Duta Revisi
“Bapak tunggu, Pak.” Teriakku saat melihat dosen pembimbingku keluar dari ruangan.
Aku terseok-seok saat berlari mengejar Pak Yafiq. Hari ini aku memiliki jadwal bimbingan skripsi namun aku telat bangun karena semalaman begadang mengerjakan revisi.
Terlalu asik jalan-jalan keliling mall. Membuat aku melupakan tugasku sebagai mahasiswa semester akhir. Proposal skripsi yang tak kunjung mendapatkan ACC menjadikan kepalaku mengepul seperti knalpot bajaj.
“Cintami Giska Pratama, jam berapa ini?”
“Sepuluh lebih sedikit, Pak,” jawabku dengan mengatur nafas.
“Sedikit kamu bilang?”
Aku tersenyum saat mendapatkan tatapan tajam dari Pak Yafiq. Selama menjadi mahasiswi bimbingan beliau, aku sudah biasa mendapatkan omelan dan tatapan sinis. “Maksud saya sedikit lagi jam sebelas, Pak.”
“Bimbingan minggu depan. Saya harus segera pergi untuk mengisi seminar.”
Aku menghembuskan nafas panjang seraya memasang wajah memelas. Masih berusaha merayu Pak Yafiq agar mau memeriksa proposal ku.
“Stok belas kasihan untukmu sudah habis. Jadi, minggu depan jangan sampai telat bimbingan!”
Bibirku melengkung kebawah saat melihat punggung Pak Yafiq semakin menjauh menuju ke arah lift. Cita-cita lulus tahun ini sepertinya harus tertunda lagi saat skripsiku tak ada kemajuan sama sekali.
Sudah terlanjur sampai kampus, aku memutuskan singgah ke perpustakaan. Aku akan mencari referensi jurnal pendukung sambil menunggu sahabatku selesai bimbingan.
Brukk ...
Haissshhhh, sialnya aku menabrak seseorang hingga buku-bukunya terjatuh di lantai. “Maaf Maaf, aku tidak sengaja,” ucapku membantunya mengumpulkan buku.
“Hmmm ...”
Suara yang sangat aku hafal mengalun indah di kedua telingaku. Yap! Aku menyunggingkan senyum lebar saat mendongak ke atas. Pria sholeh bernama Arayan ternyata yang aku tabrak.
“Eh, Maaf, Pak Arayan. Saya tidak sengaja.”
“Hmmm.”
Okay, hanya itu jawabannya lalu pergi meninggalkanku. Memang sudah biasa Pak Arayan bersikap ketus dan sengaja menjaga jarak denganku. Jadi, aku tidak akan marah justru semakin mencintainya.
Arayan Miza Abdila, Asisten Pak Yafiq sekaligus guru les adikku. Biasanya aku memanggilnya Pak Ayang karena aku sayang dia, hehe.
Sejak awal bertemu dengannya aku langsung jatuh hati. Wajah tampan, sikap sopan, otak cerdas dan sholeh membuatku ingin menjadikannya sebagai calon suami. Mama bahkan sudah setuju jika memiliki mantu seperti Pak Arayan.
“Ngapain senyam-senyum sendiri?”
Amanda mengagetkan lamunanku. Saking asyiknya memandang wajah tampan calon imamku sampai tak sadar dia sudah menyusul ku ke perpustakaan.
“Husssttt,” ucapku meletakkan jari telunjuk ke bibir. Lalu menunjuk ke arah Pak Arayan. “Aku lagi mengamalkan doa mendekatkan jodoh. Jangan berisik.”
“Memangnya kamu bisa berdoa? Jangan sampai salah baca. Bukannya mendekat malah makin-makin jauh itu jodoh.”
“Manda, kok gitu sih?” protes ku. “Aku tuh sudah menghafalkan doa mendekatkan jodoh. Saking hafalnya sampai tercetak di jidat.”
“Mana?”
“Nih ...” Aku membuka poni kesayanganku hingga menampilkan jidat ku yang lebar.
Amanda terkikik geli lalu membantu menutup poniku kembali. Setelah itu, kami melihat ke arah tempat duduk Pak Arayan.
“Lah, kemana orangnya?”
“Yahh ... pergi ‘kan. Kamu sih gangguin aku.” omel ku pada Amanda. Padahal aku mendapatkan posisi terbaik memandang wajah serius Pak Arayan.
“Nanti malam juga ketemu lagi. Gak usah kayak perempuan paling menyedihkan deh!”
Mendengar kata ‘sedih’ aku jadi teringat nasib proposal ku yang tak kunjung ACC. Padahal teman-teman seangkatanku banyak yang sudah sidang. Amanda saja sudah mulai melakukan penelitian. Sungguh malang sekali nasibku.
“Tau gak? Aku tadi nggak jadi bimbingan.”
“Sudah aku duga,” jawabnya santai tanpa ada beban sama sekali.
Aku mencebikkan bibir saat melihatnya terkekeh pelan. Dasar si bolu Amanda suka sekali tertawa diatas penderitaan sahabatnya!
“Padahal aku sudah yakin bakal ACC minggu ini.”
“Masih banyak waktu, Mimi. Lagipula anak juragan emas dan sapi meski lulus telat tetap jadi juragan.”
“Aku ‘kan mau jadi guru.”
“Kayaknya gak usah deh. Kasihan anak-anak orang jika kamu yang mengajar. Bukannya pintar pelajaran malahan pintar dandan.”
“Amanda!” teriakku tanpa sadar.
“Pelan kan suara ...”
“Sssstttt!”
“Jangan berisik!”
“Ingat ini perpustakaan.”
Tegur semua orang yang ada di sekitarku. Aku hanya tersenyum meminta maaf dengan menangkupkan kedua tanganku ke depan d**a.
***
“Mama, lapar ...”
“Masih ada makanan sisa tadi siang di meja makan.”
“Lauknya apa, Ma?”
“Sayur asem, ikan asin dan tempe goreng.”
Sepulangnya dari kampus aku tertidur pulas hingga sore hari. Saat bangun perutku terasa lapar karena belum sempat makan siang karena sewaktu di perpustakaan Amanda membawa camilan dari rumah. Aku hampir memakan semua cemilannya saking sukanya dengan cheese roll stick buatannya.
“Ya, sudah. Aku mau makan dulu, Ma.”
“Iya, Nak. Setelah makan anterin Mama ke kandang ya.”
“Sudah mau maghrib, Ma. Mau ngapain ke kandang?”
“Ambil s**u buat Pak Arayan. Kemarin dia pesan s**u murni.”
Aku paling malas jika diajak ke kandang sapi yang ada di belakang rumahku. Namun, saat mendengar nama calon imamku disebut semangatku langsung membara. Aku mengangguk bergegas menuju meja makan.
Untuk Pak Ayang dengan senang hati aku akan memerahkan s**u murni sebanyak-banyaknya. Gratis tiss tiss! Tidak usah bayar.
“Tumben Mbak Mimi mau memerah susu.”
“Lagi kesambet kayaknya, Gung,” jawab Mama. Beliau tega sekali mengatai anaknya kesambet di saat rajin membantu orang tuanya.
“Calon suami pengen nenen cucu capi. Sebagai calon istri yang baik aku harus memerahnya sendiri.”
Mama dan Agung saling pandang. Mereka pasti menertawakan ku dalam hati. Sudah ditolak berulang kali tapi masih belum menyerah meluluhkan hati Pak Ayang.
“Cepi, nurut ya sama Emak. Hari ini Bapakmu minta cucu segar. Jadi, keluarkan semua stok ASI terbaikmu,” ucapku sebelum mulai memerah s**u sapi.
Kedua orang tuaku memiliki usaha toko emas dan peternakan sapi perah. Aku tinggal di kota yang terkenal sangat romantis, Yogyakarta. Rumahku tidak di pusat kota melainkan agak di pinggir. Tapi, tak terlalu pinggir juga. Intinya, membutuhkan waktu setengah jam untuk sampai ke kampus.
“Anak mu kemarin sempat ngambek, Mbak. Kayaknya lagi patah hati.”
“Kok bisa? Bukannya suaminya sudah meninggal. Mumu jatuh cinta lagi?”
“Iya, Mbak. Minggu kemarin ada pejantan yang dititipkan di sini. Sepertinya Mumu jatuh cinta pada pandangan pertama. Pas dia lagi sayang-sayangnya crush nya malah di ambil sama pemiliknya.”
“Kasihan banget sih anak aku. Baru juga jatuh cinta harus patah hati lagi.”
Memang seperti itulah aku. Menganggap seekor sapi bagaikan anakku sendiri. Hingga aku beri nama Mumu saking sayangnya aku sama dia.
Selesai memerah s**u aku dan Mama kembali ke rumah. Sebenarnya peternakan sapi memiliki pintu masuk sendiri. Tapi, Papa membuat pintu tembusan agar beliau tidak kejauhan jika harus pergi ke kandang.
Beliau menyiapkan sepeda dan motor listrik untukku dan Mama saat ingin ke kandang. Karena jika berjalan lumayan jauh. Membutuhkan waktu lima belas menit. Bayangkan sendiri ya betapa luasnya halaman belakang rumahku dan peternakan sapi. Oleh karena itu, orang tuaku mendapatkan julukan juragan sapi.
“Mbak, Pak Rayan mau ambil s**u katanya.”
“Iya, baru dikemas sama Bibik.”
Adikku satu-satunya datang ke kamarku setelah aku selesai mandi. Nayeef baru kelas 4 SD. Jarak umurku dan di gemoy cukup jauh karena kami tidak menyangka jika Mama bisa hamil lagi setelah operasi Kista dan Miom. Aku sangat bahagia memiliki adik yang ganteng dan penurut.
“Mbak Mimi jangan pakai kaos kutang. Malu di lihat Pak Rayan.”
“Ini tuh tank top, Adek. Lagian nanti Mbak pakai cardigan juga.”
“Ganti baju panjang saja. Nayeef malu kalau Mbak Mimi pakai baju terbuka.”
“Kali ini nggak akan terbuka.”
Aku memakai cardigan rajut yang sudah aku siapkan di atas ranjang. Setelah itu, menggerai rambut panjangku agar terlihat anggun. Wajahku sudah aku poles dengan bedak tabur juga lip tint agar terlihat lebih cantik.
“Yuk, ke bawah.” Aku mengajak Nayeef turun ke ruang keluarga. Tempat dia les ngaji dengan Pak Ayang.
Mama dan Papa pergi sebentar ke supermarket. Entah untuk membeli apa? Aku lupa tidak bertanya saat beliau pamitan. Alhasil, aku memiliki kesempatan bertemu dengan Pak Arayan.
“Terima kasih. Berapa harganya?”
“Gak usah bayar, Pak.”
“Jangan, ini ‘kan barang dagangan. Lagipula sudah sering saya di beri gratisan.”
Ah ... suara calon imamku benar-benar membuat hatiku sejuk. Meski tidak mau menatapku saat menjawab. Mendengar kalimat panjangnya saja sudah cukup bagiku.
“Kata, Mama gak usah bayar, Pak.” Aku menumbalkan Mama agar Pak Ayang mau menerima s**u yang aku perah sendiri.
Dia terlihat menghela nafas. Reflek aku juga melakukan hal yang sama. Belum diterima saja aku merasa sudah menjadi soulmate nya.
“Tolong sampaikan pada Tante Jazil, saya mengucapkan banyak terima kasih.”
“Sebenarnya, s**u itu aku sendiri yang memerahnya.” Aku menjelaskan dengan nada malu-malu. Tadi aku sempat melihat Pak Arayan menatapku sejenak namun langsung menunduk kembali.
“Oh ...”
Hanya itu saja jawabannya. Tak apa, asal dia senang apapun akan ku lakukan. “Di minum susunya, Pak. ASI anak saya rasanya seger banget.”
“Anak kamu? ASI?”
Aku menepuk kening, lupa jika calon imamku belum tahu soal anak angkat ku.