05. DUA PILIHAN

1308 Kata
"Ma, Bisma mau bicara." Bisma yang masuk ke ruang kerja ibunya langsung berusaha mengajak sang ibu bicara. Wanita bernama Dewi itu tertawa kecil. "Kamu biasanya langsung ngomong. Kayak mau bicara serius aja," sahut Dewi yang masih tetap fokus dengan laptop yang ada di hadapannya. "Memang aku mau bicara serius, Ma. Mama bisa luangin waktu sedikit buat aku, kan?" Bisma menatap Dewi dengan serius. Wanita itu menghela napas, setelahnya dia meninggalkan kursi kerjanya untuk bisa duduk berdekatan dengan sang putra. "Ada apa, Bisma?" Pemuda itu meraih tangan ibunya. Menghela napas sebelum mulai bicara. "Bisma minta maaf ya, Ma." Bisma tahu apa yang sudah terjadi bukan kesalahannya, tetapi dia sekarang sedang berperan menjadi orang yang bersalah. Dia tentu tidak ingin satu orang pun tahu kalau dia hanya tameng dalam kisah ini. "Minta maaf untuk apa? Kamu anak baik, tidak pernah membuat kesalahan." Dewi tampak bingung. Dia tidak mengerti mengapa tiba-tiba Bisma meminta maaf padanya. "Biasanya aku memang tidak pernah membuat kesalahan, Ma. Tapi kali ini aku salah. Aku sudah membuat kesalahan besar yang mungkin akan membuat Mama marah. Makanya sebelum aku kasih tahu salahku apa, aku memilih untuk meminta maaf pada Mama." "Kesalahan apa yang sudah kamu perbuat, Bisma? Kamu membuat mama semakin penasaran." "Sekali lagi aku minta maaf, Ma. Aku akan menjadikan seorang ayah. Aku menghamili Destina." Bisma menunduk. Dia harus menunjukkan pada ibunya kalau dia memang bersalah di sini. "Bisma, tatap mata mama. Kamu tidak mungkin melakukan itu, Nak. Mama sangat mengenal kamu. Kamu tidak mungkin berbuat sejauh itu, apalagi Desti itu sahabat kamu sejak kecil. Kamu sudah pernah berjanji sama mama dan Tante Retno buat jagain dia, kan? Terus kenapa kamu ..." "Tidak ada yang tidak mungkin, Ma." Bisma memotong kalimat mamanya. "Mama tahu, bukan ... aku dan Desti lebih sering menghabiskan waktu bersama. Malam itu, aku dan dia sama-sama terbawa suasana dan hal itu terjadi. Aku tahu, Mama pasti kecewa atas apa yang terjadi. Tapi aku ingin Mama bisa memberikan restu padaku untuk menikah dengan dia." "Bisma, kamu tidak sedang bercanda, kan, Nak? Mama percaya sama kamu. Mama sangat yakin kamu tidak akan pernah berbuat sesuatu yang mengecewakan mama. Tapi ... kenapa kamu menghancurkan kepercayaan mama," ucap Dewi seraya memalingkan wajahnya. Air mata wanita itu jatuh. Ya, dia sangat kecewa pada Bisma. Jangan dikira Bisma baik-baik saja melihat ibunya menelan pil kekecewaan. Pemuda itu sangat menyayangi Dewi. Separuh dunianya seakan hancur saat dia melihat wanita itu menangis. Berkali-kali Bisma minta maaf dalam hati. Dia merasa sangat bersalah karena sudah melukai hati wanita yang sangat dia sayangi. Bisma bersimpuh di hadapan sang ibu. Dia tidak kuasa untuk menahan air matanya. Rasa perih begitu terasa di d**a pria dua puluh tiga tahun itu. Dia berada di dua pilihan yang sulit. Memperjuangkan wanita yang dia cintai, tetapi dia harus mengorbankan perasaan wanita yang sangat dia sayangi. "Maafkan Aku, Ma. Aku gagal menjadi anak yang baik dan berbakti sama Mama. Aku sudah membuat Mama kecewa. Aku tahu, sampai kapanpun aku tidak akan bisa mengembalikan kepercayaan Mama. Tapi tolong izinkan aku memperbaiki semuanya. Aku sayang Mama, dan aku juga sayang sama Desti, juga calon cucu Mama." Bagaimana Dewi bisa egois saat melihat putra kesayangannya duduk bersimpuh dan memohon seperti sekarang? Semua sudah terjadi, tidak bisa diubah. Suka atau tidak, dia harus tetap menerima Desti dan bayi yang ada dalam kandungan gadis itu. "Kamu sudah bilang ke papa soal ini?" Pertanyaan Dewi mengingatkan Bisma pada sosok ayahnya. Sesaat kemudian Bisma merasa paru-parunya sedikit menyempit. Dia sangat mengenal lelaki bernama Mario itu. Kemungkinan besar dia akan mendapatkan hukuman berat atas pengakuan yang akan dia buat di hadapan sang papa. Bisma menggeleng samar. "Belum, Ma. Aku bahkan belum kepikiran buat bicara sama papa soal ini. Pasti beliau marah besar. Siapa juga yang bakalan biasa saja saat anaknya nakal. Dewi menghela napas. Dia juga sangat yakin kalau suaminya akan marah besar nanti. Wanita itu menutup wajahnya dengan telapak tangan. Mencoba untuk meredam semuanya. Dia berharap bisa berpikir jernih tanpa melibatkan emosi. "Nanti mama bantu bicara ke papa. Sekarang bagaimana kondisi Desti? Bayinya sehat? Kalian sudah pergi ke dokter?" Dewi memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan mereka. Bukan hanya sekedar pengalihan, tetapi dia merasa berhak tahu bagaimana kondisi Destina dan bayinya sekarang. Beruntung Bisma sudah membicarakan banyak hal dengan Desti. Jadi pertanyaan itu bukanlah hal yang sulit untuknya. "Desti sehat. Kami belum sempat ke dokter. Kami baru mengetahui kehamilan dia melalui alat tes kehamilan," jawab Bisma berusaha santai. "Nanti mama resepkan vitamin untuk dia. Kalau kalian tidak keberatan, kalian bisa cek kandungan Desti di klinik mama. Sekaligus mama ingin tahu, bagaimana keadaan cucu mama." Dewi berusaha tersenyum. Dia menatap Bisma dengan tatapan hangat. Pemuda itu semakin merasa bersalah. Dia sudah membohongi banyak orang. "Terima kasih banyak, Ma. Nanti secepatnya aku akan bicarakan dengan Desti. Rasanya akan lebih tenang saat yang menangani kehamilan dia itu Mama." "Mama pasti akan melakukan yang terbaik untuk kamu, Bisma. Jujur mama kecewa sekali sama kamu, tapi mama tidak bisa tutup mata. Kamu masih terlalu muda untuk menghadapi semua ini. Mama akan terus support kamu. Jaga Desti dengan baik. Wanita hamil itu butuh lebih banyak perhatian. Suasana hatinya sering berubah-ubah. Jangan heran kalau tiba-tiba Desti menangis. Itu wajar." Dewi berusaha berbagi sedikit ilmu yang dia miliki pada Bisma. "Sekali lagi, terima kasih banyak, Ma. Terima kasih juga untuk pengetahuan yang sudah Mama bagi. Tapi sepertinya Mama lupa kalau aku sudah sering membaca banyak buku tebal Mama. Aku pasti jaga Destina dengan baik. Mama tidak perlu khawatir soal itu." Bisma bangkit dari posisinya semula dan langsung memeluk erat sang mama. Dia sangat sadar kalau apa yang dilakukannya merupakan sebuah kesalahan, tetapi Bisma akan semakin merasa bersalah saat dia membiarkan Destina menanggung semua yang terjadi sendirian. "Kamu tahu, mama tidak pernah berpikir akan menjadi seorang nenek di usia sekarang. Oh ya, apa kamu sudah membicarakan masalah kehamilan Desti ke tante Retno dan om Dirga?" Dewi melanjutkan obrolan saat posisi mereka sudah kembali seperti semula. "Sudah, Ma. Aku sudah datang ke rumah Desti bareng dia. Om Dirga marah, aku kena pukul. Kemarin pas ketemu mama di klinik aku bohong, ini bukan luka karena jatuh, tapi bekas pukulan om Dirga.". "Itu resikonya, Bisma. Kamu tahu, kan, kenapa mama melarang kamu buat terlibat dalam pergaulan bebas. Tidak ada orang tua yang tidak marah saat anak gadisnya dihamili dan menghamili. Kamu tahu kenapa? Kalian masih terlalu muda. Pernikahan itu tidak semudah yang kalian bayangkan. Menikah bukan hanya soal tidur berdua dan bercinta. Banyak hal yang mama yakin kalian berdua belum paham." Mamanya benar. Bisma juga belum tahu nanti setelah menikahi Destina dia harus apa. Biasanya dia hanya memikirkan tugas kuliah dan skripsi. Sekarang dia dipaksa untuk memikirkan masa depan bersama Desti dan bayi mereka. Walaupun dia bukan bapak biologis dari si bayi, tetap saja bayi itu yang menjadi penghubung antara dia dan Destina. "Iya, Ma. Bisma paham, kok. Om Dirga berhak marah sama aku. Dia sudah percaya padaku selama ini. Menurut Om Dirga, aku beda dari yang lain. Terlihat jelas sekali kalau kemarin Om Dirga memang benar-benar emosi. Bahkan beliau sampai mengusir kami. Beruntung masih menggunakan kalimat yang enak didengar," cerita Bisma. "Itu baru om Dirga. Kamu belum tentu bisa menghindar dari amukan papamu. Mama memang akan membantu bicara, tetapi keputusan tetap di tangan papa. Mama yakin kamu sudah sangat mengenal papa. Jadi, bersiaplah untuk kemungkinan terburuk." Bisma menghela napas. Mau tidak mau dia memang harus menghadapi kemarahan ayahnya. Untuk Desti, dia rela berada di posisi terbawah. Dia mau menerima akibat dari kemarahan semua orang. Katakanlah, Bisma sudah buta karena cinta. "Apapun respon papa, Bisma sudah siap, Ma. Aku tidak boleh takut, demi anak dan calon istriku," ucap Bisma yakin. Dewi sadar satu hal, Bisma sudah beranjak dewasa. "Mama akan selalu berada di pihak kamu, Bisma. Mama akan terus memberikan yang terbaik untuk kalian." Bisma memeluk mamanya lagi. Dia bersyukur, setidaknya masih ada orang yang mau mendukung pengorbanan yang dia lakukan untuk Destina. "Bisma sayang Mama. Terima kasih banyak."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN