Gadis Penjual Cucu Sapi

1326 Kata
Makan malam penuh dengan omelan Pak Arayan. Aku tidak menyangka dia sebawel itu saat bersama dengan Umi Fatim. Mulai dari memesan menu, ramen aku habiskan dalam sekejap, lanjut ke sushi lalu dessert. Tak ada yang tak luput dari perhatiannya. “Tolong bungkus ini ya, Mbak. Aku kekenyangan,” ucapku pada waiters yang pastinya sudah mengenalku. “Siap, Mbak Cintami!” “Terima kasih.” Aku menyandarkan badan pada sofa empuk lalu mengipas-kipas wajahku dengan tangan. Meski restoran ada pendingin udara tetap terasa panas setelah makan makanan berkuah panas. Perutku rasanya begah saking banyaknya makanan yang aku habiskan. Mumpung ditraktir harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Jadi, aku memesan menu-menu best seller yang harganya lumayan pricey. “Mau tambah lagi, Sayang?” Aku menggelengkan kepala. Mengatur nafas saat perutku tiba-tiba nyeri. “Mimi sudah kenyang, Umi.” “Kenapa?” “Kekenyangan jadi begah. Ditambah nyeri tamu bulanan.” “Ya, sudah. Langsung pulang saja ya. Sampai rumah bersih-bersih terus bobok,” ucap Umi Fatim dengan membelai lembut perutku. Ah, beliau benar-benar calon ibu mertua idaman semua orang. Pak Arayan membawakan makanan yang dibungkus. Sementara, aku sendiri lebih memilih bergelayut manja pada lengan Umi Fatim. Terlalu banyak kejutan hari ini hingga aku tak bisa berkata-kata selain mengucap syukur. Sebelum aku masuk ke dalam mobil ada seorang perempuan yang tiba-tiba menjambak rambutku. Saking kagetnya aku reflek menghempaskan tangannya hingga terjatuh di sebelah mobil. “Awwwww,” ucapnya dengan merintih kesakitan. “Maaf ya, Mbak. Salah Mbak sendiri sih main jambak rambutku.” “Dasar gadis penjual s**u sapi!” “Lah, kok tau? Mbak salah satu pelanggan Mama ya.” “Ckck, aku tidak sudi minum s**u sapi penuh bakteri.” “Idih, sampai segitunya Mbak mau fitnah usaha orang.” Saat perempuan itu berdiri aku sedikit memundurkan badan. Sepertinya, dia masih ingin menyerang ku. Jadi, aku harus waspada agar tidak terkena jambakan lagi. Pak Arayan diam saja tidak membantu atau mengatakan apapun. Sedangkan Umi Fatim sudah berada di dalam mobil. “Jauhi Regal!” “Siapa dia?” Aku memang tak mengenal pria yang disebutkan perempuan di depanku. “Mbak salah orang deh.” “Perempuan matre dan murahan sepertimu mana mau mengaku jika sudah merebut kekasih orang.” “Ihhhh ... jahatnya. Mulutmu Mbak, jangan dibiasakan untuk menyakiti orang lain.” “Banyak bacottttt!!!” Aku menahan tangan perempuan itu saat ingin menamparku. Sedikit menekannya kuat sampai dia meringis kesakitan. Setelah itu, aku hempaskan hingga tangannya terbentur pinggiran mobil. “Jaga sikapmu ya, Mbak! Untung saja aku lagi kekenyangan kalau tidak sudah aku bikin serpihan peyek kamu.” “Aku akan menyebarkan bukti-bukti perselingkuhan mu dengan Regal. Biar semua orang tahu kebusukan mu.” “Bukti apa sih? Kenal aja nggak. Duh, Mbak minggir deh. Aku mau masuk ke dalam mobil.” Aku mengibas kan tangan mengusir perempuan itu dengan cara halus. “Oh, iya. Usaha s**u sapi orang tuamu sebentar lagi bakal bangkrut. Siap-siap saja jadi gembel.” “Aneh banget itu orang. Tiba-tiba datang langsung marah-marah pakai acara menyumpahi usaha orang lagi. Jaringan otaknya pasti bermasalah,” gumamku pelan sambil melihat kepergian perempuan gila itu. “Ehem ...” Aku menoleh kebelakang saat mendengar suara deheman. Sampai lupa kalau ada Pak Ayang. “Bapak kok nggak bantuin saya sih?” “Buat apa?” “Tadi, saya terkena jambak dan hampir kena tampar.” “Terus?” “Ya, harusnya dibelain. Saya ‘kan tidak bersalah.” Pokoknya kalau ada Pak Ayang tidak boleh menjadi gadis tahan banting di segala cuaca dan medan pertempuran. “Kamu bisa mengatasinya sendiri.” Pak Ayang membuka pintu mobil lalu masuk ke dalam. Meninggalkan aku yang masih berada di luar. Berharap dibukakan pintu namun hanya angan-angan belaka. Mana mungkin kanebo kering itu mau bersikap romantis. Lagian aku ini siapa? Huh ... “Mimi hebat banget!” seru Umi Fatim. “Kesel banget sama Perempuan jadi-jadian kayak tadi. Main labrak aja tanpa bertanya lebih dulu.” “Memangnya Mimi tidak kenal?” “Enggak, Umi. Ketemu saja sepertinya baru tadi.” “Katanya Mimi rebut pacarnya yang namanya Regal.” “Bohong, Umi. Mimi aja enggak kenal sama Pria bernama Regal? Lagipula Mimi nggak mau pacaran. Langsung nikah aja kalau Pak Arayan sudah siap.” Cittttttt ....!!! Tubuhku yang tidak memakai seat belt terhuyung ke depan saat Pak Ayang mengerem mobil mendadak. “Rayan ada apa?” Tanya Umi Fatim. “Ada setan lewat tadi. Maaf ya, Umi.” “Mana ada setan melintasi jalan ramai?” “Jangankan jalanan ramai, Umi. Setan aja ada yang doyan makanan jepang.” Kedua mataku melotot ke arah Pak Ayang. Teganya dirinya mengatai ku sebagai setan di depan calon ibu mertua. Sebelum kembali duduk aku menyempatkan menendang kursi kemudi dengan sebelah kakiku. Umi Fatim terlihat sedang berusaha menahan tawa. Sementara, Pak Ayang wajahnya masih saja datar tanpa rasa bersalah sedikitpun. “Sabar ya, Sayang,” bisik Umi Fatim. *** “Jangan tidur! Saya tidak akan menggendong mu.” “Siapa juga yang mau tidur? Tadi harusnya Pak Ayang anterin saya pulang dulu.” “Ya, suka-suka saya. Kenapa malah kamu yang ngatur?” “Bapak tuh nggak ucapin terima kasih malah nyinyirin saya dari tadi.” “Buat apa?” “Saya sudah bantuin Umi fatim. Harusnya Pak Ayang terima kasih lah ...” “Owh,” ucapnya. Aku mengerucutkan bibir saat tak ada tanggapan lagi darinya. Kami mengantar pulang Umi Fatim lebih dulu. Kini, aku dan calon masa depan tengah menuju ke rumah orang tuaku. Mataku terasa semakin berat untuk di buka. Kebiasaan jika perut kenyang pasti langsung mengantuk. Tapi, aku masih berusaha menahannya. Takut di buang dipinggir jalan sama Pak Ayang. “Cintami!” “Iya, Pak. Aku masih hidup kok.” “Perempuan kalau menguap ditutup!” “Ngak ada orang, Pak. Aman ...” “Kamu pikir saya bukan orang?” “Ya, bukan. Pak Ayang itu guardian angel nya Mimi.” Tak ... “Aduh!” aku mengelus kepalaku saat kepentok kaca mobil. kali ini aku tak bisa menahan kantuk dan mataku lama kelamaan semakin berat untuk dibuka. Balonku ada lima Rupa-rupa warnanya Hijau, kuning, kelabu Merah muda, dan biru Meletus balon hijau dor!!! (titit-tuit) Hatiku sangat kacau (titit-tuit) Balonku tinggal empat Ku pegang erat-erat (titit-titit) Aku anak indonesia Sehat dan kuat Karena mama memberi (apa) Batu baterai abc Sehat, kuat dan tahan lama Tidurku terganggu oleh suara berisik di luar mobil. Aku mengerjap kan mata lalu melihat ke arah samping. “Aaaaaa ..." Seorang bencong atau wanita jadi-jadian tepat berada di sampingku. Dia tengah membawa alat musik yang terbuat dari tutup botol yang dipipihkan. Menyanyikan lagu balonku disaat traffic light berwarna merah. “Dikulum-kulum, dikunyah-kunyah. Assalamualaikum, Tuan dan Nyonya!” “Ngagetin aja sis,” ucap ku. “Tuan buka kaca mobilnya. Jadi, eke mendekat, Nyah ...” Aku mengambil dompet kecil yang selalu aku bawa kemana-mana. Mengeluarkan uang lima puluh ribu satu lembar. “Nih, buat beli gincu warna nude.” “Cendrawasih berbintik-bintik. Terima kasih orang baik.” “Haha, gemes banget!” “Semoga selalu langgeng ya, Nek. Cepat dapat momongan.” “Amiin, Ya Allah!” Aku menutup kaca setelah pengamen itu pergi. Pak Arayan jahil sekali! Saat aku ketiduran dengan sengaja membuka kaca mobil ketika ada pengamen jadi-jadian. Keterlaluan! “Pak Ayang nggak boleh ngambek. Harusnya saya loh yang ngambek gara-gara bobok cantik keganggu.” “Kamu suka sekali bicara aneh-aneh.” “Maksudnya?” “Tadi kenapa tidak menjelaskan kita ini siapa? Orang tadi bisa salah paham.” “Biarin aja sih, Pak. Lagian doa baik harus di Amiin kan. Soal menikah hanya perkara waktu. Nanti kalau Pak Ayang sudah sadar kita langsung nikah dan cetak banyak anak.” “Cintami!” Aku menepuk-nepuk kedua pipiku yang memanas. Padahal aku yang menggoda Pak Ayang malahan blushing sendiri. Sementara yang digoda lempeng-lempeng aja wajahnya. “Pak ...” “Hmmm.” “Pak Ayang.” “Apa?!” “Pak Arayan membeli senar. Terima kasih telah bikin hatiku bergetar. Eaaaaa ...”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN