10-SUMBER DANA

1537 Kata
Bandung, sembilan tahun yang lalu. “Yang mana sih Papa Gi? Jangan-jangan tepu lagi!” omelku pada pamanku, si Sulung Pranata yang tetap terkenal usil meski umurnya tak lagi muda. Papa Gi bilang, di jalan yang sedang aku susuri ini ada sebuah kafe hidden gem. Masalahnya, aku sudah dua kali melewati tempat ini dan tidak menemukan jalan masuknya. “Teteh kali yang salah ambil jalan?” “Yang ada Papa Gi yang ngusilin Teteh. Kebiasaan!” Papa Gi malah ketawa coba. Ampun banget emang, bahkan ponakan sendiri diusilin juga. “Ada, Teh. Coba tanya dong sama Mamang Cilok.” “Ini macet Papa Gi. Masa Teteh musti minggir dulu? Yang ada Teteh disumpahin banyak orang.” “Ya buka jendelanya, ngga usah turun, tanya aja sama yang ada di situ. Pocong coba ditanya.” “Tuh kan! Pasti deh usil!” “Mungkin itu akibatnya nyerir belum punya SIM.” “Papa Gi ngga nyambung ih.” Terus saja pamanku itu tertawa. Aku tau, ia tak bercanda. Aku saja yang tak paham di mana jalan masuk yang beliau maksud. Hari ini, harusnya aku bertemu dengan Tangguh pacarku, yang akhirnya tak jadi karena ia bilang ibunya sakit di Jakarta. Aku sudah bilang ingin ikut menjenguk. Namun, ia menolak karena keluarganya agak kontra soal pacaran. Mau mereka, Tangguh menyelesaikan kuliahnya dulu, berkarir, baru memikirkan perempuan. Tangguh tak mau aku jadi korban sindiran atau kesinisan mereka. Manis sekali kan pacarku? “Kang, numpang tanya,” ujarku pada seorang pengamen yang biasa bernyanyi di tengah padatnya lalu lintas kota Bandung. Sambungan voice call ke Papa Gi belum aku tutup. “Boleh, Teh. Naon euy?” “Sunset Stairs Cafe, Akang tau?” “Oh, ya tau atuh. Teteh mutar lagi dulu.” “Lagi?” tanyaku agak ngegas. Itu Akang malah ngekek coba. Pasti kelihatan di wajahku kalau aku sudah beberapa kali mengitari jalan ini. “Eta jalan masuknya kelihatan dari sini.” Aku menoleh ke sisi kiri, sedikit ke belakang yang si Akang tunjuk. Jalannya nampak kecil, makanya aku tak yakin jika itu yang Papa Gi maksud. “Teteh masuk lewat situ. Nanti perempatan kedua ambil kanan. Terus aja sampai ketemu plang kafenya.” “Oh gitu.” "Iya, Teteh keburu kelewatan. Nanti pas mutar langsung ambil jalur kiri aja, Teh.” “Oke, deh. Nuhun ya Kang.” “Sami-sami, Teteh.” Aku melaju lagi dalam kecepatan yang tersendat setelah memberi sedikit rupiah pada akang pengamen tadi. “Udah ketemu jalannya?” “Jalannya emang kecil gitu, Papa Gi?” “Kan tadi Papa Gi bilang, jalan masuknya sempit. Kalau ketemu sama mobil dari arah berlawanan, musti gantian. Tapi kalau Teteh sudah belok ke kanan yang tadi Akang itu bilang, agak lebar jalannya.” “Oh gitu. Teteh kira Papa Gi ngisengin Teteh.” Papa Gi tergelak lagi. “Maaf, Papa Gi,” ujarku kemudian. “Ngga apa-apa, Teteh.” “Papa Gi kapan pulang?” Pulang yang aku maksud adalah ke rumah Oma dan Opa yang juga di kota ini. Papa Gi sendiri bersama keluarganya tinggal di Jakarta. “Jumat. Habis isya inshaaAllah. Teteh mau dibawain apa?” “Mangga dong. Masih ada ngga Papa Gi?” “Masih, tapi udah ngga banyak. Nanti Papa Gi petikin buat Teteh.” “Asiiik!” “Ya sudah, Papa Gi kerja lagi dulu ya?” “Oke. Makasih Papa Gi.” Akhirnya, aku berhasil melalui jalan yang cukup sempit itu. Makin ke dalam, memang jalannya semakin melebar. Aku lalu berbelok ke kanan, terus melaju hingga plang penanda menyapa titik pandangku. Kafe itu nampak seperti rumah sederhana bergaya Jepang. Grill kayu sebagai secondary skin menutupi fasadnya. Palet-palet kayu dijajarkan di bagian depan dan dipenuhi variasi tumbuhan yang ditanam di pot-pot beraneka bentuk dan warna. Single door kayu berjendela membuat pengunjung bisa memerhatikan suasana di dalam sana. Aku mendekati akses masuk, menggenggam handle dan mendorong pintu di hadapanku. Bunyi lonceng bambu kecil menandakan kehadiranku. “Irasshaimase,” sapa para staf di sana. Aku mengangguk singkat, lalu menyapukan pandanganku ke seantero indoor area tempat ini. Nyaman sekali. “Mau di dalam atau outdoor, Kak?” tanya seorang staf, Abel – kata yang melekat di pin penanda di d**a kirinya. “Yang indoor tapi dekat outdoor dan agak private ada?” “Ada, Kak.” Aku pun mengikutinya yang mengantarku ke window-side seating area di mana aku bisa menikmati kuliner sekaligus memandang keindahan taman dan outdoor area dari balik kaca di hadapanku. “Di sini mau, Kak?” tanya Abel lagi. Meja di area itu cukup lebar, highchair-nya juga tak terlalu tinggi dan sempit. Pas. Aku memberi jawaban dengan anggukan. “Mau langsung order, Kak?” “The best-nya di sini apa?” “Untuk snack-nya kita ada daifuku isi vanilla ice cream, anmitsu, yakitori, dan takoyaki. Main course terbaik kita ada di nasi kari. Minumannya matcha espresso fusion dan royal milk tea,” jelas Abel. “Aku mau daifuku-nya deh. Sama yakitori. Minumannya matcha espresso.” “Ada lagi, Kak?” “Itu dulu aja.” “Baik.” Staf itu pun pergi. Aku mengeluarkan tablet dan airbuds, hendak mengisi waktu dengan menggambar sembari mendengarkan alunan musik. Outdoor area di hadapanku juga masih sepi. Analisaku, mungkin karena tak banyak yang tau tentang tempat ini dan masih terlalu pagi untuk hangout di kafe. Baru jam sepuluh lewat lima belas menit, pantas saja bukan? Ada dua window-side seating area di kafe ini. Satu dengan kaca reflektif yang tak tembus pandang dari luar, dan satu lagi dengan kaca jernih. Aku, tentu saja di bagian tersembunyi. Pelayanan mereka pun efisien. Tak sampai sepuluh menit menunggu, hidangan yang aku pesan sudah tersaji. Rasanya pun enak, persis seperti yang Papa Gi ceritakan. Aku pun mulai menorehkan stylus yang kugeggam di tangan kiri, sembari memasukkan suap demi suap camilan dengan tangan kanan. Bagian terbaiknya, saat matcha espresso itu menyapa indera perasaku. Serius banget, dari sekian banyak kafe yang menjual minuman ini, di sinilah yang terbaik. Sayangnya ... me time-ku tak bisa berlangsung damai hingga akhir. Sosok pria yang katanya sedang menemani ibunya yang sakit melangkah di outdoor area. Ia duduk di seberangku dengan posisi membelakangi. Yang membuatku geram adalah ... kenyataan jika ia tak datang sendiri melainkan dengan seorang perempuan yang aku kenali sebagai kakak kelasku. Perangkat menggambar dan airbuds aku masukkan ke dalam tas. Seketika mood-ku hancur melihat mereka. Pergi saja lalu kirim pesan meminta putus, sepertinya adalah sekenario terbaik. Namun, pemandangan yang aku lihat selanjutnya sungguh membuat berang. Baru saja staf yang melayani mereka pergi, Tangguh menyambar bibir perempuan itu. Tanpa sungkan, tanpa malu meski itu adalah tempat umum. Membuatku mual seketika. Sungguh, rasanya tak ikhlas jika aku harus membiarkan mereka bebas begitu saja. Baj1ngan itu ... ya Tuhan .... Aku berdiri dari dudukku, menyampirkan tas di bahu, melangkah dengan kedua tangan terkepal erat. Lalu, langkahku sontak terhenti. “Cantik sih, tajir, tapi g0blok!” ujar Tangguh. “Gitu-gitu pacar kamu lho, bebi,” tanggap perempuan itu, lenjeh dan menjijikkan. “Oh iya ya, kan dia sumber dana kencan kita ya bebi,” balas Tangguh lagi, tergelak riang. “Emang dia ngasih berapa?” “Lima juta. Tol0l banget kan? Buat beliin Mama buah katanya. Lah Mama baik-baik aja,” jawab Tangguh, lalu terbahak. Air mataku menetes. Dadaku panas. Amarahku memuncak. Table sign bertuliskan nomor meja terdekat aku raih, kugenggam erat. Kudekati baj1ngan itu dengan langkah sunyi. Tiga. Dua. Satu. ‘PLETAK!’ “Aaargh!” Perempuan di sampingnya otomatis menoleh, bersirobok dengan kedua mataku yang memelototinya tanpa gentar. “Lo?” cicitnya. “Reina?” lirih Tangguh kemudian. Shock karena kehadiranku. Kuangkat tinggi sekali lagi table sign itu, tanganku mengayun, Tangguh membelalak dan spontan melindungi kepalanya. Tepat saat benda itu akan membentur tubuhnya, satu tangan menahanku. Aku menoleh, mendapati Mas Rio di sana. Sayangnya, aku terlanjur murka. Tak memedulikan Mas Rio, tanganku yang bebas meraih matcha latte milik perempuan gila selingkuhan Tangguh, dan ‘BYUR!’ Tanpa belas kasih kusiramkan di wajah Tangguh. Belum selesai di sana, kuraih kopi Tangguh. ‘BYUR!’ Tepat sasaran di wajah kekasih gelap pacarku itu yang kini membelalak sambil menganga, tak mampu bicara. “REINA!” Suara kursi yang digeser kasar mengisi ruang. Tangan Mas Rio mencengkeram kerah leher Tangguh yang barusan meneriakiku. Tangguh kalah tinggi, kalah atletis. Meski Mas Rio tak terlalu tinggi untuk ukuran cowok zaman sekarang, namun posturnya tetap lebih segala-gala dari Tangguh. “Berani lo neriakin adik gue?” ujarnya, menggeram. Tangguh diam saja. Bahkan tatapan matanya tak berani fokus ke Mas Rio. Jelas, ia gentar. Salah satu tangan Mas Rio berpindah mencengkeram. Adalah wajah Tangguh yang kini diremasnya. “Sekali lagi gue lihat lo dekat-dekat Reina, gue bakal bikin lo hengkang dari Bandung! Bang5at! Malu-maluin almamater aja lo!” Ah, ya tentu saja. Mereka dari kampus yang sama, dan Mas Rio sudah lebih dulu lulus. Satu tahun yang lalu. Asumsiku, Tangguh pasti mengenal Mas Rio. Ancaman tersebut hanya sampai di situ. Mas Rio melepaskan cengkeramannya. Ia lalu menatapku. “Ayo, Rei!” Aku tak mengindahkan ajakannya, justru menyeringai pada Tangguh. “Satu, kita putus!” ujarku tegas. Tangguh mendengus frustasi. Tatapannya mengiba. ‘Najis!’ batinku memaki. “Dua ... BALIKIN SEMUA YANG SUDAH GUE KASIH KE LO! LIMA JUTA YANG KEMARIN, SEPATU DAN JAM TANGAN YANG LO PAKE, KEMEJA YANG DI BADAN LO. DASAR COWOK SINTING! BALIKIN! SEKARANG!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN