Terkadang Lenny menganggap jika apa pun bisa ia katakan pada suaminya dengan sangat jujur dan sepenuh hati. Perasaan seperti apa pun itu, keresahan yang sulit sekali pun, atau malah pikiran yang mungkin hanya baru terlintas sejenak tanpa ada pertimbangan apa pun. Pada intinya, Lenny hanya ingin mengatakan kejujuran pada suaminya. Sesuai dengan apa yang ia rasakan dan apa yang ia pikirkan. Lenny tidak peduli jika itu benar atau salah, baginya ia hanya ingin ada seseorang yang akan menampung ceritanya dan bila memang dia benar-benar bersalah ia juga berharap ada yang mau menasihatinya dengan baik. Bukan menyalahkannya atau malah membuatnya tampak seperti wanita jahat hanya karena perasaannya yang mengganjal itu.
“Tapi, bang tidak mungkin Mila tiba-tiba menunjukkan foto tersebut tanpa alasan!”
Suara ketir itu terdengar dari Lenny yang berharap jika suaminya mungkin memiliki pikiran yang sama tentangnya.
Memang benar jika Lenny terkesan tidak baik karena mengatakan bahwa sang adik sengaja menyindirnya seperti itu. Tapi, meski pun demikian Lenny berharap jika suaminya tahu bahwa setiap hal yang berhubungan dengan anak kecil, selalu membuat Lenny merasa gelisah. Justru, Lenny juga menyadari jika sesekali pendapatnya itu hanya ada di dalam pikirannya saja, bahwa terkadang dunia tidak sekejam itu, atau kenyataan juga tidak sesulit itu. Meski begitu, Lenny juga ingin mengungkapkan perasaannya dan meringankan sedikit rasa sesak di hatinya. Walau kelak ia akan menyesalinya, setidaknya untuk beberapa saat biarkan Lenny menyadari sendiri kesalahannya, mengakui apa yang salah dari perbuatannya dan memaafkan dirinya sendiri yang telah berbuat salah.
“Mungkin saja Mila memang tidak sengaja, namanya juga dia gemas melihat sesuatu yang lucu. Kamu saja sering menunjukkan sesuatu yang menarik padaku. Bukannya itu sama saja?”
“Coba deh, kamu pikirkan baik-baik. Mungkin Mila tidak berniat seperti itu.”
“Aku tidak suka kamu menuduh keluargaku ini dan itu. Aku sudah cukup merasa bersalah telah bersikap kasar pada ibu, jangan sampai aku merasa bersalah lagi pada adikku. Semua sama saja kok, kita juga menginginkan hal yang sama. Jadi tolong dimaklumi!”
Kata demi kata yang keluar dari Tian itu terdengar tegas dan jelas, tak ada gertaran atau keraguan sedikit pun. Semua tercurah begitu saja pada Lenny yang sebenarnya jauh lebih merasakan rasa bersalah bila dibandingkan dengan apa pun.
“Iya, bang. Mungkin aku saja yang terlalu sensitif!” Lenny mengatakan hal tersebut dengan segenap sisa kesabaran yang ia miliki.
Bisa dibilang, Lenny terkadang sedikit kecewa pada suaminya. Ia sadar jika suaminya juga berada dalam posisi yang sulit. Tapi, meskipun Lenny memberikannya kode keras tentang seberapa sensitifnya dia saat tertekan tentang kehadiran buah hati. Suaminya malah terkesan menyepelekan perasaan tersebut.
Sama halnya seperti saat ini, mungkin saja bagi Tian, apa yang dilakukan adiknya itu hanyalah sebuah lelucon biasa, atau sebuah perbuatan yang hendak mengakrabkan diri dengan menunjukkan hal-hal menarik pada kakak iparnya. Tapi, dari sudut pandang Lenny, bila memang adik iparnya itu berada di pihaknya. Ia tidak harus menekankan keinginan untuk memiliki ponakan pada Lenny yang sudah jelas-jelas terus berusaha keras untuk bisa hamil.
“Bila, Mila tidak ada niat untuk menekanku. Seharusnya Mila bersikap santai saja dan bisa membahas hal lain. Kenapa harus anak yang dibahas saat itu?”
Apa yang menjadi pertanyaan Lenny hanya akan menjadi sebuah tanya di dalam hatinya saja. Faktanya, bila ia mengungkapkan hal itu sekarang juga pasti akan percuma. Tian tentu akan menganggap hal tersebut berlebihan lagi, ia menganggap istrinya akan mempermasalahkan segala hal yang seharusnya tidak perlu diributkan atau yang terparah sama seperti tadi, saat Tian menganggap jika Lenny hanya bisa menyalahkan keluarganya saja.
Sedangkan sebelumnya, justru Tian yang terlihat cemas dan ingin segera mendengar cerita dari Lenny, sehingga ia terburu-buru pulang hanya untuk mendengar laporan cerita dari Lenny. Tapi, begitu Lenny bercerita. Hal yang menyakitkan malah terus menusuk Lenny secara perlahan.
“Terkadang aku tidak tahu, apakah abang Tian benar-benar peduli padaku atau tidak?”
“Aku salah paham atas segalanya atau memang Tian tidak benar-benar mengerti perasaanku!”
Segala hal yang menyesakkan itu sering kali membuat Lenny sendiri merasa bingung. Lenny kerap ragu dengan perasaan yang sebenarnya ia rasakan, ia juga kerap tidak percaya dengan apa yang sering terlintas dalam pikirannya.
“Mungkinkah aku yang berlebihan dengan perasaanku atau memang itu adalah yang sebenarnya?”
Tanya yang bertubi-tubi itu kerap menjerat Lenny di dalam setiap renungannya. Membuat Lenny meragukan segala hal termasuk kenyataan yang tengah ia hadapi.
“Aku merasa seperti aku sendirian di dunia ini!”
Beratnya pikiran dan perasaan yang tidak karuan itu, sering membuat Lenny terikat dalam pikirannya yang kelam. Rasanya, ia tidak punya siapa-siapa di dunia ini. Suami yang ia anggap akan selalu ada di pihaknya itu, juga belum tentu mengerti dirinya. Malah, setiap kali Tian terkesan menyalahkan Lenny. Lenny semakin yakin jika sebenarnya Tian juga tidak benar-benar tahu apa yang Lenny rasakan. Tak peduli seberapa keras Lenny mengungkapkan perasaannya itu.
“Rasanya percuma jika aku menjelaskan segalanya. Tidak akan ada yang benar-benar mengerti seperti apa perasaanku.”
Pada akhirnya, setelah segala pikiran itu menumpuk, semua akan kembali di sapu dnegan satu pendapat tegas dari Lenny. Bahwa ia harus bisa menahan segalanya, seluruh perasaan resahnya, pikiran buruk yang terus menghantuinya, atau mungkin saja menahan kejujurannya. Ia memilih untuk mengubur segalanya kembali sendirian. Sama seperti hari ini, hari dimana Lenny terkadang lupa jika suaminya itu tidak benar-benar memahami dirinya.
Sedangkan di sisi lain, Tian sedikit merasa bersalah di saat Lenny hanya tersenyum ketir dan tidak mengatakan apa pun lagi. Di satu sisi ia berpikir tentang prasangkanya yang mungkin saja terlalu kasar pada istrinya, tapi di sisi lain, Tian merasa jika Lenny dibiarkan tetap dalam asumsinya, Lenny tidak akan bisa berpikir positif dari tindakan adiknya itu.
“Sejak awal aku tahu ibu terlalu menekan kamu, tapi jika Mila juga ikut-ikutan. Aku rasa itu hanya candaannya saja!”
Hal itu, sekali lagi Tian tekankan pada istrinya tersebut dan kembali hanya mendapatkan respon senyuman dari sang istri. Tanpa mengatakan apa pun lagi, yang malah membuat Tian semakin terasa tidak enak hati.
Tidak ada niat bagi Tian untuk membela adiknya. Tetapi, berapa kali pun Tian mencoba berpikir tentang segalanya. Kesimpulannya masih tetap sama, Lenny bisa saja menganggap semuanya berlebihan karena tertekan dan apa yang dilakukan adiknya atau ibunya juga tidak ada yang salah. Hal wajar rasanya jika semua berusaha dan Tian berharap Lenny mau lebih berusaha lagi.
“Hmm.. jadi jamunya sekarang diminum bagaimana?”
“Apa ibu mengatakan tentang cara meminumnya?”
Untuk mencairkan suasana Tian pun mengalihkan pembicaraan itu pada jamu yang baru saja dibawa oleh Lenny dari rumah ibunya. Lantas, reaksi Lenny masih sama sedikit dingin dengan senyum ketir di wajahnya.
“Kali ini katanya abang juga harus minum. Di minum setiap malam katanya. Lebih baik lagi kalau minum ini sepuluh menit sebelum berhubungan.”
Sesuai dengan apa yang sang ibu katakan, Lenny menyampaikan hal tersebut pada sang suami. Lalu, demi bisa lebih membuat suasana kembali melunak. Tian pun memikirkan sebuah ide yang cemerlang. Ide yang tidak akan di tolak oleh istrinya tersebut.
“Hmmm.. kalau begitu bagaimana jika abang minum sekarang terus dan sepuluh menit lagi kita melakukannya?”
Tian langsung memeluk istrinya tersebut sambil meremas botol jamu yang saat ini masih ada di dalam genggaman istrinya. Ia menyisipkan jemarinya di anatara jemari-jemari Lenny yang ada di botol tersebut. Memberikan sedikit tekanan pada jemari Lenny yang ada pada botol tersebut. Lalu, seakan tidak sengaja. Tian meletakkan botol itu dalam panduannya di atas meja makan.
“Sayang, cepat kita minum jamunya!” bisik Tian lagi seraya menggigit daun telinga Lenny sebagai tanda ajakan yang seharusnya tidak akan pernah bisa Lenny tolak jika ia benar-benar menginginkan buah hati.