6. Aku Dan Kak Nadia

2747 Kata
Aku mematikan lampu kamar, setelah yakin Fia tidur dengan nyenyak. Rasa bersalah terus menggelayut. Berasa berdosa karena telah membuatnya ketakutan, lalu hampir hilang di mal. Ah, Fia. Jika sudah begini, rasanya ... Anty memang belum pantas jadi Bunda kamu. Kututup pintu perlahan. Kemudian berjalan ke dapur, di mana Opi sedang menghangatkan sayur sop yang dia bawa dari rumahnya beberapa menit lalu. Sayangnya, Fia tidak mau makan sedikit pun. "Udah tidur?" tanya Opi ketika menyadari aku sudah duduk di kursi. "Udah. Beruntung enggak terlalu rewel," sahutku. Lalu mendesah, menyandarkan diri pada sandaran kursi. "Aku pikir ini akan menyenangkan. Udah lama enggak bawa dia main keluar. Ternyata, malah begini jadinya." Opi mengusap pundakku. "Namanya juga anak kecil. Udah, jangan terlalu dipikirin. Makan dulu. Mumpung masih hangat." Dia pun mengambil mangkuk dan mengisinya dengan sayur. Aku raih sendok. "Makasih," ucapku, kemudian memakan potongan wortel dan kentang. Walau sebenarnya tak merasa lapar sedikit pun, tapi aku juga tidak tega jika harus menolak pemberian Opi. Dia pasti sengaja datang ke sini setelah melihat Fia yang menangis sepulang dari kami keluar. Beruntung aku memiliki sahabat sekaligus tetangga sebaik Opi, yang selalu memerhatikan juga mencemaskan aku dan Fia. "Khanza juga takut sama badut. Tiap dibawa ke acara ulang tahun temennya, pasti nangis-nangis terus minta pulang," ucap Opi. "Itu karena dulu, waktu umur dua tahun dia pernah digendong sama badut. Katanya, wajahnya seram. Putih, bibir lebar, perut besar dan rambut kriwil." Lalu tertawa sendiri. Aku tersenyum. "Ya, makanya enggak aneh, lah. Kalau Fia juga bisa takut sama lelaki tinggi besar, dan berkumis," sambung Opi. Kali ini aku tersenyum kelu. Menyimpan sendok, meraih gelas berisi air putih, lalu meneguknya. "Aku salut sama kamu, Din. Single parent yang berusaha hidup mandiri, membesarkan anak sendiri, mendidik dia dengan sepenuh hati. Kalau aku jadi kamu, pasti udah enggak kuat. Ya, beruntung sekarang aku punya suami yang baik dan mau kerja keras demi aku dan Khanza. Walau pun enggak kaya raya, tapi masalah hati kayaknya paling utama. Hehehe." "Makasih buat dukungan dan semangatnya. Aku beruntung punya tetangga sekaligus temen sebaik kamu." "Ah, bisa aja." Opi terkekeh. "Ya udah kalau gitu, aku pulang dulu. Kalau sayurnya ada sisa simpan aja dalem kulkas, besok bisa dihangatin lagi." "Ya," kuanggukkan kepala. Opi pun melangkah, keluar dari dapur. Hingga kudengar suara pintu depan terbuka lalu tertutup. "Maaf, Pi. Aku belum bisa jujur sama kamu," lirihku. . Aku merebahkan diri di atas ranjang, di samping Fia. Kuputar tubuh agar bisa melihat dia yang terlelap. Menatapnya, hanya menatapnya. Entahlah, rasanya hati ini masih belum bisa memaafkan diri sendiri. Bodoh sekali kamu, Dinda!  Sepanjang jalan pulang tadi, kulihat Fia terdiam. Ketakutan terlihat di wajahnya, dan yang pasti dia berusaha untuk tidak menangis. Beruntung aku memilih taksi sebagai kendaraan untuk pulang, jika saja dalam angkutan umum, aku pasti malu.  "Fia takut, Bunda. Tadi waktu nunggu Bunda, ada bapak yang deketin Fia. Katanya meja penuh, terus dia mau duduk sama Fia. Jadi Fia mau cari Bunda, ternyata malah nabrak Om tadi," ucapnya sambil terisak sesampainya di rumah. "Maafin, Bunda. Kirain enggak bakal lama," kupeluk tubuh itu. Sebisa mungkin aku menenangkannya. "Fia takut ... Papa. Fia takut dipukul. Fia takut ...." Ah, jika sudah begitu. Dadaku selalu merasa sesak. Melihatnya menangis, selalu mengingatkan aku pada sosok itu, Kak Nadia. Dulu, dia lah yang selalu melindungiku. Menjagaku. Merawatku dengan sepenuh hati. Dulu, aku dan Kak Nadia adalah kakak beradik yang hidup bahagia. Tentunya bersama keluarga yang lengkap, Mama dan Papa. Hidup kami sempurna, memiliki orang tua yang selalu melimpahi anaknya dengan kasih sayang dan materi yang lebih dari cukup. Hingga suatu hari, tragedi itu terjadi. Papa dan Mama yang sedang dalam perjalanan keluar kota, mengalami kecelakaan mobil. Mereka meninggal dunia. Waktu itu umurku sepuluh tahun, dan Kak Nadia lima belas tahun. Mama seorang yatim piatu, tidak mempunyai sanak saudara. Sedang Papa, hanya memiliki satu orang adik. Karena itulah, hak asuh kami jatuh padanya. Tante Julia. Kami tahu, jika Tante Julia adalah adik tiri Papa. Kami sering bertemu dengannya, karena memang perempuan berusia dua puluh lima tahun itu membantu menjaga salah satu kafe Papa di Bandung. Setahu kami, dia perempuan baik. Sikapnya lembut dan cara bicaranya pun ramah. Akan tetapi, ternyata itu semua hanya topeng. Secara perlahan, sikapnya berubah.  Suatu pagi, secara tidak sengaja kami mendengar percakapannya bersama seseorang lewat telepon, entah siapa.  "Walau mereka ada dalam hak asuhku, tetap saja semua harta warisan Kak Panji jatuh pada kedua anak itu. Ah, sepertinya kakak tiriku itu sudah tau jika dia bakalan mati muda. Makanya dia bikin surat wasiat sejak awal."  Kak Nadia menahan lenganku yang hampir melangkah.  "Kita enggak bisa biarin ini, Kak," bisikku.  "Sabar dulu, kita bisa cari jalan keluar nanti," bujuk Kak Nadia.  Usiaku menginjak tiga belas, duduk di kelas tujuh kala itu. Sedang Kak Nadia duduk di kelas dua belas. Di satu sore, Kak Nadia meminta izin untuk memilih universitas. Dia ingin melanjutkan pendidikannya.  "Tidak bisa, Nadia. Uang tabungan peninggalan Papa kamu tidak akan cukup untuk membiayaimu kuliah," ucap Tante Julia. "Belum lagi adik kamu yang masih harus banyak mengeluarkan biaya untuk sekolah SMP dan SMA-nya nanti," sambungnya dengan nada tak acuh. "Mana mungkin? Setiap hari kami lihat, kafe dan minimarket Papa selalu penuh dengan pengunjung," sanggah Kak Nadia.  "Memang kalian pikir, selama ini para pekerja itu bekerja secara sukarela?" dalih Tante Julia santai sambil menatap kuku-kukunya.  "Palingan juga uang uangnya habis dipakai ke salon, belanja tas, baju, sama sepatu. Kakak lihat aja di kamarnya. Lemarinya penuh," sindirku. Tante Julia menoleh dengan tatapan tajam. "Jaga bicara kamu!" bentaknya.  "Kenapa? Tante pikir aku takut, hah? Kami enggak takut. Kita bisa usir Tante kapan aja. Tante cuman numpang di sini!" teriakku.  Plak.  Aku meringis. Menahan rasa perih di pipi.  "Cukup, Tante!" Kak Nadia memeluk tubuhku, menghalangi dari geraman Tante Julia. "Awas kamu, Dinda!" gertaknya, lalu pergi dari hadapan kami dengan wajah merah padam. . Setelah itu, kehidupan aku dan Kak Nadia benar-benar seperti di neraka. Uang jajan kami dikurangi, bahkan kadang tidak diberi. Makan dijatah hanya sekali dalam sehari. Sedangkan Tante Julia, setiap hari shopping dan jalan-jalan bersama pacarnya.  Kak Nadia sampai harus bekerja di salah satu kafe Papa, demi membiayai kuliahnya. Meski semua karyawan bertanya, Kak Nadia menjawabnya dengan kebohongan. Alih-alih tidak ingin menjadi gadis manja, atau memulai semuanya dari nol. Padahal, itu adalah jalan keluar yang diberikan oleh Tante jahat itu. Tidak sampai di situ saja. Belum cukup menyiksa fisik, Tante Julia juga seakan menyiksa mental kami. Hari yang kami lalui penuh dengan tekanan. Hampir setiap saat Tante Julia menyuruh Kak Nadia untuk mengalihkan seluruh kepemilikan harta benda peninggalan Papa. Tentu saja kami curiga. "Kamu bisa pindahkan semua harta almarhum Papa kamu. Setelah itu hidup kalian akan kembali seperti dulu," ucapnya. "Itu harta Papa. Kenapa harus kami berikan sama Tante?!" tanyaku berang. Berkali aku melawan, dan setelahnya aku mendapat tamparan. Dan lagi-lagi Kak Nadia melindungiku dari amukan Tante Julia. "Kak, jangan diam aja. Kakak harus bantu aku," ucapku di suatu malam.  "Kakak juga sedang berpikir, Dinda. Bagaimana caranya agar hidup kita enggak seperti ini terus," jawabnya.  "Apa kita kabur aja, Kak?"  Kak Nadia menggelengkan kepala. "Jika kita kabur, itu sama saja memberi Tante Julia peluang untuk menang. Kamu tau, kenapa selama ini Kakak kerja? Kakak datangi semua tempat usaha Papa, sertifikat dan surat-surat penting enggak ada di sana."  "Maksudnya?" "Tante Julia menahan semua aset penting, Papa," lirihnya. "Apa?" Aku mengembuskan napas berat. . Suatu hari, seorang laki-laki datang ke rumah. Bertubuh tinggi besar, dan berkumis. Tante Julia bilang, dia supir baru kami. Aku yang waktu itu masih duduk di kelas sembilan, tidak terlalu peduli lagi akan semua kelakuannya. Setiap pagi, lelaki yang kuketahui bernama Sandi itu mengantar kami ke sekolah, lalu menjemput. Sikapnya dingin, jarang berbicara. "Pak Sandi, nanti sore aku mau ke rumah temen yang ulang tahun. Jangan jemput," ucap Kak Nadia pagi itu, ketika kami sedang dalam perjalanan. "Ke mana?" tanyaku cepat. "Rumah Kak Sisil. Dia ulang tahun," sahut Kak Nadia. "Kirim saja alamatnya, nanti saya jemput." Pak Sandi berkata sambil menatap kami dari kaca spion. "Ya, nanti aku kirim," jawab Kak Nadia. Aku tak berkata apa-apa lagi. Namun, entah kenapa perasaanku mendadak resah tak jelas. Malam semakin larut. Berkali aku mengintip dari balik tirai, berharap Kak Nadia pulang segera. "Sedang apa?" tanya Tante Julia. Aku tersentak. "Nunggu Kak Nadia," sahutku dengan nada ketus. "Dia enggak bakal pulang," tukasnya. Aku menoleh. Tante Julia tersenyum. Senyum menyebalkannya, yang kutahu mengandung arti lain. Kurogoh ponsel di saku piyama. Menekan nomor Kak Nadia. "Angkat, Kak," lirihku. Percuma. Hingga pagi menjelang, Kak Nadia belum juga tampak. Selama salat Subuh, aku menangis terisak. Menyesal tidak melarang Kak Nadia untuk pergi ke rumah Kak Sisil. Aku pun bersiap untuk ke sekolah. Melewati meja makan, di mana perempuan jahat itu sedang menikmati sarapannya. "Sarapan dulu, Dinda." Aku berhenti, menatap Tante Julia dari tempatku berdiri. "Kamu belum mengambil jatah makan malammu. Pasti semalaman kamu kelaparan," ucapnya dengan nada santai. Aku berjalan, menghampirinya. "Aku mau s**u," pintaku. Dia menoleh. "s**u coklat atau vanilla?" "Yang ini aja," kuraih gelas di dekat piring sarapannya. "Ini bekas Tante. Kamu mau?" Dia menatap gelas yang isinya memang sudah berkurang sedikit. "Enggak apa. Masih bisa, kok," ucapku. "Masih bisa ... buat ditumpahin." Tante Julia berdiri sambil menjerit. "Dinda! Aku tersenyum melihat rambutnya yang basah. Tetes demi tetes s**u juga membasahi wajahnya. "Aku udah kenyang," pungkasku. Lalu pergi segera. Ketika berdiri di teras, aku terdiam beberapa saat. Menyadari mobil yang biasa mengantar jemputku sekolah, tidak ada. Akhirnya aku pun tersadar. "Pak Sandi?" . Jarum jam menunjukkan angka sepuluh. Aku masih duduk di lantai teras rumah. Menunggu kepulangan Kak Nadia. Apa mungkin, Pak Sandi dalang dari semua ini? Pertanyaan itu terus terngiang sepanjang hari. "Kak, kamu di mana?" bisikku. Menahan tangisan yang kutahan selama dua hari ini. Aku berdiri, berniat untuk ke kamar karena mata yang sudah terlalu lelah. Saat baru saja berbalik, suara mobil terdengar. Ada kelegaan ketika melihat sosok itu keluar dari mobil. "Kak Nadia, kenapa baru pulang?" Akan tetapi, pertanyaanku tak dihiraukannya. Kak Nadia hanya menoleh, lalu masuk ke dalam rumah. Aku berpaling ke arah lain. Pak Sandi berdiri di samping mobil. Menatap kami dengan raut datarnya. Aku berjalan cepat menghampirinya. "Apa yang terjadi?" Pak Sandi tak menjawab. Dia masuk ke dalam mobil, membawanya ke garasi. Ingin aku mengejarnya, bertanya lagi tentang apa yang terjadi selama dua hari ini padanya. Namun, aku lebih memilih berlari ke arah kamar. Mengejar Kak Nadia. "Kak, ada apa? Apa yang terjadi?" Bukannya menjawab, Kak Nadia malah menangis. Duduk di atas kasur sambil memeluk lutut. . Hari selanjutnya, Kak Nadia tetap membisu. Berkali aku bertanya, selalu tak dijawabnya. Kemudian mencoba bertanya pada Pak Sandi, tapi jawabannya tidak memuaskan. "Saya tidak tau." "Tanya saja Kakakmu." Atau hanya sebuah gelengan kepala. . "Kak, enggak kuliah lagi?" Aku duduk di samping Kak Nadia yang sedang meringkuk di bawah selimut. Namun, dia tak memberi respon apapun. "Kak, jangan gini terus, dong! Dinda bingung lihat Kakak--" "Dinda." Aku menoleh ke arah pintu. "Cepat berangkat sekolah. Pak Sandi sudah menunggu kamu," ucap Tante Julia. Aku hanya bisa berdecih melihat perempuan pembawa masalah itu. Akhirnya mau tak mau, aku pergi ke luar dari kamar. Sepanjang jalan, kuperhatikan lelaki di depanku. Tampaknya dia pun menyadari kalau aku sedang mengawasinya. "Ada yang aneh?" tanyanya. Melihatku dari kaca spion. "Aku selalu menganggap semua orang aneh, kecuali diriku dan kakakku." Kupalingkan wajah, menatap ke arah jalanan. "Sepertinya, kamu berbeda dari Nadia." Aku meliriknya sekejap. Ada apa dengan Pak Sandi? Tidak biasanya dia berbicara lebih dulu. Mobil berhenti di depan gerbang sekolah. Aku pun turun dan segera masuk. Entah kenapa, ini kali pertama aku merasa tak nyaman duduk berdua dengan Pak Sandi. . Bel pulang berbunyi. Dengan malas aku melangkah ke arah gerbang. Di seberang jalan, mobil sedan berwarna hitam sudah terparkir. Aku menatap wajah itu. Dia yang sedang merokok, dan mengembuskan asapnya dari sela kaca jendela. Mungkinkah, dia yang membuat Kak Nadia berubah? Aku duduk seperti biasa. Melepas tas dan menyimpannya di atas pangkuan. "Bapak ada keperluan dulu," ucapnya beberapa saat setelah mobil melaju. "Kenapa enggak bilang dari tadi? Aku bisa naik angkot," ketusku. Dia tak menyahut. Tetap menjalankan mobil dengan tatapan ke arah depan. Aku pun mengeluarkan buku, membaca demi menepis kegundahan. Mobil memasuki jalanan pedesaan. Pertokoan menghilang, tergantikan rumah-rumah bilik sederhana. Semakin lama, bangunan-bangunan itu menghilang. Hanya ada tanah kosong dan kebun yang dipenuhi pepohonan rimbun. Aku masih diam. Menahan kepanikan kendati rasa takut mulai menyerang. "Turun!" perintah Pak Sandi setelah membuka pintu. "Di mana ini?" tanyaku. "Turun saja, jangan banyak tanya!" gertaknya. Aku pun turun segera dengan gerak terpaksa. Pak Sandi berjalan memasuki halaman berpagar. Di dalamnya ada rumah sederhana bergaya Belanda. Rumah kuno yang cukup sunyi, dan agak menyeramkan. "Masuk dulu," ucapnya dengan nada lebih pelan. Aku menurut. Melangkah mengikutinya. "Duduk di sini," tunjuknya pada kursi kayu di tengah ruangan. Aku pun mengempaskan tubuh. Menyimpan tas di atas meja. "Tunggu sebentar." Pak Sandi masuk ke dalam. Selagi menunggu, kukeluarkan ponsel dalam tas. Sedikit kaget melihat banyak pesan dan telepon dari Kak Nadia. Ah, aku lupa. Semenjak berangkat tadi aku memang menyetel mode diam pada ponselku. "Hati-hati, Dinda. Pak Sandi ingin berbuat jahat padamu." Isi pesan Kak Nadia. Kubuka lagi yang lain. Isinya sama, sebuah peringatan untukku. Mungkinkah ....? Aku tersentak, kala menyadari ada bayangan hitam mendekat. Kumasukkan ponsel ke dalam tas, dengan tangan sedikit gemetar. Dadaku mulai berdegub kencang. Keadaan berubah gelap. Aku menoleh perlahan. Pak Sandi menutup pintu, lalu menguncinya. Dengan langkah pelan, dia menghampiriku. Aku mendongkak, menelesuri tubuh tinggi besar itu. Dari balik kumisnya, bisa kulihat dia tersenyum. "Kamu tidak takut?" tanyanya dengan tubuh merunduk. "Tidak," sahutku. Sementara tangan kanan di dalam tas, sudah memegang sebuah benda. "Benar dugaanku. Kamu berbeda dengan Nadia." Dia tertawa. Krek, krek, krek. Di tengah tawanya yang menggema, kugeser pisau kater semakin ke atas. "Sebenarnya aku tidak suka anak kecil. Tapi Tantemu itu terus memaksaku." Pak Sandi berdiri kembali, melepas kancing kemejanya. "Semoga kamu tidak seberingas Nadia. Aku sampai harus mengikatnya," sambungnya sambil melempar kemejanya ke sembarang arah. Aku menunggu, menunggu dia lebih dekat. Hingga akhirnya, dia memegang pinggiran kursi kayu yang aku duduki. Dan wajahnya, hanya sejengkal dari wajahku. Mata kami bersitatap. Cukup lama. Hingga akhirnya aku putuskan. "Argh!" jeritnya memegang daerah vitalnya. Aku tendang kembali tubuh itu, kali ini kepalanya yang sedang merunduk. Itu membuatnya terjengkang ke belakang. Aku mendekatinya, mengacungkan pisau kater di tanganku. "Kamu pikir aku bodoh!" teriakku. "Berani kamu menyakitiku, maka hal yang sama akan terjadi pada kakakmu," desisnya. Aku melangkah ke belakang. Menjauh darinya. Teringat pada Kak Nadia. Pasti dia sekarang sedang bersama Tante Julia. . "Kak Nadia!" teriakku. Berlari memasuki rumah. "Dinda." Kak Nadia berdiri di ujung tangga lantai atas. Aku berlari menaiki anak tangga. "Kak," bisikku setelah berhasil memeluknya. "Dinda, kamu enggak kenapa-napa, 'kan?" tanyanya diiringi isak tangis. "Enggak, aku enggak kenapa-napa," sahutku sambil melepas pelukan. "Maaf, Kak. Dinda ... enggak bisa jagain Kakak." Tubuh Kak Nadia merosot dari kedua lenganku. Tangisnya semakin keras. "Kakak takut, dia melakukan itu lagi sama kamu," ucapnya dengan suara bergetar. Aku menurunkan tubuh. "Enggak, Kak. Aku enggak kenapa-napa." "Wah, wah. Ada kejadian mengharukan apa ini?" Aku menoleh ke sumber suara. "Dasar perempuan jahat!" teriakku. "Ya, aku jahat. Itu karena kalian tidak menuruti kemauanku." Tante Julia menunjuk kami berdua. "Sampai kapanpun--" "Cukup, Dinda." Kak Nadia menarik lenganku. Dia menggelengkan kepala. "Apa?" "Kita ... mengalah saja," bisiknya. "Maksud Kakak?" Kak Nadia memalingkan wajah. "Aku akan mengalihkan semua harta warisan Papa." "Oya?" Kedua mata Tante Julia berbinar. "Ya, pertemukan kami dengan pengacaranya ... besok." Aku menatap wajah itu. Kak Nadia berbicara dengan tegas dan lantang. "Kak." "Kamu menurut aja sama Kakak," pungkasnya. . Esoknya, Kak Nadia bersiap menemui pengacara. Selama ini Tante Julia yang mengurus semua, tanpa memberitahukan siapa pengacara yang menjadi kepercayaan Papa atas surat wasiatnya. "Jangan berkata macam-macam. Katakan semuanya, seperti yang aku bilang tadi." Tante Julia menatap Kak Nadia. Aku mengepalkan tangan, menahan amarah. Namun, Kak Nadia terus melarangku berbicara. "Kami pergi. Jangan ke mana-mana," ucap Tante Julia. Aku bergeming. Hingga bisa kupastikan, mobil itu sudah menjauh. "Cari tempat Tante Julia menyimpan semua sertifikat dan surat penting milik Papa." Kak Nadia mengatakan itu tadi malam. "Maksudnya?" tanyaku tak mengerti. "Ambil semuanya. Bawa pergi. Kita tidak boleh membiarkan semua harta peninggalan Papa jatuh ke tangannya. Kakak akan berpura-pura untuk mengalihkan semuanya, atas namanya. Dan kamu, selama kami pergi, harus bisa menemukannya." "Lalu Kakak bagaimana?" "Kakak janji, akan mencari kamu." Itulah pertemuan terakhirku dengan Kak Nadia. Aku pergi meninggalkan rumah, membawa semua surat penting dan aset berharga milik Papa. Nyatanya, yang ada di hadapanku kini, bukanlah Kak Nadia. Tetapi, putri semata wayangnya. Yang dia sebut, sebagai harta paling berharga di hidupnya. Maaf, Kak Nadia. Aku masih teledor untuk menjaga bidadari kecilmu. ***** --bersambung--
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN