4. Tentang Arya (1)

2653 Kata
[Pov Arya] *** Orang bilang, masa kecil adalah masa terindah. Namun, sepertinya tidak bagiku. Arya Bima Anggarajaya, itulah nama yang disematkan oleh orang tuaku. Terlahir dari keluarga berkecukupan, membuatku sedikit berbeda dari anak-anak lain. "Jangan main sama Arya. Entar nangis, ngadu lagi sama Maminya!" Aku terdiam, memerhatikan teman-teman bermain bola. Hingga satu waktu, bola itu menggelinding ke arahku. "Arya, tendang bolanya!" "Aku?" "Iya, siapa lagi emang? Cuma kamu yang diam di situ!" teriak Yogi, teman sekelasku. "Iya," sahutku semringah. Kuambil kuda-kuda untuk menendang bola, lalu .... "Aduh!" Aku terjatuh karena tendanganku melenceng. Suara tawa terdengar, mereka kembali meneriakiku. "Dasar anak cengeng!" "Dasar anak manja!" "Dasar anak gendut!" Itulah julukan yang mereka berikan padaku. Ya, aku cengeng, manja, dan gendut. Sepulang sekolah, aku menangis. Berlari ke dalam kamar. "Den Arya! Kenapa nangis, Den?" Mbok Darmi menggedor pintu kamar. Aku tidak memedulikannya, tetap menangis dengan menyembunyikan wajah di atas bantal. "Pak Imran, Den Arya kenapa?" "Itu ... biasa, Mbok. Diejek sama teman-temannya." "Ya ampun, anak-anak nakal!" "Ini tas Tuan Muda, Mbok." Suara Mbok Darmi dan Pak Imran menghilang. Kurasa mereka sudah pergi. Aku pun bangkit, berjalan ke arah lemari kaca. Sesosok tubuh besar, berpipi tembam, berdiri di depanku. Umurku baru sepuluh tahun, tapi berat badan sudah mencapai 50 Kg. Itulah sebabnya aku menjadi bahan ejekan teman-temanku. . "Den Arya, dipanggil ke bawah buat makan malam." "Bilangin sama Mami, aku enggak mau makan, Mbok!" "Tapi, Den ...." "Bilangin sama Mami, aku--" "Arya!" Aku bangun, turun dari kasur. Dengan cepat melangkah menuju pintu yang sengaja kukunci. "Papi!" "Arya, anak tampanku!" Papi memeluk lalu mencium pipiku. "Papi kapan pulang?" "Baru aja sampai," sahut Papi. "Kenapa enggak telepon dulu?" "Papi mau kasih kejutan. Tuh, Papi bawain banyak oleh-oleh buat kamu. Ada banyak coklat dan permen." "Wah, asyik!" "Tapi, syaratnya kamu harus makan dulu. Mbok Darmi bilang kamu belum makan dari siang. Benar?" Aku melepas kedua tangan dari pundak Papi. "Arya ... diejekin lagi," lirihku. "Kenapa harus nangis?" "Arya enggak diajak main," keluhku. "Dari TK, Arya enggak pernah punya temen yang mau ngajak main." Papi tersenyum. "Suatu hari nanti, pasti ada seseorang yang mau jadi teman kamu." "Beneran?" "Iya, Arya anak tampanku." Aku tersenyum mendengarnya. Sejak hari itu aku percaya, akan ada seseorang yang mau menjadi temanku. Hingga kelas enam SD, aku tetap sendirian. Tak peduli teman-teman mengabaikanku, menganggapku tak ada. Karena aku yakin, akan ada seorang teman yang mau menemaniku. Menginjak SMP, aku masih selalu sendiri. Setiap hari kulihat anak-anak berseragam putih biru itu bergerombol, berjalan beriringan sambil tertawa bersama. Hanya aku yang selalu sendiri. Tubuhku? Masih gendut. Kendati aku sudah mengurangi porsi makanku. Suatu pagi, ketika aku baru turun dari mobil. Seorang anak lelaki menghampiri. "Hai, Arya!" sapanya. "Hai, Arif!" sahutku. Aku mengenalnya karena dia teman sekelasku. "Ke kelas bareng, yuk!" ajaknya. "Ayo!" Sejak hari itu, Arif selalu menungguku di depan gerbang sekolah. Kami akan masuk ke kelas bersama, istirahat bersama, juga pulang bersama. Aku mengantarnya setiap hari, dan Arif tentu saja senang. Dia bilang ingin menjadi teman baikku. Suatu pagi, ketika turun dari mobil. Tak kulihat dia yang selalu duduk menungguku di bawah pohon beringin. Kudengar dari ketua kelas, ternyata Arif sakit. Sepulang sekolah, kuputuskan untuk menjenguknya. "Arya?" Arif tertegun ketika melihatku. "Hai, Rif. Aku mau nengok kamu," ucapku. "Wah, padahal cuma demam biasa. Ngerepotin aja," sahutnya dengan nada gugup. "Enggak apa." Kami mengobrol sebentar. Hingga waktu menunjukkan pukul tiga, kuputuskan untuk pulang. Sesaat akan masuk ke dalam mobil, aku teringat sesuatu. "Pak, tunggu sebentar. Hape aku ketinggalan kayaknya." "Iya, Tuan." Pak Imran menutup pintu mobil. Aku masuk kembali ke dalam rumah Arif. Karena pintunya masih terbuka, kupikir tak harus mengucap salam. Namun, langkahku terhenti saat mendengar percakapan itu. "Wah, beneran dia anak orang kaya, Rif? Ini dia bawa oleh-oleh banyak banget. Apel, jeruk, anggur, roti, s**u. Kamu sakit aja yang sering-sering, biar dibawain oleh-oleh." Dadaku berdegub. Apa maksudnya? "Ah, Ibu norak banget! Udah, ah. Arif mau tidur lagi, pusing!" Akhirnya, kuurungkan niatku. Berbalik untuk masuk ke dalam mobil. Esoknya, kulihat dari balik kaca mobil. Arif sudah menungguku di bawah pohon seperti biasa. "Arya!" Dia berlari ke arahku. "Arif, udah sembuh?" tanyaku diiringi seulas senyum. "Udah, kok. Eh, iya. Ini hape kamu ketinggalan. Kemarin waktu aku keluar dari rumah, mobil kamu udah enggak ada," paparnya sambil mengulurkan benda hitam itu padaku. "Enggak apa. Makasih, ya." "Sama-sama. Ayo, kita masuk kelas!" Aku mengangguk. Sejak hari itu, entah kenapa aku sedikit meragukan ketulusan hati Arif untuk berteman denganku. Namun, di sisi lain aku sadar, selama ini aku terlalu baik padanya. Setiap istirahat sekolah, aku tak pernah absen untuk mentraktirnya jajan di kantin. Kupikir itu wajar. Aku menghargainya sebagai teman. . "Arya, minggu depan ulang tahun kamu yang keempat belas, 'kan?" "Ah, iya. Kok, kamu tau?" "Tau, dong! Aku 'kan sahabat kamu." Aku tersenyum mendengarnya. "Rayain, dong! Nanti aku ajak temen-temen sekelas buat ke rumah kamu." Aku terdiam. Selama ini aku memang belum lagi merayakan ulang tahunku. Terakhir kali, ketika masih duduk di bangku TK. Karena setelah SD, aku tidak punya teman yang bisa aku undang. "Baik, nanti aku minta Mami buat siapin pestanya," jawabku. Arif tersenyum lebar. . "Pesta?" "Iya, Mi. Boleh, 'kan?" "Tentu saja boleh," ucap Mami. "Makasih, Mi." Aku melanjutkan makan malam. "Arya ... udah undang teman-temannya?" Mami bertanya dengan nada ragu, menurutku. "Ah, iya. Semenjak duduk di kelas delapan, Arya punya temen, Mi. Namanya Arif. Dia ... baik. Dia juga yang mau ajakin temen-temen buat datang ke rumah," terangku. "Oh, ya. Mami seneng dengarnya." Aku membalas senyum Mami. . Pesta ulang tahun pun diadakan dengan cukup meriah. Papi bahkan sengaja pulang dari New York demi menghadirinya. "Tampan sekali anak Papi!" pujinya. "Makasih, Pi." "Den Arya, teman-temannya sudah datang." Mbok Darmi berdiri di muka pintu kamar. "Ayo, Pi!" Aku menarik tangan Papi segera. Benar saja. Semua teman sekelasku datang. Termasuk Arif. Akan tetapi, ada yang aneh. "Wah, ternyata pesta ulang tahun, ya? Maaf banget, Arya. Kita enggak bawa kado," ucap Sarah. "Arif, sih! Bilangnya cuma selamatan biasa," timpal Beni. "Maaf-maaf, aku lupa." Arif meringis. "Udah, enggak apa-apa. Kalian datang juga Arya pasti udah seneng. Iya, 'kan?" Mami memegang pundakku. Aku menoleh. Mami tersenyum sambil mengangguk. "Iya, enggak apa. Kalian masuk aja. Ayo! Ada banyak kue di dalam," ajakku. Mereka pun bersorak kegirangan. Sementara aku sebisa mungkin menepis segala keresahan. "Arya, maaf. Aku bener-bener lupa. Tadinya aku mau undang mereka beberapa hari lalu, eh ... malah tadi pagi. Jadinya ya, gini. Mereka enggak ada persiapan." Arif berbicara dengan wajah penuh penyesalan. "Enggak apa. Aku ucapin terima kasih banyak udah bawa temen-temen ke sini," ucapku. Arif tersenyum, lalu merunduk sambil menggaruk tengkuk lehernya. Acara pun dimulai. Aku tetap bahagia karena teman-teman menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun untukku. Terasa berbeda, tidak seperti tahun-tahun kemarin. "Tiup lilinnya," ujar Papi. Aku pun meniup api di atas angka 14 itu. "Nah, ini kado dari Papi." Sebuah kotak besar dia berikan padaku. "Buat Arya? Ini apa, Pi? Besar banget." "Buka aja," pinta Papi. Dengan cepat aku membukanya. Ternyata isinya play station keluaran terbaru. Jelas itu membuatku tersenyum bahagia. "Sekarang, giliran buka kado dari Mami," ucap Mami. Kubuka kado yang ukurannya lebih kecil itu. "Hape?" "Iya." "Hape Arya yang kemarin masih bagus," tukasku. "Tapi ini keluaran terbaru," terang Mami. "Makasih, Pi. Makasih, Mi." Kucium pipi kedua orang tuaku. Sempat kudengar teman-temanku berbicara dengan suara pelan, namun tetap bisa aku dengar. "Wuih, hadiahnya bagus-bagus." "Enak banget jadi Arya." "Harganya pasti mahal." Hingga aku lihat wajah itu. Anak lelaki yang terdiam dengan wajah menekuk. Arif. . Ujian kenaikan tingkat sudah di depan mata. Mami mulai mengawasi dan memberi peraturan ketat. Memang seperti itu. Di saat tertentu memberi kebebasan, tapi di waktu tertentu pula dia menjadikanku sebagai tawanan. Pagi itu, sekolah tidak mengadakan kegiatan belajar. Para siswa hanya ditugaskan untuk membersihkan kelas masing-masing sebagai persiapan ujian hari Senin nanti. "Arya, aku ke toilet dulu." Arif menepuk bahuku. "Ya," sahutku. Kemudian kulanjutkan membersihkan kolong meja kami. Setelah meja bersih, kuputuskan untuk mencuci tangan. "Heh, Rif. Kamu masih sebangku sama anak gendut itu? Siapa namanya? Arya, ya?" "Iya, Arya." "Temen sekelas kamu bilang, kalian deket banget. Kayak perangko, lengket!" Terdengar tawa menggema dalam ruang toilet. Sedang aku, masih berdiri di depan pintu. Dengan tubuh kaku, dan d**a berdegub kencang. "Emangnya aku mau. Terpaksa, lah." Arya berkata dengan nada santai. "Selain kaya, si Arya tuh juga pinter. Kalian tau, tiap hari aku dijajanin, dianter pulang juga. Bulan lalu, aku sampai pura-pura sakit biar ditengokin sama dia, biar dibawain oleh-oleh banyak. Hahaha." "Wah, pinter amat kamu manfaatin anak gendut itu!" "Iya, lah. Hidup itu harus bisa manfaatin orang. Apalagi ujian kenaikan tingkat sekarang, aku enggak usah belajar. Sayang banget kalau enggak nyontek sama si Arya." Tawa kembali menggema. Aku segera menjauh, sebelum mendengar lagi lelucon dan olokan mereka. Lalu memilih pulang ke rumah dengan sejuta penyesalan. Imbasnya, sejak hari itu pula, aku tidak mempercayai siapa pun lagi untuk menjadi teman dekatku. *** Alarm dari ponsel berbunyi. Entah yang keberapa kali. Rasanya belum puas memejamkan mata, setelah semalaman terjaga membayangkan ... Dinda. Wajah itu, terus membayangi. Ekspresinya ketika kami bersitatap, lalu terputus karena pintu lift yang tertutup. Apa mungkin, dia kaget melihatku? Beberapa jam sebelumnya, memang Pak Indra memberitahukanku ada seorang perempuan yang melamar pekerjaan di bagian divisinya. Bahkan kepala bagian perencanaan kontruksi itu pun memperlihatkan beberapa contoh hasil pekerjaannya sebagai disain interior. "Bagus. Apa dia sebelumnya bekerja sebagai desain interior?" tanyaku. "Saya juga sedikit aneh, Pak Arya. Dia mengatakan, kalau dia kuliah di jurusan disain. Sempat bekerja freelancer sebagai disain interior, tapi ketika bekerja malah di tempatkan di divisi pemasaran." Aku tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala. Lalu memutuskan untuk menerimanya di perusahaan kami. Bodohnya, aku tidak bertanya siapa nama karyawan baru itu? Ah, ini membuatku frustasi. Di waktu pertemuan kami di pinggir jalan itu, dia mengacuhkanku. Bahkan hingga aku mengantarnya ke klinik pun, hanya ucapan terima kasih hambar yang dia berikan. Apa mungkin benar dugaanku. Dinda sudah menikah, dan memiliki anak? Anak perempuan yang aku lihat setahun lalu? Terdengar ketukan pintu. Pak Dirga pasti mencemaskanku. Mau tak mau aku pun bangkit, meski mata dan tubuhku masih lelah. "Tuan Arya, Anda sakit?" "Tidak. Aku hanya agak kelelahan," sahutku. Pak Dirga terdiam. "Maaf, apa kopi dan rotinya--" "Ini sudah dingin. Kamu buat yang baru, Lili!" sela Pak Dirga. "Sudah, tidak usah. Nanti aku turun untuk sarapan," pungkasku. Kututup pintu kamar. Melangkah lesu ke arah ranjang untuk mematikan alarm yang masih berdering. "s**t!" Kulempar ponsel ke atas kasur, kemudian melangkah kesal menuju kamar mandi dengan satu tangan mengacak rambut. Argh, ada apa denganku?! . Rutinitas di pagi hari berjalan meski berbeda di awal. Pak Dirga masuk kembali ke dalam kamar, bersama beberapa pegawai yang membawakan baju untukku pergi ke kantor. Kupilih kemeja putih, jas berwarna coklat tua, dan dasi hitam. "Ada yang lain, yang Anda butuhkan, Tuan?" Pak Dirga bertanya setelah menyimpan sepatu pantopel hitam pilihanku. "Tidak ada." "Untuk sarapan, Anda ingin dibuatkan apa?" Aku melempar handuk bekas menggosok rambut ke atas kursi. Kemarin aku masih bisa menjawab semua pertanyaan Pak Dirga seperti biasanya, tapi entah kenapa hari ini semua hafalan itu seperti menguar begitu saja. "Jangan dulu disiapkan. Aku sedang tidak bernafsu untuk sarapan," tandasku. Kemudian mengambil semua pakaian ke dalam kamar mandi, demi menghindari pertanyaan Pak Dirga berikutnya. Setelah mematut diri di depan cermin, aku keluar dari kamar. Melangkahkan kaki menuju anak tangga. Terlihat seorang pegawai sedang mengelap guci di samping anak tangga. "Se ... selamat pagi, Tuan Arya," sapanya gugup. "Pagi," sahutku, dengan tetap membawa langkah kaki ke arah dapur. "Apa Tuan Arya sakit?" "Entah. Aku juga merasa cemas." Aku menghentikan langkah. Menatap Lili dan Pak Dirga yang sedang berdiri membelakangiku. "Pak Dirga, pasti selalu merasa khawatir setiap Tuan Arya terlihat ... sedikit aneh," ucap Lili. "Tapi, bukannya yang kita lihat aneh pada Tuan Arya, itu terlihat wajar, ya?" "Hust, kamu itu. Jangan bicara sembarangan. Nanti ada yang dengar." "Hehehe, maaf. Tapi aku beneran heran, Pak. Awal datang ke sini, aku merasakan keanehan itu. Ekspresi datar, sikap dingin, aktivitas yang sama setiap hari. Pak Dirga, ingat enggak, waktu saya baru semingguan kerja di sini?" "Kenapa?" "Ini pernah terjadi. Tuan Arya bangun kesiangan, lalu wajah dan sikapnya tampak berbeda." "Sebenarnya, itu yang sedang aku pikirkan," ujar Pak Dirga. "Jangan-jangan, ini benar karena ... perempuan?" tebak Lili. Mereka berdua terdiam, dengan padangan lurus ke depan. Hingga akhirnya aku mengambil langkah dengan derap kaki sedikit keras. "Tuan Arya," sapa mereka bersamaan setelah menoleh ke arahku. "Buatkan s**u saja, kepalaku agak pusing," perintahku sambil duduk di kursi meja makan. "Sa-sa-sama ... rotinya, Tuan Arya?" Lili bertanya dengan wajah kikuk. "Ya, roti isi saja. Agar lebih cepat menyiapkannya," pintaku. Selagi menunggu, aku membuka ponsel. Membuka email dan aplikasi pesan singkat. Padahal itu hanya pengalihan. Karena sebenarnya aku sedang memikirkan percakapan Pak Dirga dan Lili tadi. "Pak Dirga, ingat enggak, waktu saya baru semingguan kerja di sini?" "Ini pernah terjadi. Tuan Arya bangun kesiangan, lalu wajah dan sikapnya tampak berbeda." "Sebenarnya, itu yang sedang aku pikirkan." Ah, itu pasti kejadian setahun lalu. Ketika aku melihat Dinda untuk yang pertama kalinya, setelah tujuh tahun berpisah. Waktu itu, hal seperti ini juga terjadi. Semalaman aku tidak bisa tidur, enggan bangun, dan rutinitasku sedikit berantakan. "Jangan-jangan, ini benar karena ... perempuan?" What?! Kenapa mereka bisa menyadarinya? Kupalingkan wajah, ke arah Lili yang sedang mengiris keju. Lalu Pak Dirga yang sedang menuangkan air panas ke dalam cangkir. Ya, selama ini mereka pasti mengawasiku. Apa lagi Pak Dirga yang memang bertugas untuk mengurusi semua kebutuhanku selama beberapa tahun ini. . Selama perjalanan menuju kantor, lagi-lagi aku memikirkannya. Kenapa bisa aku berubah hanya karena bertemu Dinda? Melihatnya selama beberapa detik, membuatku tidak bisa tidur semalaman. Lalu kemarin, aku kembali melihatnya. Kami juga saling bersitatap selama beberapa waktu. Hasilnya, aku tidak yakin sekarang bisa bekerja dengan fokus. Apalagi jika benar, dia adalah karyawan baru itu. "Silakan, Tuan." Pak Mali membuka pintu mobil. Aku terkesiap. "Terima kasih," sahutku. Kemudian turun, menapaki anak tangga menuju lobi. Security dan beberapa karyawan menyapa di pintu masuk. Kuanggukkan kepala seperti biasa. Kemarin, tidak seperti ini. Namun, hari ini terasa ada yang lain. Sepanjang langkah menuju lift, aku terus melirik ke kanan dan ke kiri. Takut jika seandainya ada Dinda di dekatku. Astaga, separah ini! Karyawan yang sedang menunggu, satu persatu menyingkir. Memberi tempat untukku menunggu paling depan. Ada dua lift yang berdampingan, dan keduanya terbuka secara bersamaan. Aku masuk ke dalam ruang di depanku. Sendiri. Sedangkan lift di sebelah, diisi oleh beberapa orang karyawan. Terdengar kericuhan, mungkin mereka berebut tempat. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Benarkah para karyawan itu enggan berdiri bersamaku dalam satu ruang? Pintu lift mulai menutup perlahan. Ketika itulah kulihat sosok yang sedang berlari. 'Ting' "Tunggu!" "Udah penuh. Giliran nanti aja!" "Yah, lama, dong!" "Udah, tutup cepetan!" Hampir pintu di depanku menutup. Kutekan tombol 'open'. Pintu pun terbuka lebar. Aku menatapnya yang sedang mematung. Mata itu mengedip, memalingkan wajah ke arah lain. Aku tetap menatapnya, menggerakkan sedikit kepala ke samping. Akhirnya dia mengembuskan napas, lalu .... Melangkahkan kaki, masuk ke dalam lift. Berdiri tak jauh dariku. "Selamat pagi, Pak Arya," sapanya. "Selamat pagi, Dinda," sapaku kembali. Hening. Kami terdiam, menatap pantulan bayangan di depan. "Maaf, saya tidak tau jika Bapak ... atasan di sini," ucapnya. "Tidak apa," sahutku. Kami terdiam kembali. Aku merutuk dalam hati, kenapa waktu terasa begitu lama berlalu? Lift berhenti di lantai tujuan. "Semoga betah. Mungkin kita akan sering bertemu," ucapku. Kulihat Dinda menoleh, tetap dari bayangan di depan. Pintu lift yang mulai terbuka, membuat pantulan itu hilang, berganti menjadi suasana perkantoran. Suara pertanda pintu terbuka penuh, bersamaan dengan langkah kakiku. "Pak Arya." Aku menoleh. "Ya?" "Terima kasih atas sambutannya," ucapnya diakhiri anggukan kepala. "Sama-sama." Kulanjutkan langkah menuju ruangan. Beberapa karyawan menatapku. Lalu merunduk ketika aku melewati mereka. "Selamat pagi, Pak ...." Kututup pintu tanpa memedulikan sapaan Gisela--sekretarisku. Kusimpan tas di atas meja. Mengempaskan tubuh di kursi kebesaranku dengan sekali hentak. Menengadahkan kepala, mengusap wajah kesal. Pagi macam apa ini?! Kenapa ... terasa asing saat bersamanya? Padahal, dulu kami pernah dekat, sangat dekat. Bahkan, aku sudah terbiasa memeluk dan menciumnya. Oh, God. Ini yang aku takutkan. Aku belum bisa move on darinya. ***** --bersambung--
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN