Terkhianati tanpa disadari jauh lebih rumit jika dibandingkan secara terang-terangan saling membentak dan berdebat tanpa ada yang mengalah. Sedikit saja ada kata yang menyinggung entah mengapa hal itu selalu menjadi bara api di tengah tumpahan minyak. Lenny sering kali tanpa sadar merasakan hal yang seperti itu, membuatnya terkadang sering mempertanyakan seperti apa yang sebenarnya ada di dalam pikirannya sehingga ia bisa dengan mudah berpikir buruk pada suaminya.
“Haruskah aku kembali bersabar?”
“Benarkah tindakanku ini yang memendam perasaan?”
“Boleh kah aku berpikir buruk seperti ini terus?”
Seluruh pertanyaan itu sering berputar di kepala Lenny, membuatnya meragukan segalanya, isi hatinya, pikirannya dan juga kewarasannya. Ia sering bingung dengan perasaannya sendiri, semua hal rasanya terlalu mudah berubah, segala pikirannya terkadang sering tidak lagi bisa di kendalikan, dan dari semua itu, sungguh Lenny hanya ingin menjadikan suaminya sebagai satu-satunya tempat agar ia bisa tetap waras.
Akan tetapi, bila Lenny sudah melihat senyuman Tian yang merekah saat melihat anak dari sahabatnya dan terlebih lagi Tian sampai meminta sang sahabat Lenny untuk ikut mendoakan agar cepat memiliki keturunan. Di saat itu Lenny pun merasa yakin jika sejak awal dia memang sendirian. Tidak ada yang benar-benar berada di pihaknya, bahkan suaminya sendiri.
“Kenapa tadi Abang ngomong gitu sama teman-temanku?”
Akhirnya karena sudah tidak tahan lagi dengan perasaan yang terkhianati dari Tian, Lenny pun mencoba untuk mendiskusikan hal tersebut. Ia masih berharap bahwa Tian memiliki alasan yang masuk akal, sebuah alasan yang bisa membuat Lenny merasa bahwa tindakan yang Tian ambil saat itu adalah sebuah pilihan yang tepat.
Malah bisa dibilang, Lenny mencoba agar ia tidak salah membenci suaminya. Ia masih berharap bahawa Tian masih lah merupakan satu-satunya yang benar-benar memahami dirinya dan yang lebih penting lagi, Lenny sangat tidak ingin mengakui bahwa Tian tidak berada di pihaknya.
“Abang, jawab dong. Jangan cengar-cengir begitu!”
Lenny malah kesal saat Tian tidak menjawab pertanyaannya dan malah sibuk menyetir dengan ekspresi wajah polos yang tersenyum kuda seperti itu.
“Apa sih, tidak bermaksud apa-apa. Mereka kan teman-teman kamu. Memang ada salahnya aku mengatakan itu pada temanmu?”
“Tidak ada yang salah sih, tapi aku tidak suka Abang membahas tentang anak dengan teman-temanku. Aku butuh tempat yang nyaman, tempat yang tidak membahas soal anak, aku lelah di desak soal anak terus. Masa abang tidak mengerti!” dengus Lenny yang kini sudah jelas-jelas mengutarakan isi pikirannya.
“Di rumah bahas anak, di tempat mertua juga bahas anak, sama tetangga bahas anak, terus kalau sama teman-temanku bahas anak juga. Aku harus bagaimana untuk menghibur hatiku?”
Nada suara Lenny sudah mulai bergetar saat mengungkapkan isi hatinya, ia tidak peduli bahkan jika di anggap lemah, cengeng, atau berlebihan hanya karena Lenny tidak suka suaminya membahas anak pada teman-temannya. Hal sepele yang seharusnya tidak perlu berlebihan seperti ini. Tapi, mau bagaimana lagi. Hati Lenny tidak bisa berbohong. Tujuannya jelas untuk bisa bermain dengan teman-temannya itu agar bisa lebih menghibur dirinya, mengobati sedikit tekanan yang terus ia alami secara bertubi-tubi.
Tidak peduli bahwa ia akan di cap berlebihan atau apa pun, ia masih berharap jika sang suami mampu sedikit saja memahami hal tersebut.
“Aku mohon, jangan sampai aku menganggap bahwa abang juga ikut mendesakku untuk punya anak. Padahal abang juga tahu siapa yang paling menginginkan buah hati di antara kita, abang tahu kan jika semua itu adalah harapan terbesar untukku!”
Tian yang sedari tadi fokus menyetir itu hanya diam, ia tidak menanggapi apa pun dan tidak mengatakan apa pun. Ia membiarkan sang istri mengutarakan seluruh isi hatinya dengan bebas. Menunggu sampai Lenny benar-benar telah selesai mengeluarkan kerikil yang telah menancap di hatinya. Lalu, setelah ia merasa Lenny sudah selesai dengan seluruh gejolak di hatinya. Tian pun langsung menghentikan laju mobilnya, ia menepi dan memutuskan untuk berhenti sejenak, agar tidak ada hal buruk yang mungkin terjadi saat berkendara nantinya.
Setelah mobil itu benar-benar menepi dan berhenti. Tian langsung menatap sang istri yang saat ini masih menunduk dengan dalam, menahan napasnya agar air mata itu tidak menetes di pipinya dan sesekali terlihat terisak meski air mata belum menetes kala itu.
“Maafkan aku, sepertinya abang tidak peka.”
“Abang tidak menyangka jika niatan abang berbisa-basi dengan teman-temanmu itu ternyata menyakiti hatimu. Abang tidak tahu jika kamu akan seperti ini, maafkan Abang, sayang!”
Perkataan Tian yang begitu lembut itu tentu saja selalu berhasil meluluhkan hati Lenny, ia tidak mungkin mengabaikan permintaan maaf yang terdengar begitu lembut dan tulus. Apa lagi, pengakuan Tian tentang dirinya yang tidak menyangka akan sedalam itu melukai istrinya, membuat Lenny lagi-lagi memaafkan Tian dan justru merasa sedikit buruk telah menganggap Tian mengkhianati dirinya.
“Abang tidak tahu kalau kamu bakal sedih seperti ini. Abang janji tidak akan bahas anak sama teman-temanmu lagi. Abang benar-benar merasa tadi itu hal biasa saat berbisa-basi meminta doa seperti itu. Sungguh, kamu mau memaafkan Abang kan?”
“Abang sedih melihat kamu seperti ini, Abang tidak mau kamu menderita. Aku selalu berharap kalau kamu bahagia bersamaku, Lenny!”
“Melihat air matamu itu membuat aku merasa gagal membahagiakan istriku!”
Siapa hati yang tidak takluk saat mendengar sang suami mengatakan hal seperti itu? Apa lagi, ucapan lembut yang begitu menyentuh hati seperti itu. Benar-benar sangat menenangkan hati Lenny, meluluhkannya dan membuat Lenny semakin mencintai Tian sepenuh hatinya.
“Maafkan aku juga, aku terlalu sensitif sampai seperti ini!”
Kali ini air mata benar-benar sudah tumpah di pipi Lenny, perasaannya yang bercampur aduk antara haru, sedih dan juga sesal itu membuat air mata tidak lagi mampu dibendung.
Tian yang melihat hal tersebut justru tersenyum tipis, ia memeluk sang istri dengan pelukannya yang lembut. Tian begitu bersyukur memiliki istri yang hatinya begitu lembut, yang masih mau mengungkapkan kegundahannya dengan baik tanpa harus saling bertengkar dan berdebat.
“Tidak, kamu tidak salah, aku yang kurang saja yang kurang peka. Maafkan aku!”
Tian menyambut sang istri, menghapus air matanya dan membelai pipi lembut yang basah itu dengan perlahan.
Tangan kekar yang menyentuh lembut pipi Lenny itu membuat hati Lenny berdebar, ia sangat tersentuh dan berkali-kali jatuh cinta pada kebaikan hati sang suami. Begitu mendapatkan perlakuan yang sangat baik seperti saat ini pun Lenny sangat bersyukur bahwa ia memiliki Tian di sisinya yang pasti akan membuat Lenny bisa bertahan dengan ujian apa pun yang ada di depannya.
Sentuhan ringan itu semakin terasa intens, tangan kekar Tian pun kini sudah mengarah ke balik leher Lenny, pelukan ringan dari Tian di pinggang Lenny semakin erat dan tangan itu mengarah pada punggung Lenny yang semakin merasakan kekarnya otot Tian. Lenny hanya mengikuti arus, ia sudah menduga kemana arah selanjutnya dari gerakan lembut yang Tian berikan, apa lagi saat ini Tian mulai medekatkan wajahnya pada Lenny yang secara otomatis membuat Lenny memejamkan matanya, bersiap untuk mendapatkan ciuman mesra tanda perdamaian dari sang suami.
Akan tetapi, semua itu hanya keinginan Lenny semata, faktanya tiba-tiba saja Tian mengatakan sesuatu hal yang secara langsung membuat kedua mata Lenny membulat lebar.
“Aku pengen cium kamu sekarang juga tapi nanti pasti rasanya asin kena ingus!”
Cubitan pun kini melayang pada hidung Lenny yang memang sedikit basah dan meler, serta kekehan tawa Tian yang memenuhi mobil tersebut pun terdengar. Membuat air mata itu seakan tiba-tiba langsung mengering dan bahkan membuat mulut Lenny yang tadinya bersiap untuk di cium malah menganga lebar, tidak menyangka dengan tingkah Tian yang tiba-tiba seperti itu.
“Iiiich… Abang!!!”
Lenny pun akhirnya menjerit kesal sambil menepuk-nepuk ringan pundak Tian dengan gemas. Ia malu bukan main saat ia terbawa suasana dan mengira Tian akan benar-benar menciumnya.
“Maaf, maaf! Habisnya kamu menggemaskan sekali, sih!”
“Kalau aku benar-benar mencium kamu nanti yang ada malah tidak bisa berhenti begitu saja. Sedangkan kita masih di jalan pulang.”
Sambil melirik kiri dan kanan Tian seakan memberi tahu bahwa saat ini tidak tepat untuknya untuk memulai, karena rasanya Tian tidak akan bisa berhenti hanya dengan sebuah ciuman saja saat itu.
“Kita harus cepat pulang, aku pengen mendekap kamu secepat mungkin. Begitu sampai rumah, berisiap-siaplah karena aku tidak akan melepaskan kamu!”
Ancaman itu terdengar nyata bersama dengan gerung suara mobil yang di gas oleh Tian, mobil yang kini malah melaju lebih cepat dan sedikit ugal-ugalan. Memperjelas rasa tidak sabar yang Tian rasakan dan benar saja, begitu mobil itu tiba di rumah dan bahkan belum terparkir dengan benar. Tian langsung menarik tubuh Lenny dengan terburu-buru, bahkan sampai kesulitan untuk membuka pintu rumah.
“Sayang, cepat buka pintunya aku sudah tidak tahan!” bisik Tian di telinga Lenny yang kini sudah mulai ia cium dengan ringan.