8. Lenny, aku jenuh.

1370 Kata
Keduanya berbaikan cukup dengan saling menyentuh, setelah seluruh rasa yang terpendam itu kembali terkubur dalam hati, terabaikan oleh setiap sentuhan yang menghapus tiap luka kasat mata yang menjerat tubuh ringkih dan hati yang pilu. “Kita selalu seperti ini, saling menyimpan rasa dan kemudian berbaikan dengan cara yang canggung. Namun, kita masih bisa terus bertahan dengan rumah tangga yang jauh dari kata membosankan.” Pemikiran itu terus ada di dalam hati Lenny, setiap kali ia mendengar dari sahabatnya bahwa pernikahan mereka sudah sampai pada titik yang sangat membosankan. Mereka merasa jenuh dengan hubungan mereka yang begitu-begitu saja. Tanpa ada kemajuan dan hanya melalui rutinitas yang selalu berulang di setiap harinya. Merasa bosan dan jenuh atas pasangan serta hubungan yang tidak pernah berubah. Sedikit berbeda dengan apa yang Lenny rasakan, meski ia juga mengaku bahwa kehidupan rumah tangganya memang sering melalui hal yang sama, tetapi sungguh berbeda dari kata membosankan yang ia dengar dari sahabatnya itu. Setiap hari selalu saja ada perdebatan yang sama. Bukan karena jenuh atas pasangan yang mulai nyaris tidak ada rasa, atau tentang rutinitas yang tanpa adanya perubahan. “Sungguh membosankan, setiap hari selalu saja melakukan hal yang sama!” “Ah, seharusnya aku tidak perlu berhenti kerja!” “Lenny, kamu hebat banget bisa konsisten jadi ibu rumah tangga selama ini!” Seperti halnya hari ini, Lenny kembali mendengar keluhan yang sama dari salah satu sahabatnya Emma yang katanya sudah bosan menjadi ibu rumah tangga yang tidak punya kegiatan, tentang penyesalannya yang berhenti bekerja dan malah terjebak dengan segala urusan rumah yang katanya sangat membosankan. “Lenny, aku jenuh. Kamu paham itu kan?” tutur wanita itu kemudian sambil menatap Lenny penuh harapan. Seakan ia berharap bahwa Lenny akan memahami perasaannya itu. “Aku butuh huru-hara!” Emma akhirnya berteriak saat ia tidak mendapatkan respon apa pun dari Lenny yang masih menatapnya dengan ekspresi wajah yang datar. “Ah, Lenny tidak seru!” desah Emma lagi yang merasa harapannya sudah pupus. Lenny sama sekali tidak berada di pihaknya. Padahal Emma merasa jika Lenny yang juga hanyalah ibu rumah tangga biasa itu akan merasakan perasaan yang sama dengannya. Sedangkan teman yang lain, ada yang belum menikah, ada pula yang meski sudah menikah mereka masih tetap bekerja. “Apanya yang membosankan, bukankah mengurus rumah itu seakan tidak pernah berhenti. Ada saja yang harus di lakukan!” Akhirnya, Lenny pun membuka suaranya setelah ia melihat Emma sang sahabat yang benar-benar sudah cemberut dan tak lagi mau menatap matanya karena kesal. Akan tetapi, ucapan dari Lenny tersebut malah di sambut dengan binar mata yang penuh semangat dari Emma. Sambil memegang kedua pipinya di atas meja restoran, Emma pun berkata, “Justru itu yang paling membosankan!” “Ah, bagaimana mungkin pekerjaan ibu rumah tangga itu begitu melelahkan. Tidak ada jam istirahat, tidak ada waktu yang tepat untuk bersantai, tidak pula ada jam kerja yang membuatku bisa tahu kapan harus kerja dan kapan aku harus bersantai. Semua kacau dalam waktu bertubi-tubi. Aku tidak sanggup lagi!!” “Apa lagi anakku, Sania dia adalah sesuatu sejenis benda aktif yang sangat berbahaya, di larang mendekat dalam radius beberapa meter, amat sangat berbahaya!” sekali lagi, Emma mendesah seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Jeritan hati Emma terus menggema, ia mengeluhkan anaknya yang semakin aktif, rumah yang berantakan, remah makanan yang terus berserakan, serta celotehan anaknya yang tidak sanggup ia ladeni, atau mungkin suami yang kerap pulang lembur yang baru bisa mengurusnya ketika anaknya baru saja hendak tidur. Kehadiran suami yang tidak terlalu membantu katanya tapi cukup bersyukur bisa hadir menemani saat detik-detik terakhir. “Ah, iya anakmu sudah dua tahun ya! Dia sudah bisa berjalan dong!” Kala itu Via yang juga ikut berkumpul bersama kami ikut menanggapi, Via juga memiliki seorang anak masih berusia empat bulan, masih sangat menggemaskan dan terus bergantung pada Via yang saat ini masih memberikannya asi ekslusif membuat Via yang biasanya sibuk bekerja kerap memompa asinya untuk sang anak. “Via, tunggu saja jika dia sudah seusia anakku. Kamu baru akan paham seperti apa rasanya rumah yang terus berantakan itu!” Emma tampaknya masih dendam, ia berhenti kerja saat anaknya sudah mulai lebih aktif, alasannya ia ingin menghabiskan waktunya bersama anak, mengurus anaknya dengan sepenuh hati agar ia tidak perlu merasa lelah saat bekerja. Sayangnya apa yang dipikirkan oleh Emma sangat berbeda, semakin ia berada di rumah, ia justru merasa semakin kelelahan dan itu membuatnya menjadi seperti ini, terus mengeluh pada pada sahabat yang hanya bisa menghela napas sambil menggelengkan kepalanya. Bahkan ia menunjuk Via sebagai penerus perjuangannya kelak saat anak Via akan tumbuh besar nanti. Ada lima orang yang berkumpul saat ini, Lenny, Emma, Via, Sunny dan Lita semua adalah teman satu kampus yang masih saja bersama hingga saat ini. Meski di antara mereka sudah sibuk dengan kehidupan masing-masing-masing. Namun, di antara mereka hanya Emma dan Via yang sudah memiliki keturunan. Sesekali mereka memang sering berkumpul dan Lenny juga tentu saja ikut aktif dalam kegiatan tersebut. Terkadang, Lenny menganggap bahwa teman-teman adalah satu-satunya pelarian Lenny untuk bisa menghilangkan rasa sesak atas paksaan tidak memiliki keturunan. “Yah, melihat kehebohan ini terkadang membuat aku bersyukur masih memiliki sahabat yang ada di sisiku dalam kondisi apa pun itu!” benak Lenny sambil menatap lekat kehebohan antara Via dan Emma saat membahas anak mereka. Walau, sejujurnya Lenny saat itu sangat iri dengan Emma atau Via yang sudah memiliki keturunan, dan di sisi lainnya Lenny juga ikut senang dengan kebahagiaan kecil mereka meski terbungkus dalam sebuah kata keluhan yang terus mengalir. Kehidupan yang mereka anggap membosankan itu mungkin adalah keinginan besar bagi Lenny yang saat ini diam-diam menyimpan rasa sesak di hatinya itu. “Tidak pernah ada sekalipun ucapan dari Tian bahwa aku harus bisa mendapatkan seorang buah hati. Tapi, aku tahu ia melakukan itu bukan karena benar-benar tidak mempermasalahkan soal anak. Melainkan karena ia menjaga perasaanku.” Semua terlihat sangat jelas bagi Lenny, walau Tian tidak mengatakan apa pun saat ini. Tapi, apa yang Tian lakukan selalu mengarah ke arah yang sama. Ia terkadang terlihat begitu menginginkan buah hati, mengatakan hal-hal yang membuat Lenny merasa bahwa Tian sedang berusaha keras menutupi keinginannya untuk memiliki anak. Segala hal tersebut sebenarnya sudah cukup bagi Lenny, itu membuat Lenny yang saat ini berjuang untuk mendapatkan seorang buah hati menjadi lebih kokoh dan tegar. Kekuatan yang Tian berikan meski tidak terang-terangan, membuat Lenny berpikir tak peduli sebesar apa pun tekanan yang di curahkan untuknya. Ia masih bisa melalui itu semua selama Tian masih ada di sisinya dan mendukungnya. Walau, terkadang melihat Tian yang mendambakan buah hati justru sedikit menyayat hati Lenny. Seperti saat ini, saat Tian datang untuk menjemputnya dan ia melihat anak Via yang sedang tertidur dalam pelukan Via. Tian terlihat berkaca-kaca menatap wajah malaikat kecil yang sedang tertidur itu. “Wah, manisnya. Dia sedang tidur!” “Iya, Om! Wah, Om mau jemput Tante Lenny ya.” Via tampak ikut senang ditambah lagi, kehebohan yang juga ikut ramai saat teman yang lain melihat Tian datang untuk menjemput. Tian memang akrab dengan teman-teman Lenny, terkadang mereka juga berkumpul bersama pasangan. Sehingga tidak ada lagi kecanggungan di antara mereka. Akan tetapi, terlepas dari tidak adanya kecanggungan dari Tian pada teman-teman Lenny. Biasanya Tian tidak pernah membahas soal rumah tangga mereka. Namun, entah bagaimana tiba-tiba saja Tian mengatakan sesuatu hal yang membuat Lenny tercengang. “Doakan kami ya, biar cepat dapat juga!” Kalimat itu keluar begitu saja, membuat jantung Lenny tiba-tiba langsung berdetak kencang. Ia tidak menyangka dengan apa yang keluar dari mulut suaminya itu. Sebuah harapan yang bahkan selama ini tidak pernah ia dengar secara langsung. Tapi, Tian malah mengatakan itu di depan teman-teman Lenny. Setengah dari harga diri Lenny saat itu seolah telah tercoreng, sedikit retak dengan hati yang bahkan sebelumnya sudah nyaris hancur. “Kenapa, kenapa selalu ujungnya malah ke sana?” “Aku pergi bersama temanku untuk memulihkan hatiku atas desakan memiliki anak dan kamu malah meminta doa itu dari temanku.” Tidak bisa dipungkiri oleh Lenny jika kecemasan itu terus bergulir di kepalanya. Ia sendiri tidak mengerti kenapa pikiran dan hatinya begitu kotor. Tapi, nyatanya itu lah yang saat ini Lenny rasakan. Ia takut jika setelah mendengar hal itu, maka teman-temannya kelak akan berubah. Ikut menjadi mereka yang mendesak Lenny atau mempertanyakan Lenny tentang kehamilan yang tak kunjung datang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN