Moment

2285 Kata
“Aku sudah membayarmu mahal untuk ini. Tapi apa yang terjadi sekarang? Bisa kupercaya bahwa kalian sudah membuat kesalahan yang fatal!” gertak nyonya Anastasya yang langsung masuk tanpa ketukan pintu. Perempuan itu memang sudah berada pada titik segusar itu. sebagai pihak yang paling merasa dirugikan disini dia merasa bahwa complain perlu diutarakan. Terlebih uang muka dan uang pelunasannya sudah dibayarkan diawal. Ini jelas-jelas beban suntuk bagi dirinya. Nyonya Laura yang dituduh sebagai biang kerok yang tidak becus untuk mengeksekusi perkara ini dipandang dengan penuh kebencian oleh sang nyonya. Sementara Nyonya Geandra sendiri berusaha untuk menertralisir dirinya dari kemarahan. Dia berusaha untuk tenang ditempat ini. paling tidak menjadi penengah. Meski jujur dirinya juga merasa kecewa. Bagaimana pun juga inti dari perjodohan ini adalah selain merasa bahwa anak mereka cocok, juga sebagai bagian dari cara yang mereka tempuh untuk memperluas bisnis. Hal seperti ini sudah lumrah pada kalangan orang berada. “Awalnya aku berharap akan mendapatkan sesuatu yang menguntungkan dari perjanjian ini. Untuk menjauhkan Dira dari perempuan kampungan yang gatal padanya. Tapi siapa sangka disini aku malah menjadi mertua dari gadis yang bahkan tidak aku kenal seluk beluk keluarganya seperti apa.” Seru Nyonya Geandra akhirnya buka suara atas prahara ini. “Kenapa kau tidak becus membereskan masalah semudah ini? katamu kau ahli soal ini!” balas Nyonya Anastasya lagi. Nyonya Laura yang menjadi pihak paling kecil diantara mereka berdua hanya bisa menghela napas, menghaturkan maaf juga sepertinya tidak akan memperbaiki apa yang sudah terjadi disini. sebisa mungkin dia memutar otaknya untuk tidak memperumit keadaan. Atau paling tidak keluar dari situasi ini pelan-pelan tanpa perlu dilibatkan apalagi ganti rugi atas uang yang sudah dia klaim dari Nyonya Anastasya. Masalahnya mereka sudah terlanjur dinikahkan. Dan ada hukum yang mengatur ketat soal itu. bahwa seorang pria dan wanita hanya boleh menikah satu kali seumur hidup mereka. Mengurus perceraian bukanlah hal mudah ditempat ini. “Saya mengira bahwa pemuda berambut pirang itu adalah putra anda Nyonya Geandra,” akunya. Nyonya Geandra menghela napas mendengar kebodohan yang diungkapkan oleh sang pemilik hotel dengan seterang-terangan ini. sementara Nyonya Anastasya hanya memegangi kepalanya yang mendadak terasa berat dan mau pecah. “Dira memang bukan putra kandungku, tapi setidaknya bila kau tidak tahu kau perlu mengkonfirmasi kami. Bukannya mengambil keputusan sepihak!” imbuh Nyonya Geandra. Perempuan itu tidak terlalu fokus pada gadis yang ditunjuk oleh putra sambungnya. Tapi yang jelas bukannya menyelesaikan masalah lama, justru menambah beban baru. Dia sama sekali tidak ada bayangan mengenai latar belakang gadis itu. apalagi keluarganya. Apa dia dari keluarga baik-baik? Apa cukup kaya? Apa dia sepadan mendampingi putranya? Sesuatu seperti itu benar-benar menganggu dirinya. “Bagaimana kau akan bertanggung jawab soal ini?!” Nyonya Anastasya sekali lagi menyemburkan amarahnya. Tapi yang Nyonya Laura dapat lakukan hanya memohon ampunan. Perempuan itu bahkan tidak segan untuk menundukan dirinya hingga bersujud bila perlu. Namun semua hal itu tetap tidak cukup untuk meredakan amarah kedua nyonya yang merasa terhianati. Mereka melenggang tanpa mengatakan apapun. membanting pintu keras sebelum pergi. Meski begitu Nyonya Laura menarik sebuah senyum simpul. Dia merasa puas meskipun harga dirinya diinjak oleh mereka berdua. Dia tidak peduli yang penting uang disakunya tidak diambil kembali. “Masalah sudah terselesaikan,” ujarnya sambil bangkit berdiri. Dan kembali duduk pada tempatnya. *** “Cepat berkemas!” seru Nyonya Anastasya buru-buru. Wanita itu menarik lengan putrinya dengan kencang dan kasar. Sepertinya kemarahannya belum mereda bahkan lebih parah. “Kenapa Ma?” Aku bisa melihat Adelia yang diseret paksa sementara dirinya sendiri berusaha untuk lepas dari cengkraman sang Mama yang sekarang lebih mirip singa betina liar ketimbang manusia. “Kita harus segera menyelesaikan masalah ini!” “Tapi aku sedang liburan Ma,” “Itu bisa dilakukan kalau masalahmu cepat diselesaikan,” matanya lalu melirik kearah si bocah pirang yang merupakan menantu sungguhannya. Matanya sekali lagi berkilat meneliti. “Aku perlu menghubungi orangtuamu, kita perlu membicarakan persoalan ini secepatnya. Aku tidak mau menundanya,” imbuh Nyonya Anastasya yang membuat suasana jadi kembali menegang. “Hal itu juga berlaku untukmu Dira, aku perlu berkomunikasi dengan orangtua gadis itu untuk membereskan kesalahan ini,” ujar Nyonya Geandra yang nada suaranya ikut menegas. Sambil menatap kearahku dengan tatapan mata yang sedikit sinis. Meski awalnya aku berpikir bahwa dia orang yang bijaksana. Kurasa aku terlalu cepat menilai. Karena jelas saat ini aku sedang direndahkan olehnya. “Untuk apa? Aku tidak masalah dengan ini. lagipula apa maksudnya kesalahan?” ujaran dari Dira membuat semua orang menatap kearahnya termasuk aku yang sedari tadi tidak ikut campur dalam masalah dua keluarga. Aku dan Farell adalah dua orang asing disini. kami adalah seorang figuran dan aku cukup tahu diri untuk tidak ikut berkomentar mengenai setiap adegan yang terjadi didepan mataku saat ini. “Bukannya kau bilang bahwa kalian tidak sengaja menikah?” “Aku memang bilang begitu tapi aku tidak pernah bilang bahwa pernikahan antara aku dengan Reca adalah sebuah kesalahan,” aku menatap pemuda itu lekat-lekat untuk mencari barangkali ada sebuah kebohongan yang terselip dari setiap ucapannya maupun dari ekspresinya. Namun sekeras apapun aku mencoba dia memang tidak sedang berdusta. Aku terharu untuk upayanya tapi aku tidak suka dengan caranya. “Maaf Nyonya, saya tidak pernah berniat mengambil putra anda atau bahkan menjadikannya milik saya. Disini kami berempat adalah korban. Kami tidak tahu apa yang terjadi, sampai kemudian kami sadar telah dipersatukan satu sama lain tanpa mengetahui pasti kronologinya. Kami dijebak,” ujarku membuat suasana disini kembali dingin. Semua orang nampaknya terpana atas diriku yang mencoba untuk mengungkapkan sesuatu yang sedari tadi aku genggam sendiri. Intinya meskipun aku memang tidak selevel dari segi financial dengan Dira putranya. Aku tidak bisa diam saja saat aku merasa diriku direndahkan. Dan karena itulah aku merasa perlu melawan sesuatu yang memang adalah hakku sendiri. “Oh jadi kau tetap ingin bersama putraku meskipun kau hanyalah seorang gadis miskin tidak tahu malu yang menganggap dirimu sepadan untuknya?” aku tidak langsung menyambar ucapan Nyonya Geandra. Kuberi wanita itu senyuman milikku sebelum kemudian aku membalik tanganku kearahnya. Postur tubuh meminta. “Apa anda bisa memberi saya uang sekarang? Saya mungkin akan mempertimbangkan untuk menerima penghinaan anda bila jumlahnya sepadan dengan kata-kata yang anda lontarkan,” “Selain miskin kau juga p*****r! Bisa bisanya kau meminta uang padaku!” kali ini seluruh atensi mengarah pada kami, aku juga melupakan kehadiran semua orang diruangan ini. fokusku terarah pada si nyonya muda yang kini memperlihatkan taringnya. “Nyonya, putra anda telah merenggut apa yang saya jaga seumur hidup saya. Dan anda saat ini sedang berupaya untuk menjauhkannya dari pertanggung jawaban yang semestinya dia tanggung atas tindakannya. Jadi bukankah wajar bagi saya untuk meminta kesediaan anda mewakilkan putra anda atas insiden yang tidak kami duga?” sebelah tangan melayang dan mungkin akan terdampar dipipiku. Menampar adalah senjata yang biasa para wanita kaya lakukan untuk meluapkan emosi mereka. Kenapa pula dia harus terpancing? “Perempuan ini—” “Nyonya Geandra, aku rasa pembicaraanmu dengan Reca harus disudahi sekarang juga, bukannya kau orang yang bermartabat?” aku memberanikan diri untuk melirik adegan apa yang terhenti. Rasa perih, atau sakit tidak kunjung kurasakan. Dan setelah aku membuka mataku, terkonfirmasi sudah bahwa Dira menghentikan amukan ibunya kepadaku. Namun satu hal yang tidak aku mengerti adalah mengapa pemuda itu justru memegang tanganku alih-alih membawa ibunya pergi? Kenapa dia justru malah memilih membawa perempuan asing sepertiku untuk menjauh dari lokasi ? “Kenapa kau membawaku?” tanyaku ketika Dira membawaku cukup jauh. Pria itu tidak berkata apa-apa. Dia hanya melepaskan genggaman tangannya dariku lalu berdiri menghadapku yang balas menatapnya. Sedikit sengit. “Karena kau tidak pantas mendapatkan perlakuan seperti itu,” ujarnya terdengar pilu. Seolah aku adalah seorang dengan serba kurang dalam hidup yang pantas untuk dikasihani. “Hal seperti itu sudah sering terjadi, dan tidak heran akan terus berulang. Itu bukan apa-apa,” ujarku santai. Pria itu malah menatapku dengan tatapan yang berbeda sekali lagi. “Dia bukan ibu kandungku,” jelasnya tegas. Aku memahami dengan cepat. meskipun tidak relevan dengan pembicaraan kami, aku memahami alasan mengapa dia menyebut Nyonya Geandra alih-alih sebutan ibu. Tapi itu bukan perkara yang masuk dalam urusanku. Aku tidak peduli soal kehidupan pribadinya dan hal-hal lainnya. “Aku tidak butuh penjelasan itu,” “Aku akan bertanggung jawab,” sejujurnya daripada mendapatkan pertanggung jawaban darinya. aku lebih suka dia pergi dan menghilang, namun memberiku setumpuk uang. Dengan begitu segala permasalahan lebih mudah diselesaikan. Tapi yang aku inginkan malah semakin jauh dari realita yang ada. Pria ini selalu mengambil jalan yang berkebalikan. “Dan membuatku dalam masalah?” aku tahu bahwa ungkapan ini sangat egois. Tapi dari sudut pandangku apapun yang aku lakukan nantinya bila aku terjebak bersama pria ini maka semuanya akan jadi serba masalah. Sudah jelas Nyonya Geandra tidak menyukaiku, sudah jelas bahwa aku dan dia tidak sederajat. “Aku tidak akan membuatmu dalam masalah,” ujarnya. “Tapi sikapmulah yang adalah sumber masalah,” balasku lagi. “Kenapa kau menolak kebaikan yang aku tawarkan?” “Akan lebih mudah bagi kita bila tidak saling terlibat. Anggap saja tidak ada yang terjadi diantara kita, kalau kau mau bertanggung jawab kirim saja aku uang. aku akan tinggalkan nomor rekeningku bila kau merasa kasihan padaku,” ujarku mengambil notes hotel dan menuliskan nomor rekening bank ku padanya sebelum aku berlalu pergi. Pria itu membiarkanku berlalu, tanpa sepatah katapun. Ini benar-benar liburan yang paling buruk. *** Tok. Tok. Aku mengetuk pintu dengan barang pribadiku yang tak seberapa banyak. Setelah kejadian di Aruba yang bagiku seperti mimpi aku memutuskan untuk kembali daripada tetap bertahan ditemapat ini. ada indikasi yang membuatku melakukan keputusan ini. sebab aku yakin Nyonya Geandra akan melakukan apa saja bila aku tidak segera minggat. Liburanku berakhir dengan cara yang tidak menyenangkan. Bukannya mendapatkan kesegaran aku justru malah tersandung masalah pelik yang membuatku merasa harus kabur secepatnya. “Loh… ada apa ini Reca? Kenapa kau membawa barang-barangmu?” beliau adalah Nyonya Rebeca. Seorang janda yang merupakan ibu kost yang mau menampungku meski aku membayar sewanya dengan harga termurah. Dia terlihat bertanya-tanya saat aku bertamu dengan kondisi ini. “Mau masuk dulu ?” tawarnya lagi ketika aku tak kunjung menjawab ujarannya. Aku lupa menyiapkan dialog terbaik untuk moment ini. pada akhirnya aku menatap Nyonya Rebeca sedikit lebih dalam. Lalu tanpa permisi aku maju selangkah dan memeluk beliau.   “Loh kenapa Reca? Apa yang terjadi? Kau dipecat dari tempat kerjamu?” ujar beliau lagi bahkan suaranya menyiratkan kekhawatiran yang tulus. Membuatku semakin berat untuk pergi. “Tidak nyonya Rebeca. Saya hanya ingin berterimakasih kepada anda mau menampung saya untuk tinggal disini. sekaligus mengucapkan selamat tinggal.” Jelasku. Nyonya Rebeca tidak menyahutiku. Aku justru malah merasakan adanya sapuan ringan dipunggungku. Dia benar-benar figure seorang ibu dimataku. “Hati-hati ya jaga dirimu baik-baik. Kalau kangen aku akan mengunjungimu kapan-kapan,” bisiknya membuatku makin mengeratkan pelukanku padanya. “Terimakasih Nyonya,” “Tapi kenapa tiba-tiba?” “Saya hanya merasa kangen rumah. Dan orangtua saya juga menyuruh saya pulang,” ujarku. “Aku senang akhirnya kau terbuka lagi pada mereka. Kau tahu tidak baik untuk terus keras kepala. Keluarga adalah hal yang penting. Aku bersyukur sekali. Lain kali biarkan aku bicara dengan orangtuamu ya” “Tentu nanti aku akan sampaikan. Kalau begitu aku berangkat ya Nyonya,” “Kabari aku kalau kau sudah sampai dirumah orangtuamu ya, Reca,” “Oh ya bila kedepannya ada yang bertanya saya kemana tolong jangan katakan apapun. saya mohon tolong rahasiakanlah,” “Tentu,” *** “Reca! Bukannya ibu sudah bilang untuk bersihkan kamarmu dulu! Itu sudah lama tidak ditempati bisa-bisa kau tidur ditempat yang berdebu!” Inilah yang kerap kali membuatku malas untuk pulang. Suara Ibu yang lebih mirip toa benar-benar menganggu ketentraman batinku. Hari-hari seperti ini memang sudah kebal aku lakoni, karena Adelia juga punya perangai yang sama dengan ibuku, meski suaranya tidak semelengking beliau. Sreett “A-aduhhh… Ibu—” “Siapa suruh kau rebahan hah? anak gadis tapi kelakuannya benar-benar pemalas! Bereskan dulu kamarnya baru kau tidur. Apa telingamu itu Cuma pajangan saja HAH?!” perintahnya lagi sambil menjewer kupingku. Aku tidak mengerti sama sekali bisa-bisa nya Ayah jatuh cinta pada ibu yang super cerewet begini. Dan ketika kulirik beliau hanya tersenyum simpul lalu kembali asyik dengan kebun kami. “Iya Bu tapi lepas dulu jeweran Ibu, sakit !” “Bagaimana kalau mertuamu tahu kalau kau sepemalas ini haduh… aku yakin dia akan menyalahkan aku karena tidak bisa mendidikmu, haduh.. haduhhh…” keluhnya lagi. Dia tidak tahu saja kalau putrinya ini sudah menikah. Bahkan sudah dibenci mertua, meski alasannya bukan karena pemalas. “Ibu kan biasa ada dirumah kenapa tahu aku pulang tidak dibereskan?” “Kau tahu kan kalau ibu banyak pekerjaan! Cepat bereskan sendiri lagipula itu kamarmu kan? Sudah tahu kita cukup sibuk tiba-tiba kau malah pulang, aneh sekali.” “Pulang kerumah malah kena omel…” gerutuku. “Aku dengar itu!” ujar Ibu sekali lagi dari ujung ruangan yang berbeda memancarkan aura horror yang mencekam. Itu benar selepas berpamitan dengan Nyonya Rebeca aku langsung menggunakan jasa bus untuk mengantarkan perjalananku. Hanya butuh waktu sekitar tiga jam saja aku sudah tiba dirumah kecil tempat aku dibesarkan. Dan selama aku tinggal di kota, tidak ada banyak yang berubah ditempat ini. Sambutan dari ayah membuatku sumringah tapi omelan ibu membuatku lelah bahkan rasanya lebih lelah ketimbang mengerjakan pekerjaan part time dengan double shift. Keluarga kami memang bukan dari kalangan super miskin. Tapi aku juga bukan berada dalam kalangan orang kaya layaknya Adelia yang punya ayah dan ibu jutawan. Keluargaku berada dalam taraf menengah, tapi hobbyku adalah uang meskipun ayah dan juga Ibu sangat menjunjung kesederhanaan. Aku melirik kearah jam dinding di kamarku, rasa malas terlalu kental untuk bisa diabaikan. Dan tubuhku juga rasanya pegal-pegal. Aku baru sadar bahwa aku baru menghabiskan waktu satu jam dirumah orangtuaku. Dan tidur mungkin jadi solusi yang tepat untuk kondisiku.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN