"Beneran, Din?"
"Apa?"
"Kamu ... satu lift sama Pak Arya?"
"Iya," sahutku, tanpa mengalihkan fokus dari layar komputer.
"Itu ... selama dalam lift, kalian ngapain aja?"
Aku menghentikan gerak tangan, menoleh ke arah Yuni. "Main."
"Main?" Kedua mata Yuni membelalak.
"Heem."
"Main apa?"
"Main tebak-tebakan." Kutatap wajahnya sambil menahan tawa.
Yuni mengerutkan kening. Lalu menampakkan wajah kesal karena sadar sudah kubohongi. "Kirain," ucapnya pelan, memalingkan wajah dengan gerak cepat ke arah layar di depannya.
"Kirain apa?" Kulanjutkan menggeser mouse untuk memilih salah satu referensi jenis furniture.
"Ya, kamu dimarahin misalnya. Setahuku, selama ini Pak Arya cuma mau berada dalam satu ruang lift sama orang-orang tertentu. Misalnya, rekan kerja dia, atau ... Gisela, sekretarisnya. Mm, itu juga jarang, sih. Biasanya Pak Arya suka suruh si sekretaris judes itu buat berangkat lebih dulu ke tempat rapat."
Aku hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum.
"Eh, ada satu lagi cewek yang suka maksa-maksa ikut Pak Arya."
Tanganku membeku, menunggu penuturan Yuni selanjutnya.
"Namanya ... Nona Violetha."
"Siapa itu?" Kini aku yang berbalik menatap wajah Yuni, sedang dia tetap menggerakan jemarinya di atas keyboard dengan kedua mata lurus ke depan.
"Enggak tau. Ada yang bilang temen Pak Arya, saudara, pacar, atau mungkin tunangan. Soalnya, udah sering ke sini. Denger-denger tinggal di Amerika."
Aku memalingkan wajah kembali. Mengembuskan napas, membuang detak tak menentu dalam d**a. Itu wajar, jika Arya memiliki kekasih. Perempuan mana yang tak akan terpikat melihat paras eloknya. Wajah tampan dengan mata tajam dan tegas, walau terkadang terlihat sendu dalam sorotnya. Namun, itu semua tak akan mengurangi auranya sebagai seorang cassanova.
Ah, semakin aku membayangkannya. Semakin aku tak sanggup menahannya. Sakit hati dan kerinduan yang bercampur menjadi satu.
"Tapi, tetep kamu yang terhebat. Baru juga dua hari kerja, udah bisa satu lift sama big boss."
Aku tersadar dari lamunan. "Masa gitu aja hebat," elakku.
"Iya, lah. Pemecah rekor. Aku aja yang udah kerja dua tahun, belum sanggup kalau berhadapan sama dia."
"Masa?"
"Hehehe. Takut meleleh duluan, Sis."
"Dasar, bucin," sindirku.
.
Pukul dua belas, Yuni mengajakku makan siang. Karena kantin berada di lantai dasar, kami pun berjalan berdampingan menyusuri koridor menuju lift sambil berbincang santai seperti biasa.
"Sebelum ada aku, siapa temen satu tim kamu?" Aku bertanya.
"Ada, namanya Surya. Tapi sayang, dia berhenti sebulan lalu. Istrinya meninggal, jadi dia putusin buat kerja di rumah sambil jaga anak-anaknya," jawab Yuni.
"Mau jadi freelancer kayak aku dulu?"
"Kurang tau, belum ketemu lagi. Soalnya dulu almarhum istrinya buka usaha laundry di rumahnya."
"Mm," sahutku sambil menganggukkan kepala.
"Padahal, ya. Surya itu andalannya Pak Arya. Setiap pekerjaannya, pasti dikasih nilai sembilan. Pak Arya kalau udah suka sama kinerja seseorang, pasti gitu. Makanya, aku agak heran. Kemarin udah ada tiga orang yang ngelamar buat disain interior di divisi perencanaan kontruksi, semua gagal. Kamu yang menang, Din. Hebat!"
"Wah, masa?" Aku menahan tawa. "Kamu itu dari tadi berlebihan terus, Yun."
"Aku 'kan sama kayak Pak Arya. Kalau udah suka, gitu. Hehehe."
Mataku membulat. "Kamu enggak punya kelainan, 'kan?" Aku mengangkat dua jari ke atas.
"Ih, enggak! Maksudnya, kamu pinter. Udah cantik, baik lagi. Aku enggak pernah seakrab ini sama orang cuma dalam dua hari."
"Idih, aneh. Hahaha."
Kami tergelak bersama, berdiri di depan pintu lift.
'Ting'
"Aku sampai takut bayangin--"
"Eheum."
Aku berbalik. "Ah, maaf ... Ka-"
"Maaf, Pak Arya."
Aku menoleh pada Yuni, dia hanya mengedipkan mata.
"Maaf, Pak Arya," ucapku gugup. Merundukkan kepala tanpa sanggup menatapnya.
"Hm," sahutnya dengan nada dingin dan datar.
Aku pun bergeser segera. "Silakan."
Arya berjalan, dengan langkah tegapnya.
"Ya, ampun. Deg-degan banget. Untung big boss keluar dari lift, enggak dengar obrolan absurd kita," bisik Yuni.
Sementara aku, masih menatapnya dengan tubuh kaku. Seakan seluruh saraf di tubuhku membeku. Ya Tuhan, kenapa harus seperti ini rasanya? Terasa asing. Padahal, dulu dia pernah begitu dekat denganku.
"Ayo, Din!" ajak Yuni yang sudah lebih dulu masuk ke dalam lift.
"Ya," sahutku sedikit terkejut. Aku pun menyusul Yuni dan berdiri di sebelahnya.
Dari tempatku berdiri, masih kulihat punggung itu bergerak menjauh.
Terbayang dulu, setiap kami berpamitan untuk pulang. Dia yang selalu berdiri di tempatnya, hingga aku menghilang di belokan gang menuju rumah atau angkutan umum yang membawaku. Dulu, Arya yang selalu menatapku seperti ini.
Sekarang, jangankan melihat. Melirik padaku pun, sepertinya dia enggan. Arya, seandainya kamu menoleh sebentar saja. Maka rasa sakitnya tak akan seperti ini. Setidaknya aku bisa meyakinkan diri, bahwa kamu tidak pernah memungkiri masa lalu kita.
Pintu bergerak. Aku masih memerhatikan Arya. Apa mungkin, dia akan menoleh ke arahku?
Tidak mungkin, Dinda. Tidak mungkin dia mau menoleh ke arahmu.
Hingga akhirnya, jarak kedua pintu tersisa sekitar satu jengkal. Saat itulah, kulihat Arya berhenti.
'Ting'
Pintu pun tertutup.
.
"Selamat tidur, Fia." Kututup tubuhnya dengan selimut.
"Selamat tidur, Bunda," sahut anak itu. Dia pun memejamkan kedua matanya.
Aku beranjak dari ranjang. Membereskan meja belajar yang agak berantakan. Dulu, ketika bekerja sebagai staf marketing. Aku tidak punya waktu walau untuk sekedar membereskan kamar ini. Hampir setiap hari aku lembur, dan membuatku kelelahan ketika pulang ke rumah.
"Beres," gumamku. Kusentuh tombol lampu meja untuk mematikannya. Namun, kuurungkan untuk menekan ketika secara tak sengaja mata ini menyerobok foto itu. Ibunya Fia, yang tak lain adalah kakak kandungku.
Aku meraihnya, dan menatap perempuan berambut panjang dengan senyum menenangkan. Rasanya, baru kemarin aku bermain dengan satu-satunya kakak perempuanku itu. Berlari, bersembunyi, juga melompat bersama di bawah guyuran air hujan.
Ah, rindu rasanya masa-masa itu. Masa di mana kami bisa melewati waktu dengan bebas, dan tak harus memikirkan beban hidup sebagai orang dewasa.
Tanpa terasa, air mata menetes. Mengingat sosok perempuan, yang kujadikan sebagai penggati Mama.
"Kak Nadia, semoga bahagia di sana. Dinda janji, akan menjaga Fia sebaik mungkin." Kupeluk pigura itu erat. "Dinda ... kangen, Kak."
***
Hari Sabtu. Aku bangun lebih cepat, lalu membereskan semua pekerjaan rumah. Selesai menyiapkan sarapan, Fia ternyata sudah duduk manis di kursinya.
"Wah, nasi gorengnya harum banget!" seru Fia.
"Oh, iya, dong. Spesial buat Alifia yang cantik dan baik hati," sahutku setelah duduk di hadapannya.
Fia tersenyum, kemudian mengangkat kedua telapak tangannya ke atas. "Mari makan," ucapnya, lalu menikmati sarapannya.
"Mumpung libur, kita jalan-jalan, yuk!" ucapku di sela suapan.
"Jalan-jalan?" Fia menatapku dengan mata bulatnya.
"Heem. Sebagai ucapan terima kasih, karena berkat Fia, Bunda dapat pekerjaan."
"Tapi itu semua berkat Lala. Dia yang minta tolong sama Mami Papinya," sanggah Fia.
Kusimpan sendok, lalu meraih jemarinya. "Tetap aja, itu semua karena kamu."
Fia tersenyum malu, lalu menyendok kembali nasi gorengnya.
Aku menatapnya sambil tersenyum. Kuraih sendok kembali.
"Bunda, betah kerja di sana?" Fia bertanya sebelum memasukkan sendok ke dalam mulutnya.
Kutarik sendok yang hampir masuk ke dalam mulut. "Heem, betah." Menganggukkan kepala dengan senyum mengembang di wajah. Kemudian merunduk, merasakan mata yang sedikit menghangat.
Bunda akan berusaha nyaman bekerja di sana, Fia. Demi kamu. Bunda tidak mungkin harus berhenti lagi, lalu mencari pekerjaan baru yang sudah sangat Bunda impikan.
"Kemarin waktu pulang sekolah, Tante Opi bilang, itu pekerjaan impian Bunda. Maksudnya apa?" tanyanya dengan kedua mata yang menatapku tanpa berkedip.
"Mm, itu ... jadi dulu Bunda kerjanya tawar-tawarin rumah ke orang-orang. Kalau sekarang, Bunda yang hias rumah-rumah pakai perabotan biar bagus."
Fia mengunyah makanannya sambil menatapku.
"Udah, nanti juga kalau udah besar kamu ngerti. Makan lagi."
Fia tersenyum menunjukkan gigi-giginya.
"Terima kasih, ya. Sekarang, Bunda bisa kerja di tempat bagus, yang sesuai dengan keahlian Bunda." Kuusap pipi kanannya.
"Tadi Bunda udah ucapin makasih," sahutnya.
Aku tertawa menyadari kekonyolanku. Entah kenapa sejak beberapa hari ini aku terus teringat Kak Nadia. Itu membuatku selalu merasa bersalah pada Fia. Karena bagaimana pun aku sadar sepenuhnya, jika selama ini perhatianku pada Fia masihlah sangat kurang.
.
"Wah, kita ke mal?" Fia menatap bangunan di depan kami dengan mata berbinar.
"Kita main sepuasnya!" seruku.
"Hore, Fia mau mandi bola!"
"Boleh. Ayo, masuk!" Kugenggam tangan kanannya.
Kami menyusuri lantai demi lantai, menuju tempat tujuan kami. Matanya tak henti menatap liar ke sana ke mari. Mungkin karena memang sudah lama kami tidak pergi ke tempat seperti ini. Bahkan anak itu berjingkrak kegirangan sesampainya di arena permainan anak-anak.
"Bunda beli dulu saldonya, ya. Jangan ke mana-mana," peringatku.
"Iya," sahutnya tanpa menoleh. Asyik mengelilingkan pandangannya ke segala arah.
Selama dua jam kami bermain bersama. Semua permainan dia coba. Hingga akhirnya duduk dan tampak kelelahan.
"Minum?"
Fia menganggukkan kepala.
"Ya udah, kita ke food court. Sekalian makan," ajakku.
"Iya," sahutnya.
"Makan apa?"
"Ayam bakar."
"Oke," sahutku.
Kami pun memilih salah satu meja kosong. Memesan dua porsi ayam bakar.
"Seneng?" tanyaku.
"Seneng." Fia mengangguk antusias.
"Belajar yang rajin, ngajinya juga. Nanti kita jalan-jalan lagi," kuusap puncak kepalanya.
"Iya, Bunda." Kedua sudut bibirnya melengkung ke atas.
"Anak baik," tandasku. Kusimpan tas di atas meja, merogoh ponsel di dalamnya. Agak terkejut ketika melihat banyak pesan dan panggilan tak terjawab. "Pak Indra, ada apa?" Segera kupanggil kembali nomor atasanku itu.
"Halo, Dinda."
"Ya, halo. Maaf, Pak. Saya sedang di luar rumah, jadi tidak mendengar suara telepon Bapak."
"Tidak apa, saya mengerti jika ini hari libur. Apa kamu ...."
Aku mengernyitkan kening. "Sebentar, Pak. Sepertinya sinyal di sini kurang bagus." Aku berdiri, menutup bagian speaker ponsel dengan telapak tangan kanan. "Fia, Bunda jawab dulu telepon. Jangan ke mana-mana."
"Iya, Bunda."
Aku pun melangkah keluar dari food court. "Halo, Pak Indra." Kusapa kembali setelah berada agak jauh dari area food court.
"Ya, halo. Bagaimana, apa suara saya terdengar jelas?"
"Ya, sudah lebih jelas."
"Apa kamu sudah membuka email dari saya?"
"Email? Bapak mengirim pesan email untuk saya? Maaf, saya belum cek."
"Ya, sudah. Tidak apa. Itu email dari Pak Arya untuk seluruh divisi. Beliau memberi intruksi bahwa mulai hari Senin besok, setiap staf harus melaporkan rencana beserta contoh rancangan. Intinya seperti itu. Jadi saya minta pada tim Divisi Perencanaan Kontruksi agar memberikan satu contoh disain, supaya saya bisa memperlihatkannya pada Pak Arya. Untuk rinciannya akan saya kirim lewat email."
"Ya, saya mengerti. Saya akan mempersiapkannya sebaik mungkin."
"Saya harap kamu bisa memberikan kontribusi terbaik untuk perusahaan. Mungkin kamu sudah pernah mendengar bagaimana cara Pak Arya menilai setiap proses pembangunan secara detail?"
"Tentu, saya pernah mendengarnya. Saya berjanji akan melakukan sebaik yang saya bisa."
"Ya, saya berharap banyak pada tim kita. Ah, saya lupa. Maaf, mengganggu hari libur kamu. Saya kadang merasa cemas jika divisi kita mendapat respon negatif dari Pak Arya."
"Tidak apa, Pak. Saya mengerti."
"Baiklah, kalau begitu. Silakan lanjutkan aktivitas kamu. Selamat berakhir pekan."
"Ya, terima kasih."
Sambungan terputus. Aku mengembuskan napas pendek. Proyek pertamaku bersama Arya. Kenapa rasanya seperti akan menghadapi medan peperangan?
Kulangkahkan kaki kembali menuju tempat yang tadi kutinggalkan. Meski pun bimbang menyerang, tapi kurasa hal ini akan sering terjadi. Apalagi setelah aku dengar, jika Bima Anggarajaya Grup sering mendapat proyek besar. Dan itu artinya, jika benar diangkat sebagai karyawan, mungkin aku pun akan sering terlibat di dalamnya, termasuk bertemu dengan lelaki yang selalu Yuni panggil Bis Boss.
Aku berdiri di samping meja tempatku dan Fia tadi duduk, tapi ... ke mana anak itu?
"Mbak, anak kecil di sini mana, ya?" tanyaku pada pelayan yang sedang mengambil piring kotor di meja sebelah.
"Saya tidak tahu, Bu," ucapnya.
Astaga! Bagaimana ini? Ceroboh sekali aku meninggalkan Fia sendirian di tempat asing. Kucoba bertanya pada ibu penjual ayam bakar.
"Tadi waktu pelayan saya mau simpan ayam bakar pesanan Ibu, sudah enggak ada siapa-siapa di situ. Saya kira Ibu pulang," paparnya.
"Ya ampun, Fia. Kamu ke mana?" Kuusap wajah gelisah.
"Hubungi CS aja, Mbak," saran pelayan kios ayam bakar.
"Ah, baik. Kalau gitu, ayamnya dibungkus aja, Bu." Kuulurkan uang seratus ribu.
"Oh, baik."
Selagi menunggu, kulayangkan pandangan ke sana ke mari. Berharap anak itu berdiri di satu titik, lalu melihatku. Atau mungkin tahu-tahu dia sudah berlari ke arahku.
Ah, Dinda! Kamu memang belum pantas jadi ibu. Hal seperti ini saja kamu tidak becus!
"Ini, Bu. Ini kembaliannya."
Kusambar kantong plastik dan uang kembalian. Memasukkan asal lembaran rupiah itu ke dalam saku celana.
"Bagian CS di mana, ya?" tanyaku pada seorang office boy yang sedang mengepel.
"Di sana," tunjuknya ke satu arah.
"Terima kasih," ucapku tanpa menunggu balasannya. Setengah berlari aku menuju meja tinggi di sebelah eskalator itu. "Permisi, Mas. Apa ada seorang anak kecil yang berjalan sendirian atau menangis ...."
"Anak Ibu hilang?" sela lelaki berseragam putih itu.
"Iya," sahutku lemah.
"Sebentar," ucapnya. "Ciri-cirinya seperti apa?"
"Umurnya enam ... ah, hampir tujuh tahun sebenarnya. Tingginya segini. Kulitnya putih, rambutnya diikat, memakai dress warna hijau motif bunga," terangku.
"Kita lihat di CCTV," ujarnya ramah.
"Ya," sahutku berusaha tenang.
Sekitar satu menit aku menunggu dengan resah. Terus merapalkan doa, semoga Fia tidak kenapa-napa.
"Ya, halo. Oh, ya. Ada. Baik. Berapa?"
Aku menoleh. Pegawai itu memegang telepon sambil menuliskan sesuatu di atas kertas catatan.
Aku menyapukan kembali pandangan ke sekeliling. "Fia, kamu ke mana?" lirihku.
"Permisi, Bu. Anak Ibu sudah bersama seseorang. Ini nomor ponselnya. Ibu diminta menghubunginya," ujar karyawan itu, memberikan selembar kertas kecil.
Aku menerimanya, menatapnya sekejap. "Saya coba hubungi. Terima kasih," ucapku. Kukeluarkan ponsel, mengusap layar tergesa, mengetik deretan nomor dengan cepat.
"Halo."
"Ha-halo. Apa benar Anda bersama anak saya?"
"Namanya?"
"Alifia, gadis kecil berbaju hijau."
"Dia bersama saya. Kami berada di coffe shop, lantai dasar."
"Saya segera ke sana." Kututup sambungan. Berlari ke arah lift. Rasanya semua tubuhku bergetar. Cemas dan takut.
Setibanya di depan coffe shop, kutelepon kembali nomor tadi. "Di sebelah mana, ya?" tanyaku segera setelah sambungan dijawab.
"Meja sudut."
Aku mengelilingkan pandangan ke semua sisi. Lalu termangu, ketika melihatnya.
"Bunda!" Fia mengangkat tangan kanannya.
Kubalas panggilan anak itu, walau dengan gerak kaku. "Saya ... ke sana," ucapku lemah. Kumasukkan ponsel ke dalam tas. Kemudian melangkah, melewati meja demi meja. Entah kenapa, terasa berat sekali untuk sampai di tempat itu. Terlebih, sosok itu terus menatapku.
Arya, dia duduk dengan kaki menyilang. Tangan kanannya memegang ponsel, sedang tangan kirinya di atas meja dengan telunjuk bergerak mengetuk berulang-ulang.
"Bunda!" Fia berlari ke arahku. Hampir tubuhku kewalahan menerima gerakannya yang tiba-tiba. Ah, bukan. Sepertinya ... aku yang masih terkejut atas kejadian ini.
Terkejut atas kehilangan Fia, atau ... pertemuanku dengan Arya?
"Terima kasih, Pak Arya." Aku membungkukkan tubuh.
"Ya," sahutnya tak acuh.
"Maaf, merepotkan. Tadi ... saya meninggalkannya sebentar untuk menerima telepon--"
"Lain kali hati-hati. Jangan ceroboh," ucapnya sambil berdiri. Memasukkan ponsel ke dalam saku celananya.
Aku merunduk. Memejamkan mata. "Ya, saya akan lebih berhati-hati," ucapku setelah menatapnya lagi.
Arya menaikkan satu sudut bibirnya, lalu berdecak. "Bukankah, biasanya di akhir pekan, keluarga kecil selalu pergi bersama?"
Aku merundukkan kepala, tanpa mau menjawab pertanyaannya.
"Ke mana ... suamimu?"
Aku menggigit bibir bagian bawah. Harus menjawab apa?
"Sa ...." Kuangkat wajah untuk menatapnya.
"Lain kali hati-hati. Kalau orang tuamu tidak ada, jangan lari-lari." Arya berkata dengan setengah badan membungkuk.
"I ... iya, Om. Maaf, Fia udah tabrak, Om."
"Tidak apa. Om pergi dulu."
"Makasih, Om."
"Sama-sama," ucap Arya sambil berdiri kembali. Lalu pergi.
Kini, aku semakin yakin. Jika Arya yang sekarang, bukanlah Arya yang dulu.
*****
--bersambung--