“Miss Laura kau sudah melakukan apa yang aku minta pada putriku?” suara dari sambungan telepon di terima oleh Laura. Laura adalah seorang pemilik dari hotel yang menjadi tempat bagi Adelia dan juga Dira dijodohkan secara tidak sengaja atau mungkin secara paksa. Setelah Menyusun skenario dan berkomiten antara dua pihak yang terlibat yakni Nyonya Anastasya dan juga Nyonya Geandara seluruh persiapan sudah dibuat dan sempurna. Laura juga sudah meminta pada karyawan hotel terpercayanya Tobio untuk menciptakan seluruh skema dari rancangannya.
“Tentu saya Nyonya Anastasya. Saya akan melakukannya sesuai dengan skenario yang kita sepakati. Besok saya akan menelpon anda untuk mengabari hasilnya, anda siapkan saja keberangkatan anda ke hotel kami,” balas Laura dengan riang. Tentu saja dalam beberapa tahun terakhir perempuan ini cukup banyak bekerja keras demi mendapatkan pundi pundi harta. Dia bahkan tidak ragu apalagi menolak untuk melaksanakan ide gila dari clientnya. Membuat sebuah insiden yang akan membuat korban yakni anaknya sendiri menikah dengan cara yang tidak biasa. Tapi Laura mafhum bahwa ya kebiasaan orang kaya memang selalu aneh dan tidak masuk akal. Tapi setidak masuk akal pun dia malah menyanggupi dan menerima bayaran yang lebih dari sepadan untuk pekerjaan seringan ini. siapa yang tidak mau?
Maka setelah sambungan telepon dimatikan dia lalu memanggil Tobio yang merupakan anak buah kepercayaannya untuk masuk keruangan.
“Perkembangannya bagaimana? Kau sudah memberi mereka berempat minumannya bukan?”
“Ya. Pengantin sudah siap. Kita hanya tinggal menjemput mereka saja.” Laura tersenyum senang. Kalau misinya sukses tentu saja imbalan dan tipsnya akan mengalir deras. Dia tidak sabar untuk menghitung sejumlah uang yang akan masuk kantongnya nanti.
“Kau tahu pasti pasangan pengantinnya kan? Oh ya kalau kau repot mengurusnya kau boleh mengikutsertakan satu rekanmu yang terpercaya.”
“Baik Nyonya. Saya permisi,”
Selepas keluar dari ruangan sang bos. Tobio lalu mulai mencari satu dari sekian daftar nama dalam kepalanya yang bisa dia jadikan sebagai rekan dalam misi khususnya. Dan terpilihlah Nanda. Pria yang amat naif yang dia rasa tidak akan membuat kesalahan. Terlebih dia orang yang sangat jujur dan setia. Sehingga kemungkinan dia berkhianat juga tidak akan terjadi. Maka dia langsung menemui Nanda. Pria pekerja keras itu adalah seorang office boy hotel. Tobio langsung menjelaskan skema rencananya dan pergi ke kamar yang sudah diketahui oleh mereka.
“Putri dari Nyonya Anastasya adalah gadis yang mirip dengan beliau. Tapi kalau putra Nyonya Geandra? Kurasa yang rambutnya pirang kan?” tanya Nanda pada Tobio. Sejujurnya dia memang tidak diberitahu ciri khusus oleh Nyonya Laura tentang pengantin prianya. Sebab yang diwanti wanti oleh beliau hanyalah putri dari Nyonya Anastasya saja.
“Ya, Nyonya Laura pernah bilang bahwa Nyonya Geandra masih muda dan berambut pirang. Sudah pasti putranya juga yang masih muda dan berambut pirang. Pasti!”
“Kalau begitu dengan pasangan yang satunya?”
“Sekalian dinikahkah sajalah untuk mengurangi kecurigaan. Nyonya Laura juga kan berpesan agar tidak ada sesuatu yang janggal. Kalau hanya sepasang yang satunya lagi kan masih bisa berpikir jernih dan membantu. Itu tidak boleh terjadi, kita buat mereka semua kalut.”
“Oke siap,”
Namun kedua pria itu terdiam diluar ketika mendengar keributan. Ada desah dan erang yang tercipta dari masing-masing ruangan. Wajah Nanda terlihat memerah.
“Anu… apa tidak apa-apa kita masuk?”
“Dobrak saja kita kan punya kuncinya. Aku akan menuju kamar putri Nyonya Anastasya. Kau urus yang sebelah,”
“T-tapi pintu ini suaranya berisik sekali,”
“Kita perlu menikahkan mereka dulu sebelum mereka berbuat lebih jauh!”
“I-itu benar persetubuhan harus terjadi setelah terjadi janji yang sah antara kedua belah pihak.” Ujar Nanda lalu memutar kunci duplikat dan mulai memasuki ruangan yang adalah kamar Reca dan Adelia. Sementara Tobio masuk kekamar sebelahnya.
“Oh iya Nanda besok ingatkan aku untuk memarahi mereka ya, untuk jaga jaga,” Nanda mengangguk lalu masuk kedalam kamar yang menjadi tugasnya. Sementara Tobio langsung menepuk kedua tangannya keras-keras.
“Oke, ladies and gentleman permainan panasnya kita tunda dulu. Ada yang perlu kalian berdua lakukan, ikut aku!” perintah Tobio.
Adelia menoleh sementara Farell tetap tidak bergeming dan makin sibuk menciumi pasangannya. Pakaian mereka masih lengkap meskipun keduanya sudah bergulat diatas ranjang.
“Ada apa sih? Menganggu tahu!” ujar Farell yang jadi super agresif karena kegiatannya diganggu. Obat itu sepertinya bekerja terlalu berlebihan untuk si darah muda. Tobio jadi sedikit merasa bersalah karena menuangkan dosisnya lebih tinggi daripada yang semestinya.
“Kita pergi dulu. Kalian berdua harus jadi suami istri baru boleh melakukannya. Oh ya dan Nona adelia jika sudah jadi istrinya anda bebas berkuda pada suami anda, sabar dulu ya. Nyonya Laura sudah menunggu,”
***
Pembicaraan soal siapa yang kasar diatas ranjang dan saling menjatuhkan untuknya sudah berhenti sejak aku menatap pasangan berisik Adelia dan Farell dengan tatapan tajamku. Sampai kemudian mataku melirik kearah pintu masuk dimana dua orang yang amat kukenal mendekat kearah meja kami. Aku harap ini mimpi tapi ternyata tidak. ini kenyataan dan hal yang tidak bisa dihindarkan.
“Adelia coba lirik kearah pintu. Bukannya itu Nyonya Anastasya?” aku berusaha sebisaku agar suaraku nampak netral. Namun upayaku sedikit gagal karena ekspresi Adelia yang mendadak pucat pasi. Matanya berfokus pada satu titik dan berkat itulah aku yakin bahwa kami sedang tidak bermimpi karena berbagi pangalaman yang sama.
Dan benar saja, Nyonya Anastasya mendekat kearah mereka dengan diikuti oleh seorang wanita yang terlihat agak muda mengikuti dibelakangnya.
“Wah.. Nyonya Geandra,” ujar Farell yang membuat keterkejutan dimeja kami tak kunjung usai sebab ketika aku melirik kearah Dira wajah pria itu ikut berubah pula. Apa wanita itu kakak perempuannya?
“Apa mereka orangtuamu?” tanyaku dan Farell dalam satu timming yang pas. Bersahutan dengan nada dan jeda yang sama. Aku yang bertanya pada Dira dan Farell bertanya pada Adelia. Situasi yang kompleks untuk kami berempat.
Yang ditanya hanya bisa melongo ditempat, mereka mungkin masih memikirkan banyak hal dikepala sampai tidak punya upaya untuk bersuara.
“Nyonya Geandra kenapa anda ada disini?” Farell yang bertanya pertama kali saat kedua sosok itu mendekati meja kami.
“Ada yang perlu dibicarakan. Ikut kami!” ujar Nyonya Anastasya. Raut mukanya tidak bisa dibandingkan dengan apapun. dia terlihat cukup marah. Aku ikut meringis memikirkan nasib Adelia berikutnya. Lalu kedua wanita itu membawa putra sekaligus putrinya ke suatu tempat yang lebih pribadi. Ya, akan ada moment seperti itu pula yang akan menimpaku nanti. hanya tinggal menghitung waktu. kini di meja ini hanya ditinggali aku dan juga Farell pria itu menghela napasnya.
“Sepertinya kau baik-baik saja ya, ratu es.” Ujar Farell sarkas.
“Aku tidak ingat punya hubungan yang membuat kita berdua bisa berbincang,” balasku sengit. Pria itu mendengus.
“Kau paling tenang diantara kami. Jangan-jangan kau yang Menyusun rencana gila ini dan menjebak kami?”
“Pemikiran dangkal apa yang baru saja kau tuduhkan padaku?”
“Kau pelakunya dan aku yakin itu,”
“Kau tidak bisa menuduhku tanpa ada bukti,”
“Normalnya orang akan panik bila sesuatu yang tak terduga terjadi pada mereka. Tapi kau berlagak seolah tidak terjadi apa-apa,”
“Apa kau pernah dengar tentang penguasaan diri? Aku sedang melakukan itu, menjadi panik hanya akan membuatmu semakin tolol.”
“Mulutmu pedas,”
“Aku hanya berlaku sesuai dengan lawan bicaraku.”
“Aku tidak ingin menghabiskan waktuku dengan satu perempuan. Aku ingin mengencani semuanya. Dan ketika aku pikir sudah waktunya barulah aku akan menikah. Sial. Masa mudaku hancur semudah ini. pamanku saja masih lajang, kenapa aku perlu menikah muda? Pertimbangkan perasaanku!”
“Berhenti mengeluh dan coba cari solusi.”
“Aku tahu tapi pikiranku benar-benar penuh sekarang!”
***
“Aku dapat telepon bahwa semalam putriku baru saja melaksanakan upacara pernikahan. Bisa jelaskan hal itu padaku? Kau menolak semua deretan pria yang aku inginkan menjadi menantu tapi kau malah menikah saat kubiarkan kau liburan bersama Reca. Sebenarnya apa yang ada di otakmu?” ia memasang wajah murka. Sebuah topeng agar putrinya tidak curiga bahwa dia telah mengatur siasat ini sejak lama.
“Ma—mama?” kali ini suara Adelia bergetar. Ibunya adalah yang paling cerewet soal hubungannya dengan para pria. Adelia hanya merasa bingung untuk menjelaskan bagaimana kronologisnya sebab dia sendiri tidak ingat. Yang dia tahu adalah Reca yang menyadarkannya soal cincin yang tersemat dijari manisnya saja. dan mungkin bukti cakaran yang dia bubuhkan pada pria yang jadi suamianya diluar sana. Selebihnya dia tidak ingat. Lebih tepatnya tidak tahu mengapa semua hal ini terjadi tanpa kemauannya.
“Jadi apalagi alasanmu kali ini?” tegur nyonya Anastasya pada putri semata wayangnya. Adelia hanya bisa tersenyum kecut atas ujaran sang mama yang selalu seperti ini dalam ranah pribadinya.
“Jadi dia yang kau nikahi semalam?” tanya Nyonya Geandra yang melirik kearah Adelia yang sibuk menangani ibunya. Dira menoleh bingung.
“Ya, memang sedikit lebih cepat dari pada perkiraan kami. Mengingat kami ingin kau lulus dahulu dari studimu. Tapi tentu saja tidak apa-apa, putraku,” lanjut Nyonya Geandra sambil tersenyum. Bahkan otaknya yang jenius sedikit kesusahan memahami situasi yang terjadi diruangan ini.
“Jadi ini menantuku ya?” Nyonya Anastasya selesai dengan introgasi habis-habisannya pada sang putri dan kini mendekat kearah Dira. Menatapnya dalam-dalam sebelum memeluk Dira tanpa aba-aba. Membuat Dira maupun Adelia dibuat kaget bukan kepalang atas tingkah polah Nyonya Anastasya yang diluar dugaan semua orang.
Hal yang sama terjadi pada Adelia yang didekati Nyonya Geandra. Wanita anggun itu berdiri didepan Adelia lalu mengelus rambut panjangnya dan memberinya senyuman yang teramat manis. “Menantuku yang manis,”
Mereka berdua melongo seperti dua orang yang bodoh didalam ruangan pribadi ini. Sampai kemudian baik itu Dira maupun Adelia kembali mendapatkan kesadaran mereka saat kedua orang tua mereka yang mengira telah berbesan saling melempar satu sama lain.
“A-anu Ma…” panggil Adelia sedikit agak ragu. “Maaf tapi menantu Mama bukan dia. Tapi bocah pirang yang kita tinggalkan bersama Reca,” ujar Adelia sedikit tidak enak. Tapi sebuah kebenaran memang harus diungkapkan meskipun pahit dan dia tidak ingin mengakuinya.
Nyonya Anastasya tertegun saat putrinya menunjuk pria lain yang tidak dia kenali. Nyonya Geandra melempar tatapan tak mengerti padanya pula atas pengakuan Adelia yang dia pikir adalah menantunya barusan.
“Ada apa ini Dira?”
Dira yang memahami situasi yang telah dibuat oleh Adelia melepaskan napas panjang. Menghirup seluruh oksigen yang tersedia sebelum segalanya makin merepotkan.
“Seperti yang dikatakan Adelia. Kami tidak menikah. Dengan kata lain, menantu anda ada diluar sana. Gadis berambut hitam yang duduk bersama Farell, dan yang perlu kalian ketahui kami menikah karena tidak sengaja,”
Kali ini para dua ibu itu sadar atas apa yang sudah terjadi. Satu sumpah serapah langsung terucap didalam hati mereka berdua. Mereka tahu bahwa penyebab hal ini sudah pasti adalah biang keladinya. Bisa bisanya rencana super fantastis yang sudah lama disusun ini jadi ambyar lantaran jodoh anak mereka tertukar.
“Kami akan segera kembali,” ujar Nyonya Anastasya yang langsung beringsut dari ruangan khusus itu lalu melenggang marah. Diikuti oleh Nyonya Geandra yang juga berekspresi serupa.
“Kau paham situasi barusan?” ujar Adelia ketika orang tua mereka sudah keluar dari ruangan. Menatap Dira yang tidak berekspresi lebih.
“Tentu mereka salah mengira bahwa kita adalah pasangan.”
“Aku mungkin bodoh, tapi aku merasa ada yang tidak beres disini,”
“Kau tidak sendiri.”
***
Aku dan Farell sudah duduk terlalu lama ditempat ini, sampai kemudian pandanganku terlempar pada sebuah botol bir semalam yang aku tenggak meski tidak langsung dari botolnya. Lalu melirik kearah Farell yang bersikap seolah menjadi pihak yang paling stress sekarang. Sesekali aku bisa melihat kemana arah pandang pemuda itu tertuju. Pintu yang dimasuki oleh Adelia dan juga Dira masih tertutup. Itu artinya terjadi pembicaraan yang cukup panjang dan sangat rumit didalam sana. Pria itu lalu menghela napas. Baru orangtua Adelia dan Dira yang tahu perihal masalah ini, belum pula nanti orangtuaku dan bocah ini. kami pasti akan mendapatkan porsi pengadilan kami sendiri. Sejauh ini pun aku masih ragu bahwa perempuan muda yang lebih mirip sebagai kakaknya Dira akan mengakuiku sebagai menantu. Dari style nya saja aku sudah mengira bahwa aku dan Dira bukan dari jenis level yang sama. Kalau bisa aku ingin membatalkan pernikahan ini saja. Memang bisa, tapi itu cukup untuk menyita waktu dan juga biaya. Hal yang menjadi bagian terbesar mengapa aku diam saja saat ini.
Jika posisinya berbalik, apa akan semakin membaik? Pria dihadapanku adalah jenis pria yang mudah untuk di ketahui dan ditebak. Dia mirip seperti Daiki. Tapi skenarionya tidak begitu. Ngomong-ngomong soal itu, bagaimana caranya aku menjelaskan pada Daiki soal ini? aku sudah menghilang darinya karena enggan di recoki. Apa bisa aku muncul tiba-tiba didepannya dengan title yang berbeda. Bukan lagi pacarnya tapi istri orang. Bagaimanapun juga status suami itu sudah lebih dari sah daripada seorang pacar.
Aku merasa sedikit egois sebab hanya memikirkan situasiku sendiri dalam kondisi ini. Jika aku memiliki pasanganku sebelum aku bertemu dengan mereka, bukankah itu artinya tidak menutup kemungkinan pula bahwa mereka juga memiliki pasangan yang lain dihidup mereka sendiri? Terlebih Dira. Pria itu tahu namaku sejak awal pertemuan kami. Rasanya aneh bagiku untuk berhadapan dengan seorang pria yang tidak mudah untuk kutebak jalan pikirannya.
“Hei Ratu es!”
Aku melirik kearah Farell yang sepertinya bosan bila kami hanya berhadapan tanpa sebuah perbincangan. Meski lesu tapi frekuensi suaranya tidak menurun sedikitpun.
“Kau sedang tidak masa subur kan?”
Hah. pertanyaan macam apa itu? bukankah itu seperti sebuah vonis yang terlalu tega untuk diikrarkan ? terlebih aku dan dia tidak mengenal satu sama lain. Memangnya wajar berbagi informasi sepribadi ini pada seorang pria asing? Tapi bicara soal itu aku jadi merasa teringatkan. Terimakasih pada dia. aku melirik ponselku lalu mengecek jadwalku. Desah napas kelegaan terdengar setelah memastikannya. Setidaknya kemungkinan untuk hamil tidak akan terlalu besar.
“Kenapa kau bertanya?”
“Khawatir kurasa,”
“Khawatir? Kau pikir itu make sense?”
“Aku tidak khawatir padamu tapi padaku.”
“Kau bertanya masa suburku lalu apa hubungannya denganku?”
“Setahuku, setiap wanita yang bersahabat dekat memiliki rentang waktu yang sama dalam datang bulan. Dan kurasa persahabatan sedekat kalian akan memiliki korelasi yang sama,” ah… memang bukan Cuma bualan kalau Farell itu buaya kelas kakap. Dia bahkan tahu mitos soal hal-hal yang kami percayai. Berapa banyak perempuan yang dia rasakan sebelum bertemu Adelia?
“Setidaknya sekarang kau tahu jawabannya dari wajahku,”
“Apanya? Sejak tadi kau bahkan tidak bereaksi apa-apa,”
“Hei aku merasa tidak siap jadi seorang suami kau tahu?”
“Kau pikir aku siap jadi seorang istri?”
“…”
“…”
“Begitu ya? Padahal aku berharap kau cukup hebat bila jadi istriku,”
Aku dan Farell mendongak berbarengan. Dira dan Adelia sudah kembali dari tempat tempat introgasi. Lalu mereka berdua memposisikan dirinya ditempat semula sebelum kedatang orangtua mereka.
“Intinya kita perlu menyelesaikan masalah kita berempat,” ujarku menanggapi ujaran Dira saat dia menghampiri aku dan Farell. Aku tidak tahu itu serius atau sebuah candaan tapi yang pasti aku sedang tidak mood untuk hal-hal memuakan yang mereka gadang sebagai sesuatu yang romantis dengan cara yang keren dan sebagainya.
“Ibu mertuaku cantik sekali dan juga seksi, tapi kenapa anaknya macam begini?” celetuk Farell yang membuat suasana diantara kami kembali pecah oleh sesuatu yang tidak penting. Bisa bisanya dia memancing amarah Adelia yang beberapa saat yang lalu nampak lesu.
“Sialan kau! bisa bisanya kau memandang ibuku dengan cara kotor seperti itu!” teriak Adelia sambil menarik kerah baju Farell. Kembali pertengkaran tak perlu terjadi lagi. Aku melirik kearah Dira yang tersenyum menatap pasangan kucing anjing dihadapan kami. Lalu dalam kurun waktu yang singkat mata kami bertemu. Pria itu tersenyum pula padaku. Aku tidak mengerti mengapa dia perlu melakukan itu, maka kupalingkan mukaku saja. aku tidak suka berekspektasi. Buang-buang waktu dan energi.