3. Big Boss

2893 Kata
"Kamu enggak apa-apa, 'kan?" "Enggak, ih. Cuma jatuh juga, masih bisa lari!" Lalu .... Bruk. "Aku bilang apa? Kamu ini ngeyel terus!" "Tapi ... itu ... angkotnya," rengekku, menahan perih di lutut. "Kamu ini, hobi banget ngejar angkot. Angkot masih banyak, Dinda." Arya menuntunku ke bangku halte. Aku duduk dengan wajah kesal. "Lagian kenapa Kakak masih di sini, sih? Kasian 'kan Pak Imran harus nungguin," gerutuku akhirnya. "Ya, salah kamu. Dianterin enggak mau." Arya membuka tutup botol minumnya, lalu menyiramkan air di dalamnya ke atas lututku. "Aku cuma minta Kakak pulang biar bisa cepet tidur! Kakak pasti cape abis kuliah sampai sore!" Arya tersenyum, sambil mengusap lututku dengan sapu tangan. "Kok, malah senyum-senyum?" Arya mendongkak, masih dengan senyum di wajahnya. "Aku suka lihat kamu marah-marah. Selama ini, enggak pernah ada yang marahin aku." Aku berdecih, memalingkan wajah dari tatapannya. Arya duduk di sampingku. "Jangan pernah sungkan untuk memarahiku. Aku suka." "Aneh," gumamku. "Dimarahin cewek keras kepala, pemberani, tapi ceroboh." Aku menoleh. "Itu unik." Arya tersenyum menatapku. Ketika melihat senyumnya itu lah, dadaku semakin berdebar kencang. Aku suka melihatnya tersenyum. *** "Arya." Tanpa sadar aku mengucap namanya. "Are you OK?" Aku mengerjap. "Enggak apa-apa. Maaf," sahutku, melepas diri dari sentuhannya. Aku gerakkan kaki, berusaha berdiri tegak. Sayangnya, rasa sakit kembali menahanku untuk melangkah. "Ke mana?" "Nunggu angkot," sahutku tak acuh. "Jangan terlalu sering mengejar angkot. Angkot ... masih banyak, Dinda." Aku menoleh ragu, tiga detik kemudian berpaling lagi. "Aku antar, mau?" "Enggak usah," sahutku cepat. Bersikeras untuk melangkah, menjauh darinya. Memang berhasil, aku bisa berjalan beberapa langkah. Namun, tak lama kemudian. "Ahh," lirihku, bersamaan dengan tubuh yang limbung. "Keras kepala." Tiba-tiba Arya membopong tubuhku. "Arya, turunin aku! Arya! Aku harus pergi! Arya ...!" Sayang, dia tak peduli. Arya mendudukkanku di jok mobil belakang. "Ke klinik terdekat, Pak!" perintah Arya setelah dia duduk di sampingku. "Arya, aku harus pergi ke ...." Kukatupkan bibir. Melihat raut wajahnya, dia pasti mengabaikan permintaanku. . Sepuluh menit lagi menuju jam sembilan, tapi aku masih duduk di atas ranjang pesakitan. Seorang suster tampak serius membalut pergelangan kakiku. "Kaki Ibu terkilir. Tidak terlalu parah, tapi kalau bisa jangan terlalu banyak bergerak dulu selama beberapa hari ke depan," ujarnya. Arya masih setia menemaniku. Dia pun mengucapkan terima kasih pada suster ketika berpamitan pergi. "High heels," gumamnya, setelah perempuan berseragam serba putih itu pergi. Kuikuti arah tatapannya. Rupanya dia melihat sepatuku. "Aku mau melamar kerja hari ini. Penampilanku harus bagus," tukasku, kemudian turun dari ranjang. Berjongkok untuk mengambil kitten heels hitam dengan hak lima centimeter itu, meski sedikit kesulitan karena kaki kiri yang cedera. "Di mana?" Aku tak menjawab. Lebih memilih memakai sepatu lebih dulu. "Aku pergi," pamitku. "Dinda." Aku berhenti untuk menoleh. "Sudah menikah?" sambungnya. Aku terdiam beberapa detik, menatap wajah angkuh dan dinginnya. "Terima kasih, sudah menolongku," ucapku. Kemudian benar-benar pergi tanpa ingin berhenti atau menoleh, kendati kakiku masih terasa sakit ketika kugerakkan untuk melangkah. Aku menahannya, sekuat tenaga. Karena ada rasa lain yang lebih sakit, yang harus aku tahan. Hatiku. . "Baru pulang?" Opi menyambutku di depan pintu dengan kening penuh lipatan. Mungkin merasa aneh karena melihatku pulang dengan naik ojeg online. Aku memberikan beberapa lembar uang sesuai tarif yang disepakati. Si abang ojol mengucapkan terima kasih, lalu pergi. Baru setelah itu aku masuk ke halaman rumah. "Lho, kaki kamu kenapa?!" pekik Opi menyadari cara jalanku yang pincang. "Tadi angkot yang aku naiki kecelakaan, nabrak motor. Kakiku terhimpit sama penumpang yang jatuh," terangku. Opi membantuku hingga duduk di sofa ruang tamu. "Astaga, Dinda. Lain kali pilih-pilih kalau naik angkot," ocehnya kesal. "Masih bagus supirnya tanggung jawab bawa kamu berobat, coba kalau enggak, mau gimana?" Aku diam, tak berniat menimpalinya. "Nah, 'kan. Apa aku bilang? Mending langganan ojeg aja. Lebih aman. Kalau udah celaka gini, mau salahin siapa coba?" Aku hanya tertawa melihatnya mengomel. "Anak-anak mana?" tanyaku demi menghentikan amukannya. "Lagi ke warung, aku suruh beli bumbu penyedap. Ada sayuran di kulkas, sayang kalau sampai busuk," terang Opi masih dengan mata yang terus menatap bagian bawah kakiku. "Terus gimana ngelamar kerjanya?" Tiba-tiba wajahnya terangkat. "Aku telat datang. Gagal," lirihku. Opi menepuk bahuku. "Ya, sudah. Mungkin emang belum rezeki. Aku buatin dulu minum biar kamu enakan." Dia berdiri kemudian pergi meninggalkanku. Aku mengembuskan napas. Menyandarkan punggung. Masih belum mengerti dengan apa yang terjadi hari ini. . "Jadi Bunda harus istirahat dulu?" "Iya. Bunda enggak boleh ke mana-mana dulu kalau mau kakinya sembuh," sahutku. Fia membaringkan tubuh di sampingku. Menatap langit-langit kamar. Sebenarnya kamar kami terpisah, hanya saja jika salah satu di antara kami sakit, anak itu selalu meminta tidur bersama. "Beneran kata Tante Opi, Bunda ... enggak keterima kerja?" Fia bertanya sambil menoleh. Aku mengangguk. Fia berpaling dariku, menatap langit-langit kamar lagi. "Kenapa?" Aku bertanya karena merasa penasaran. Anak itu menoleh ragu, tapi berpaling kembali dari tatapanku. "Fia," panggilku. "Enggak, kok," sahutnya pelan. Aku hanya mengembuskan napas melihat tingkahnya. Fia memang seperti ini, agak tertutup. "Udah malem. Tidur, ya." Kuusap kepalanya. "Iya." Aku pun merebahkan punggung dan kepala. Berusaha memejamkan mata. Namun, ternyata bayang-bayang itu muncul lagi. Seraut wajah, yang pernah menarikku ke masa terindah dalam hidup. Arya. Ah, kenapa harus bertemu dia setelah bertahun-tahun tinggal di Jakarta? Kabar terakhir yang kudengar, bukankah dia tinggal di Amerika bersama ibunya? Karena alasan itulah, aku kembali ke Jakarta setelah lima tahun tinggal di kota Bandung. Nyatanya, takdir malah mempertemukan kami lagi. *** Setelah seminggu beristirahat, aku mencari lagi lowongan dari internet. Sayang, selama hampir dua jam berkutat dengan laptop, tidak ada pekerjaan yang menarik minatku. Kusandarkan punggung, mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Seandainya minggu lalu aku tidak terlambat datang, atau mungkin angkutan umum yang aku naiki tidak mengalami kecelakaan. Pasti sekarang aku ... ah, tidak. Mungkin memang harus seperti itu caranya aku bertemu dia. Arya. Kenapa harus seperti itu? Bertemu dengannya, dalam keadaan yang tidak nyaman? Apa itu takdir? Itu, mengingatkanku pada pertemuan pertama kami. Tiga belas tahun lalu. Pagi itu, hari pertamaku untuk melaksanakan masa orientasi siswa. Karena sudah hampir sebulan tinggal di Jakarta, aku tidak merasa canggung lagi untuk berangkat ke sekolah. Aku keluar dari rumah kontrakan. Karena letaknya yang berada di dalam gang, aku harus berjalan beberapa meter agar bisa sampai di jalan raya. Tampak angkutan umum berhenti di tepian trotoar ketika aku baru keluar dari gang. Sayang, angkot itu malah melaju sebelum aku naik. "Bang!" panggilku. Bruk. "Aduh." Aku meringis memegang lutut. Tiiin! Aku berdiri segera. "Maaf, Pak." Kuanggukkan kepala pada sang supir. Lalu naik ke atas trotoar lagi. "Kamu baik-baik aja?" Aku menoleh. Seorang lelaki remaja di dalam mobil, menatapku dengan tatapan dingin dari kaca jendela. "Enggak apa-apa. Aku masih bisa jalan," jawabku ketus. "Lain kali hati-hati kalau mau naik angkot. Ini jalan raya," tukasnya. Aku memalingkan wajah. "Jalan, Pak!" Terdengar seruannya. Syukurlah. Mobil itu sudah pergi. Tak lama ada angkutan umum yang datang kembali. Segera aku hentikan. Beruntung penumpangnya tidak penuh. Aku pun bisa duduk dengan nyaman. Sayangnya, sepanjang jalan, rasa kesal terus menggelayut. "Apa cowok Jakarta emang judes, gitu?" gerutuku sebal. . Semua siswa baru berkumpul di aula secara berkelompok menurut kelasnya masing-masing. Meski begitu, aku belum memiliki teman. Karena satu-satunya dari Bandung, itu membuatku tidak mengenal siapa pun. "Hei, dari SMP mana?" Aku menoleh ke samping. "SMP 9," sahutku. "Jakarta mana?" Keningnya mengkerut. "Bandung." "Wah, kamu dari Bandung?" Aku mengangguk. "Aku Alisha." Tanpa diduga dia mengulurkan tangannya. "Dinda." Kubalas menjabatnya. "Nanti kita duduk sebangku aja," ucap gadis berkaca mata itu. "Boleh." Aku mengangguk semringah. "Halo, semua. Selamat pagi. Berhubung ini hari pertama kalian di SMA 49. Untuk itu, kami ingin kalian semua mengetahui seluk beluk juga semua cerita tentang sekolah tercinta kita ini. Mari kita mulai dengan berkeliling, melihat satu persatu gedung di sekolah kita," ucap salah seorang kakak kelas perempuan. "Baik, Kak!" Kami menjawab serempak. Kami pun berjalan beriringan, melihat laboratorium, perpustakaan, ruang UKS juga lapang sekolah. Ketika berjalan di sekitar lapangan, tatapanku terpaku pada satu sudut. Seorang lelaki yang sedang berdiri memegang bola basket. Dia ... di sini? "Ini lapangan basket ya, adek-adek. Nanti kalau kalian mau ikut eskul basket, bisa menghubungi kaptennya. Itu kaptennya, yang lagi pegang bola," terang seorang kakak, kali ini laki-laki. Aku ikut menoleh kembali. "Namanya Kak Arya. Ganteng, ya?" Seorang kakak perempuan memujinya. Terdengar gelak tawa bersahutan. Aku pun ikut menatapnya. Jadi namanya Arya. "Cowok sombong," umpatku tanpa sadar. "Siapa?" Alisha bertanya. "Eh, enggak. Itu ... nanti kayaknya aku mau ikut basket." "Basket?" Alisha membenarkan letak kaca matanya. "Eh, tapi, denger-denger kaptennya itu galak. Sombong juga," bisik Alisha. "Tau dari mana?" "Kakak sepupu aku. Dia 'kan kelas dua belas juga." Alisha berbicara sambil menatap Arya dengan ekspresi tak suka. "Ayo, jalan lagi," ajaknya. Aku mengangguk. Kemudian ikut berjalan lagi bersama yang lain. Itulah hari pertama aku melihat Arya. Lelaki yang selalu aku percaya sebagai lekaki sombong dan angkuh. Tanpa aku tahu, bahwa takdir justru malah membawaku semakin dekat padanya. . "Ah, Dinda. Sadar. Itu cuma masa lalu," gumamku. Kututup laptop, lelah rasanya walau pun hanya duduk di sofa. Kurebahkan tubuh, meraih ponsel. Membuka aplikasi sosial media. Berusaha mencari hiburan dan mengalihkan pikiran. Ah, tidak bisa. Kenapa aku terus teringat Arya? Sudahlah, Dinda. Lupakan. Kejadian kemarin itu, hanya kebetulan. Lagi pula sudah seminggu berlalu, dan aku belum bertemu lagi dengannya. Atau mungkin, tidak akan bertemu lagi. Hanya saja, bayangan ketika dia membopong tubuhku selalu terlintas di benak. Kenapa harus seperti itu, Arya? *** Aku berdiri ketika melihat Fia berjalan menghampiri. "Mana Khanza?" "Masih piket," sahut Fia. "Mm, ya udah, kita tunggu di sini." Aku duduk kembali. "Fia, Lili di mana?" Aku menoleh. Seorang ibu berdiri tak jauh dari kami. "Masih piket, Tante," jawab Fia. "Ah, piket. Kalau gitu Tante ikut duduk di sini boleh?" "Boleh, Tante." Fia pun duduk di sampingku. "Ini siapa?" "Oh, saya Dinda. Bundanya Fia," sahutku. "Bundanya Fia? Ah, iya. Saya ingat. Lili pernah cerita tentang Mbak Dinda." "Oya?" Ibu itu tak menjawab, malah membuka tas mahalnya. "Ini, kartu nama suami saya. Barangkali ada lowongan di sana." Aku menerimanya walau masih diliputi kebingungan. "Terima kasih." "Sama-sama." Tak lama, Khanza dan Lili datang menghampiri. Kami pun saling berpamitan untuk pulang. . "Cerita apa sama Lili?" Kusimpan kartu nama dari mamanya Lili di atas meja. Fia merunduk, memainkan pensil di atas bukunya. "Fia, lihat Bunda!" "Maaf," lirihnya. "Fia cuma cerita, kalau Bunda lagi cari kerja. Mungkin, Lili cerita sama papi maminya." Aku mendesah. "Kenapa harus cerita sama Lili?" "Lili sahabat aku, sama kayak Khanza." Aku duduk dengan kesal, Fia sampai terkejut karena kursi yang bergerak dan menimbulkan suara keras. Hening. Hingga akhirnya terdengar suara tangisan anak itu. "Maafin, Fia," ucapnya. Lalu bangkit dari duduknya, membawa semua alat tulis, masuk ke kamarnya. Jika sudah begini, sifat cengengnya yang muncul. Kuraih kertas persegi kecil itu. Tercetak jelas nama si pemilik kartu nama, Ir. Indra Santoso. Ada nama perusahaan, juga nomor telepon. Apa aku harus datang ke kantornya, atau meneleponnya? Aneh rasanya jika aku melakukan itu. Aku bahkan tidak kenal siapa itu Pak Indra. *** Pagi. Aku selesai menyiapkan sarapan. Kuketuk pintu kamar Fia, sehabis mandi dia belum keluar lagi. "Fia, sarapan dulu." Tak ada sahutan seperti biasa, tapi pintu kamar yang langsung terbuka. Fia keluar dengan kepala tertunduk. Ah, sudahlah. Mungkin dia masih marah. Kami pun sarapan bersama, dalam keadaan sepi. Hanya ada suara sendok dan piring beradu, tanpa celotehnya tentang kelakuan teman, guru atau kakak kelasnya. "Fia berangkat dulu," ucapnya, keluar dari kursi lalu meraih tasnya. "Tungguin Bunda di depan," perintahku. Tak ada sahutan. Aku mencuci tangan setelah membereskan piring kotor ke dalam wastafel. Kemudian berjalan ke teras depan. "Fia," panggilku. Tidak ada. Ke mana dia? Aku masuk kembali ke dalam rumah, mengambil ponsel di atas meja makan. "Halo, Pi," sapaku segera setelah sambungan dijawab. "Apa, Din?" "Fia ke situ?" "Enggak. Aku ini lagi anterin Khanza ... eh, bentar. Itu Fia, 'kan?" "Iya, Ma." Terdengar sahutan Khanza. "Iya, Din. Fia udah sampai di sekolah. Emangnya ... dia berangkat sendiri?" "Mm, nanti aja aku ceritain," pungkasku. "Oh, ya udah. Ini aku juga udah mau pulang." "Ya." Akhirnya kututup sambungan. "Fia," gumamku sedikit kesal. Tak ingin terlarut memikirkannya, kuputuskan untuk membereskan kamar tidur Fia. Kubuka pintu kamar bernuasa ungu itu. Fia memang suka sekali warna ungu. Sprei, lemari, meja belajar dan kain gorden pun berwarna serupa. Sebuah benda terjatuh ketika kutarik selimut. Pigura? Aku meraih, memutar bagian depannya. Ternyata, gambar Kak Nadia. Hm, Fia pasti tidur memeluk foto ibunya. Selalu seperti itu jika sedang bersedih. Persis sepertiku ketika kecil, yang selalu memeluk foto ayah ibu jika sedang memiliki masalah. . "PR apa?" Aku duduk di atas kasur. Fia tak menjawab. "Tumben enggak ngerjain PR di meja makan?" Dia masih diam. "Fia marah sama Bunda?" Kali ini dia menggelengkan kepala. "Emang, kamu cerita apa sih, sama Lili?" Fia menoleh, tapi hanya dua detik. "Fia." "Fia cuma bilang ... Fia sedih lihat Bunda cari kerja. Bunda pasti kesusahan," ujarnya pelan. Aku berdiri, mengusap pundaknya. "Itu udah kewajiban Bunda." "Bunda kerja ... karena Fia," lirihnya. "Ya, Bunda 'kan juga butuh kerja buat hidup Bunda." "Lili bilang, kalau Bunda punya suami, enggak perlu kerja. Nanti sama kayak maminya, atau Tante Opi. Bisa di rumah seharian." Entah kenapa, mataku tiba-tiba menghangat. Aku pun memalingkan wajah ke arah lain. "Bunda tidur dulu," pamitku. Kemudian keluar dari kamarnya. Kubaringkan tubuh, dengan pikiran semrawut. Suami? Kenapa bisa anak sekecil itu, sudah memikirkan suami untukku? *** Fia menatapku. Melihat dari atas ke bawah. "Bunda mau cobain ke kantor papinya Lili," ujarku. "Oya?" "Iya." Fia tersenyum. Aku pun membungkukkan badan agar sejajar dengannya. "Fia mau dengerin Bunda?" Sebuah anggukan dia berikan. "Fia belajar yang rajin, ya. Jangan terlalu mikirin yang lain. Bunda mau, Mama Nadia bangga lihat putrinya tumbuh dengan baik." Kedua bola mata bening itu berkaca-kaca, kemudian mengangguk. "Iya." Kuraih tubuhnya, memeluk dengan penuh kehangatan. Kurasa, saran dari Opi benar. Aku harus berbicara baik-baik pada Fia, lalu melamar ke perusahaan itu. "Siapa tau ada rezeki kamu di situ," tukas Opi kemarin sore. . "Jadi, Mbak Dinda ini kuliah disain interior?" "Iya, Pak. Selepas SMA saya kuliah, tapi karena beberapa kendala, saya sempat mengambil cuti. Walau begitu saya mencoba bekerja secara freelancer. Hingga akhirnya saya bisa melanjutkan kuliah kembali. Sayangnya, ketika melamar di sebuah perusahaan, saya malah ditempatkan di bagian pemasaran." "Apa itu nyaman? Bekerja tidak sesuai dengan bakat dan minat." Aku tersenyum. "Itulah yang membuat saya berhenti." "Ya, saya pernah mengalaminya sebelum bekerja di sini. Baiklah, Mbak Dinda silakan tunggu. Saya akan memberikan contoh di sain ini ke atasan saya. Kebetulan perusahaan kami akan menangani proyek sebuah apartemen dengan fasilitas interior lengkap." "Ya, baik." Pak Indra pun keluar dari ruangan. Aku melayangkan pandangan ke seisi ruang. Ada beberapa meja dengan para karyawan yang sibuk bekerja. Kualihkan ke arah meja Pak Indra, tertulis nama beserta jabatannya sebagai Kepala Divisi Perencanaan Kontruksi. Jika aku benar-benar diterima sebagai salah satu tim disain interior, ini akan menjadi sebuah kebanggaan untukku. Semoga. Cukup lama menunggu. Sekitar lima belas menit, Pak Indra sudah duduk kembali di tempatnya. "Selamat, Anda diterima," ucapnya. "Hanya saja, Mbak Dinda harus melewati masa percobaan dulu. Pihak kantor akan melihat bagaimana kinerja Anda selama masa percobaan. Jika hasil kerja Mbak Dinda bagus, bisa diangkat menjadi karyawan sekaligus disain interior untuk proyek kami." "Baik. Saya mengerti." "Baiklah. Hari ini kalau mau, Mbak Dinda boleh langsung masuk. Sebagai perkenalan," ujar Pak Indra lagi. "Terima kasih banyak," ucapku semringah. "Yuni!" Pak Indra memanggil salah satu karyawan. "Iya, Pak." Tak lama kemudian perempuan seumuranku itu berdiri di sampingku. "Ini Dinda, anak baru di tim kita. Ajak dia ke mejanya, di sebelahmu," perintah Pak Indra. "Baik, Pak. Ayo, Dinda!" ajak Yuni. . Matahari sore mulai mengeluarkan bias jingganya. Terasa berbeda dari jendela belakang meja, tempat kerja baruku. "Ayo!" Yuni menepuk pundakku. "Yuk!" sahutku. Aku dan Yuni berjalan menyusuri koridor kantor, sambil berbincang-bincang santai. "Jadi, gimana nih, hari pertama kerja?" Yuni bertanya. "Kayaknya bakalan betah," sahutku. "Aamiin," sahut Yuni. Kami dan beberapa karyawan berdiri di depan lift yang pintunya masih menutup. Selagi menunggu, aku merogoh ponsel dalam tas. Terlupa belum mengeceknya sejak tadi pagi. Tiba-tiba suasana terasa hening ketika aku sedang fokus membuka aplikasi w******p. Ada apa? Padahal tadi sedikit ricuh. "Din, sini," ajak Yuni sambil menarik ujung blezerku. "Kenapa?" tanyaku tak acuh. "Big boss dateng," bisiknya. Aku pun menurut, melangkah ke samping. Pintu lift terbuka. Segera kulangkahkan kaki untuk masuk. "Eh, nanti," cegah Yuni menahan lenganku. "Kenapa?" Yuni menggerakkan bola mata. Aku pun melirik. Dari ekor mata, bisa kulihat seorang lelaki berpakaian perlente berjalan masuk ke dalam lift. "Kok, dia dulu? Kita udah nungguin--" "Hust." Yuni memberi isyarat untuk diam. Aku berdecak sebal. Kupalingkan kembali wajah ke arah depan. Lelaki dengan setelan jas biru tua itu sudah berdiri di dalam ruang lift dengan posisi membelakangi pintu, lalu dia berputar. Demi Tuhan. Hampir saja kedua mataku ini melompat dari tempatnya, ketika melihat wajah angkuh itu. "Belum ada karyawan yang berani satu lift sama Pak Arya," bisik Yuni. Aku mendengarnya, juga suara Yuni yang memberitahukan siapa dia beberapa waktu lalu pun ikut terngiang. 'Big boss dateng.' Big ... boss? Pak Arya? Astaga! Mataku pun enggan berkedip melihatnya. Hingga akhirnya pintu lift bergerak, menutup secara perlahan. Saat itulah kedua bola matanya bergerak ke arahku. Detik kemudian, pandangan kami terputus oleh suara 'ting'. "Namanya ... Arya?" Aku menoleh ke arah Yuni. "Iya. CEO perusahaan ini," sahut Yuni. Seketika pikiranku melayang pada kartu nama Pak Indra. Bima Anggarajaya Grup. Deg! Lalu, nama perusahaan di lobby kantor. Logo BA dan nama singkatannya. Bima Anggarajaya? Arya ... Bima Anggarajaya. Ya Tuhan. Ternyata ... kejadiannya sama, seperti tiga belas tahun lalu. Sepertinya, lagi-lagi aku harus bertemu Arya setiap hari, di tempat yang sama. ***** --bersambung--
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN