Pelarian itu selalu sama, sebuah pelarian yang terkadang membuat Lenny merasa jika ia seakan menjadi pabrik pembuat bayi saja. Seolah jika Lenny tidak bersedia dia akan dicap sebagai sebuah pabrik rusak. Maka kedudukannya seketika itu menjadi runtuh dan dianggap sebagai benda rusak yang rasanya wajar jika dihina.
“Tidak bisakah kita melakukannya dengan senang hati, menyentuh dengan penuh kasih sayang dan cinta tanpa beban yang rasanya terus tercurah padaku?”
Hati Lenny sangat sesak, setiap kali ia harus melakukan hal tersebut dengan suaminya di kala hatinya sendiri sedang tidak baik. Ia ingin melakukannya dengan penuh rasa cinta, membelai mesra suaminya dengan kehangatan, saling tenggelam dalam luapan cinta yang tulus. Bukan tanggung jawab yang akan membuat Lenny merasa bak jadi seperti istri yang durhaka kala hatinya merasa berat di saat sang suami melakukan tuganya itu.
Lenny cukup memahami jika seorang istri memang diwajibkan untuk terus melayani sang suami, tak peduli kapan pun itu, ia harus siap melayani sang suami dengan sepenuh hati. Bahkan seorang istri juga berhak meminta nafkah batinnya tersebut. Tetapi, bagi Lenny yang saat ini dunianya sedang hancur. Terkadang belaian mesra itu terasa bak jeratan duri yang tajam. Tubuh mungilnya yang polos dengan kulit lembut di tubuhnya itu seakan di lilit oleh benalu liar yang berduri tajam. Menancap di setiap inci tubuhnya dan semakin Tian menyentuhnya, maka tubuh Lenny seakan di remas kuat oleh lilitan tanaman rambat berduri tersebut.
“Kenapa, kenapa kamu selalu mengalihkan pertikaian kita dengan hal ini!”
“Kamu selalu mengajakku melakukannya di saat perdebatan kita saja belum menemukan titik terang, saat hatiku masih mengganjal, kamu dengan mudahnya mengajakku melakukan hal yang sudah jelas tidak akan pernah bisa aku tolak.”
Sakit, perih, nyeri dan begitu menyiksa adalah apa yang saat ini Lenny rasakan di saat sang suami yang seharusnya menjadi salah satu tempat ia mencurahkan segala isi hatinya itu kini malah terus mengalihkan segala masalah pada satu hal yang sama. Sebuah kebiasaan baru yang Lenny dapatkan setelah Lenny beberapa waktu ini kerap mendapatkan tekanan akan kehadiran seorang anak.
“Aku tidak akan menolak, tidak mungkin juga bagiku untuk menolak. Tapi, jangan sampai aku melakukannya dengan terpaksa.”
“Jangan sampai aku muak melakukan hal ini dengan suamiku!”
Ingin rasanya Lenny berteriak seperti itu pada sang suami yang saat ini dengan liarnya menyentuh tubuh Lenny. Mengabaikan perdebatan yang sebelumnya sempat terjadi, seakan segala tuduhan yang sempat terlontar dari Tian sebelumnya hanya sebuah angin lalu yang tidak pernah terjadi. Seakan Lenny tidak berhak untuk menuntut keadilan akan segala tindakan yang terus bertubi-tubi menimpa dirinya.
“Apa kamu benar-benar menerima aku apa adanya?”
“Benarkah kamu tidak masalah jika aku tidak bisa memberikan keturunan untuk keluarga kita?”
“Mungkinkah kamu benar-benar berada di pihakku?”
Pertanyaan itu pada akhirnya menjadi pengisi seluruh pikiran Lenny, di setiap desah napasnya yang seakan terus mencekiknya, tidak ada lagi bayangan sentuhan mesra atau kenangan manis dari setiap hentakkan yang ia dapatkan dari suaminya itu. Hanya bersisa seribu tanya yang tak akan mungkin pernah bisa ia ungkapkan. Pertanyaan tanpa jawaban yang sejak awal dia tahu bahwa tidak akan pernah mendengar jawabannya.
Semua itu, entah bagaimana menjadi sebuah kebiasaan baru dari Lenny, bila mereka melakukannya setelah beberapa perdebatan yang terjadi. Seluruh pertanyaan dan perasaan itu akan kembali muncul, menjerat Lenny dan membuatnya semakin tersesat dalam perasaan yang kelam. Namun, yang paling membuat Lenny lebih merasa sakit adalah saat dia yang benar-benar mencintai Tian itu berharap dengan tulus bahwa kali ini benih yang ditinggalkan oleh sang suami benar-benar bisa membuahkan hasil, sebab Lenny sangat mendambakan buah hati di antara mereka, terlepas dari segala tudingan yang terlontar dari orang untuk dirinya.
“Aku sangat menginginkannya.”
“Aku ingin punya anak.”
“Aku ingin dengan bangga menunjukkan anakku pada semua orang. Aku ingin mengatakan bahwa aku adalah seorang ibu.”
Seakan seluruh kebencian yang sempat tersirat sebelumnya dan segala kekesalan yang sempat mencekiknya itu berubah begitu saja, dengan sebuah harapan semu yang terus Lenny idamkan. Keinginannya untuk mendapatkan buah hati tidak bisa ia bantah sedikit pun. Hasratnya untuk bisa mendekap kehangatan dari malaikat kecil itu terus terngiang dalam pikiran dan hatinya. Membuat Lenny lagi-lagi meruntuhkan harga dirinya demi sebuah mimpi yang sampai saat ini belum bisa ia wujudkan.
Belum lagi, seluruh tekanan yang terus mengarah hanya pada Lenny membuat Lenny semakin mendambakan buah hati. Apa lagi jika semua tekanan itu berasal dari mereka yang sangat Lenny hormati dan cintai, maka seperti setiap kata yang terlontar untuknya akan selalu menjadi beban dan tanggung jawab yang seolah harus ia pikul.
“Aku tidak peduli apa kata orang, tapi jika mertua dan malah saudara yang mengatakan banyak hal tentangku. Tentu saja, itu akan membuat aku goyah.”
“Aku mohon, jangan sampai gunjingan itu juga keluar dari Tian!”
Terlepas dari itu semua, ia berharap jika Tian akan terus ada di pihaknya, Tian akan terus membelanya dan tidak akan ikut mendesak Lenny soal kehamilan. Ia ingin tetap mencintai Tian seperti biasa dan tidak ikut membenci Tian hanya karena desakan yang sudah sangat membuat Lenny muak.
Doa dan harapan yang bergabung menjadi satu itulah saat ini menjadi satu-satunya pegangan bagi Lenny di saat ia tenggelam dalam pikirannya yang pelik. Ia masih bisa cukup bertahan selama ini karena suaminya tidak pernah menggunjing tentang kehamilan padanya. Tian selama ini tidak pernah memaksa atau mempertanyakan kehamilan Lenny. Ia justru terlihat tidak berkomentar apa pun dan kerap membela Lenny bila tanpa sengaja ia mendengar Lenny sedang di gunjing akan kehamilan yang tak kunjung tiba itu.
“Yah, walau kamu membela keluargamu di depanku. Tapi, mungkin saja di belakangku kamu juga membelaku!”
Bersama dengan sedikit dugaan kecil itu, Lenny kembali menggantungkan harapannya pada Tian. Berdoa setulus hati agar kali ini ia benar-benar bisa hamil dan membawa kabar gembira untuk semua orang.
“Aku sunguh ingin memberikan cucu untuk ibu!”
Tanpa sengaja, Lenny menyuarakan isi hatinya dan seulas senyuman pun muncul dari Tian yang masih sibuk akan aktivitasnya saat itu.
Secara naluriah, Tian memperlambat alunannya hingga akhirnya ia benar-benar berhenti, menjeda aktivitasnya meski ia belum sampai pada titik puncaknya pada saat itu. Bukan karena ia sudah lelah atau tidak mau melanjutkan hal tersebut. Tapi, karena ia cukup tersentuh dengan ucapan yang tidak sengaja keluar dari bibir istrinya tersebut.
“Hmmm.. bisa-bisanya kamu memikirkan hal lain saat suamimu sedang berusaha keras?”
“Apa tidak bisa hanya pikirkan aku saja?”
Pertanyaan itu bukanlah sebuah pertanyaan yang jawabannya ingin di dengar oleh Tian. Melainkan sebuah pertanyaan menggoda karena gemas dengan tingkah manis istrinya tersebut. Tian ikut luluh dengan sikap manis dari istrinya itu, ia yang berjuang dan berusaha untuk memenuhi kewajibannya agar tidak hanya menjadi seorang istri tapi juga bisa menjadi seorang ibu. Serta segala sopan santun Lenny menghadapi keluarganya yang mungkin sudah tidak sabar untuk mendapatkan kehadiran matahari kecil di keluarga tersebut.
“Aku tahu jika kamu sedih, aku juga tahu jika kamu kecewa. Hanya saja, aku tidak punya pilihan lain dan aku bersyukur jika kamu menghargai aku yang tidak berdaya ini!”
“Maafkan aku dan aku harap kamu masih mau bersabar serta berjuang bersama nantinya!”
Jauh di dalam hati Tian sendiri, ia mengatakan hal tersebut dengan sepenuh hatinya. Menyatakan bahwa ia sendiri takjub dengan istrinya tersebut. Sebab, Tian sadar jika istrinya tidak mungkin salah berprasangka dan salah pula dalam bertindak. Buktinya, sampai detik ini Tian tidak mendapatkan laporan apa pun tentang tindakan buruk dari sang istri.
Walau harus, Tian akui jika terkadang keluarganya itu sangat berlebihan. Tetapi, bila memang Lenny melakukan kesalahan. Berita itu selalu sampai pada ponselnya, pasti ada seseorang yang melaporkan hal tersebut, mengadu atau bahkan meminta dukungan dari Tian. Lalu, semua itu selalu Tian hadapi dengan perasaan yang serba salah baik pada istrinya atau pada keluarganya.
Pernyataan yang barusan keluar dari Tian selalu berhasil membuat hati Lenny kembali luluh. Perasaan kesal yang sebelumnya berkumpul itu langsung lebur begitu saja dan sekali lagi membauat Lenny sadar bahwa ia sangat mencintai suaminya sehingga ia tidak akan pernah bisa membenci pria yang satu itu.
“Aku juga kenapa harus melimpahkan kekesalan sama bang Tian. Padahal bang Tian juga tidak salah apa pun. Bang Tian tidak pernah mendesakku atas segalanya.”
Sesal itu tersirat begitu saja saat pria yang ia cintai itu meminta maaf dengan suaranya yang lembut serta dekapannya yang erat.