagal rencanya. Jadi Gunardi hanya memasang foto Willy dan Luna di rumah dan di penthouse yang kini Willy tempati. Luna juga mengerti dan tidak pernah mengajak foto bersama dengan Willy ataupun mengaupload foto Willy. Luna kadang hanya bisa candid Willy tanpa sepengetahuan Willy. “Lun, kalau besti biasanya pergi bersama teman-temanmu yang lain” ucap Willy menolak secara halus. “Iya nanti ada Manda, Ketut, dan Caca. Kita semua janjian Will. Anita juga sudah memberikan seragam untuk kami” ucap Luna. “Ya, sudah kaau begitu kamu pergi bersama teman-temanmu. Pasti kalian akan bersenang-senang” ucap Willy. “Ya, tapi mereka semua diantar oleh kekasih mereka. Aku juga sudah membuatkan baju untukmu agar kita semua seragam” ucap Luna. “Dari mana kamu tahu ukuran bajuku?” Tanya Willy. “Hee, saat aku ke penthousemu aku mengambil bajumu dari dalam lemari diam-diam. Akum au memberimu kejutan” ucap Luna. Ya, Willy ingat itu. Saat Luna memaksa ingin datang ke penthousenya ternyata alasannya karena ingin mengambil bajunya diam-diam. Kalau Luna adalah Bianca pasti Willy sudah sangat bahagia. Nyatanya Luna bukanlah Bianca dan Willy tidak bisa membuka hatinya untuk Luna. “Bagaimana kalau aku menjemputmu saja. Karena asistanku akan datang jadi” ucap Willy yang masih mencari alasan untuk tidak ikut. “Ya, dan kamu harus menyelesaikan pekerjaan bersama asistanmu itu” ucap Luna dengan ketus. “Ini untuk iklan perusahaanmu” ucap Willy “Itu perusahaan Kakek bukan perusahaanku” ucap Luna ketus. Sepanjang perjalan Luna mencibir dan terdiam. Willy tahu Luna kesal kepadanya. Willy pun sengaja tidak melihat ke arah Luna. Willy tidak ingin dirinya akan membayangkan lagi wajah Bianca. Willy pun juga memilih diam dan fokus dengan kemudinya. Sesampainya di kantor Luna. Willy juga sudah memakirkan mobilnya di parkiran, Luna membuka pintu dengan kasar dan menutupnya juga dengan kasar. Blam Willy hanya menggelengkan kepalanya. Willy pun turun dia membiarkan Luna dengan kemarahannya. Setidaknya saat ini itu lebih baik, agar saat Willy sedang ke gudang Luna tidak mengikutinya. Willy menghentikan langkahnya lagi-lagi perasaannya kembali tidak enak.Willy mencoba mengatur nafasnya. Setelah merasakan lebih baik Willy kembali melanjutkan langkahnya. DIa harus menyelesaikan pekerjaanya Willy ingin menunjukkan bahwa perusahaan Willy itu bekerja dengan professional. Bruk “Oh maaf Pak, maaf” ucap seorang petugas kebersihan yang sedang membawa nampan berisi cangkir kotor. Willy melihat jasnya yang terkena cipratan kopi. Willy pun menatap dingin kepada petugas kebersihan itu. “Lain kali jalanlah pakai mata” ucap Willy dingin. “Iya Pak maaf Pak” ucap petugas kebersihan itu dengan menunduk. Willy pun melanjutkan langkahnya dan meninggalkan petugas kebersihan itu. “Kalau jalan pakai kaki Pak. Kalau pakai mata susah jalannya” ucap petugas kebersihan itu saat Willy sudah jauh. “Wuh, dasar sombong. Dia juga Cuma gantiin Pak Putu jadi pacarnya Ibu Luna. Harusnya Bapak minta aku saja. Kan enak aku bisa jadi orang kaya. Bapak pungut dia dari jalanan mana sih bisa sombongnya ampun-ampun begitu” ucap petugas kebersihan itu dengan ketus menyindir Willy. Untung saja Willy tidak mendengarnya, kalau Willy mendengarnya sudah pasti Willy akan sangat marah kepada petugas kebersihan laki-laki itu. Dan kalau sampai marah bisa-bisa Willy akan main tangan kepada petugas kebersihan laki-laki yang berusia sekitar kepala dua itu
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN