Bab 5. Sadewa

1180 Kata
"Papa kecewa sama kamu, Bram. Kamu tidak bisa berbuat adil pada kedua putrimu. Teganya kalian mengadakan acara pertunangan Anggia sedangkan Ayuna sedang patah hati karenanya." Brata menatap kecewa sang putra. Hari ini ia sengaja meminta Bram datang ke kediamannya. Tak lupa, kedua menantunya pun diminta untuk datang. "Maaf, Pa. Tapi Papa tahu kan kondisi Anggia yang sedang sakit. Aku hanya ingin membahagiakan dia." "Dengan merenggut kebahagiaan putrimu yang lain?" Bram tertunduk. Tidak mampu menjawab ucapan sang Papa karena memang kenyataannya seperti itu. "Dalam hal ini bukan sepenuhnya salah kami. Raga memang sudah merasa tidak cocok dengan Ayuna dan lebih nyaman bersama Anggia. Jika kenyataannya mereka saling mencintai, kita sebagai orang tua bisa apa? Tinggal Ayuna yang harus ikhlas melepas pria yang sudah tidak mencintainya." Prita angkat bicara. Mengabaikan tatapan tajam dari Bram yang sudah memperingatkan sang istri kedua agar tidak membuka suara di rumah orang tuanya. "Kamu tenang saja. Ayuna sudah mengikhlaskan Raga untuk Anggia. Putriku tidak akan mempertahankan pria yang tidak bisa setia." Salma pun tak tinggal diam. Jika Prita bisa dengan angkuh membanggakan Anggia yang berhasil merebut Raga, maka ia pun akan membela Ayuna yang telah mereka tusuk dari belakang. "Mbak yakin Ayuna sudah ikhlas? Kok aku gak percaya?" ledek Prita. "Terserah. Aku tidak memintamu untuk percaya." "Sudah! Jangan memancing keributan di rumah ini!" Ambar menyela perdebatan kedua menantunya. "Kamu juga Prita. Anak kamu jadi perebut kok malah bangga. Seharusnya kamu nasehati dia supaya tidak mengikuti jejakmu!" "Mama kenapa bicara seperti itu?" sergah Prita tak terima. "Anggia juga cucu Mama. Tidak seharusnya Mama berkata buruk tentangnya." "Memang begitu kenyataannya, kan? Putrimu telah merebut calon suami Ayuna dengan menggunakan sakitnya sebagai alat untuk mendapatkan simpati dan perhatian dari Raga. Pokoknya Mama tidak mau tahu. Jangan adakan acara pertunangan kalau kalian tidak ingin menanggung malu di hadapan seluruh keluarga besar kita!" kecam Ambar. "Maaf, Ma. Kami tidak bisa memenuhi permintaan Mama. Acara pertunangan ini sudah sangat ditunggu-tunggu oleh Anggi. Dengan atau tanpa kehadiran Mama dan Papa, pertunangan itu akan tetap terjadi." Prita kukuh pada pendiriannya. Sudah kepalang basah tak disukai oleh mertuanya, lebih baik menentang mereka secara terang-terangan. "Aku pulang duluan, Mas. Percuma aku datang ke sini kalau keberadaanku tidak pernah dihargai. Mama dan Papa hanya menyayangi Mbak Salma padahal aku juga menantu mereka!" Prita beranjak tanpa menunggu jawaban dari Bram. Wanita bertubuh ramping itu meninggalkan kediaman mertuanya dengan kekesalan yang memuncak. Selama usia pernikahannya dengan Bram, ia sama sekali tidak pernah dihargai oleh Brata dan Ambar. Bahkan, mereka memperlakukan Anggia berbeda dengan Ayuna. Sebenarnya Prita tidak peduli jika memang Brata dan Ambar tidak menyukainya. Namun sebagai seorang ibu, Prita tidak bisa terima saat putrinya dipandang sebelah mata. "Lihatlah, Bram. Begitu kelakuan istri kesayanganmu. Tidak ada sopan-sopannya sama mertua!" Ambar menggerutu. "Maafkan sikap Prita, Ma." Bram tertunduk malu. "Lagian kamu ini masih saja manjain dia. Lihatlah Salma. Dia sudah bisa mandiri dengan membuka usaha sendiri. Sedangkan istri keduamu hanya bisa menghamburkan uang." Lagi, Bram membenarkan ucapan sang Mama dalam hati. Menoleh ke arah Salma, sang istri pertama menanggapi ucapan mertuanya dengan senyuman. Ah, wanita ini selalu bersikap tenang dan bijak. Tidak pernah merasa bangga meski mertuanya kerap kali memuji. Tidak pernah memojokkan Prita meski sang madu sering menganggap remeh. Pembawaan Salma yang seperti ini membuat Bram makin kagum. Betapa bodoh dirinya yang menduakan wanita hampir sempurna seperti sang istri pertama dengan wanita manja dan angkuh seperti Prita. ***** "Pertunanganmu dengan Ayuna beneran batal?" Raga mengangguk. Pria itu baru saja menikmati makan siang bersama Anggia di ruangannya. Begitu sang kekasih pulang, Bara -- teman seprofesinya sekaligus putra dari pemilik Rumah Sakti tempatnya bertugas, masuk tanpa mengetuk pintu. Namun, Raga sama sekali tidak marah sebab hal seperti itu sudah biasa. "Karena Anggia?" Lagi, Raga mengangguk. Bara menarik napas panjang. "Aku heran sama kamu. Ayuna itu kurangnya apa? Dia cantik, cukup terkenal, dan yang paling penting, dia sehat. Tapi kenapa kamu malah memilih Adiknya yang sering sakit-sakitan?" tanyanya, tak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya. "Karena rasa nyaman, Bar. Aku sudah tidak pernah merasakannya lagi saat bersama Ayuna. Jika sedang bersama Anggi, aku merasa dibutuhkan. Dia yang manja dan sangat bergantung padaku. Berbeda dengan Ayuna yang terlalu mandiri." "Jadi kamu lebih suka direpotkan, begitu?" Bara terkekeh. "Kamu ini aneh. Kalau aku berada di posisimu, justru aku sangat bangga punya kekasih seperti Ayuna. Ingat, Ga. Kamu pernah cerita kalau Ayuna diperlakukan berbeda oleh ayahnya. Tidakkah kamu berpikir kemandirian Ayuna ada hubungannya dengan hal itu? Dia berusaha menjaga dirinya sendiri karena merasa tidak memiliki pelindung," papar Bara. Raga tertegun. Ya, Ayuna sering bercerita bahwa dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang lebih dari ayahnya. Bramantyo terlalu fokus pada keluarganya yang lain, hingga sering mengabaikan Ayuna. Gadis itu bertekad untuk menjadi wanita mandiri agar bisa melindungi dirinya sendiri dan sang Mama. "Kamu bodoh, Ga. Kamu melepas wanita tangguh seperti Ayuna demi wanita rapuh seperti Anggia. Apa kamu yakin rasamu pada Anggia benar-benar cinta? Atau hanya kenyamanan sementara saat kamu sedang merasa jenuh pada hubunganmu dengan Ayuna?" Entahlah. Raga tidak bisa menjabarkan perasaannya saat ini. Di satu sisi, ia merasa nyaman saat sedang bersama Anggia, tapi di sisi lain, ia masih memikirkan Ayuna. "Mungkin kamu benar. Aku ini pria bodoh yang lebih memilih wanita penyakitan. Tapi aku harus konsisten dengan pilihanku, kan? Apa pun yang akan terjadi ke depannya padaku dan Anggia, aku harus bersiap menghadapinya." Raga menyudahi perbincangan mereka. Pria itu bersiap untuk melakukan operasi setengah jam lagi. Raga berpamitan pada Bara yang sedang memperhatikan setiap gerak-geriknya. "Ga ...." Raga yang baru saja akan membuka pintu, menoleh lagi. "Ya?" Bara berdiri. Pria itu menghampiri Raga, kemudian berhadapan dengan sang sahabat dalam jarak dekat. Mereka saling bertatapan cukup lama, hingga Bara berucap. "Kalau aku mendekati Ayuna ... apa kamu tidak keberatan?" ***** "Lho, Pak Kardi mau berhenti? Tapi kenapa, Pak? Apa gaji yang saya kasih kurang besar?" Salma terkejut saat sopir yang sudah beberapa tahun bekerja padanya tiba-tiba mengundurkan diri. "Tidak sama sekali, Bu. Justru gaji dari ibu lebih besar dari tempat kerja saya yang dulu. Hanya saja, saat ini saya ingin fokus pada pengobatan istri saya di kampung," jawab pak Kardi dengan menunduk. "Tapi kenapa mendadak? Kalau Bapak bicara dari jauh-jauh hari, mungkin saya bisa mencari pengganti Bapak sejak kemarin," keluh Salma. Ayuna yang berdiri di samping sang Mama pun membenarkan. "Kami sudah menganggap Bapak seperti keluarga sendiri. Saya dan Mama sedih kalau harus berpisah dengan Bapak." Ayuna menimpali. "Nyonya dan Non Yuna tenang saja. Saya sudah menyiapkan orang yang akan menggantikan saya," terang Pak Kardi. "Benarkah?" "Benar, Non. Itu orangnya ada di luar," tunjuk Pak Kardi. "Coba Bapak ajak masuk," titah Salma. "Baik, Nyonya." Pria paruh baya berperawakan kurus itu bergegas keluar. Cukup lama Salma dan Ayuna menunggu, hingga akhirnya sang sopir masuk kembali diikuti oleh pria muda di belakangnya. "Ini dia, Nyonya, Non Yuna. Dia ini putra saya ... Sadewa." Salma dan Yuna terpaku menatap pria muda di samping Pak Kardi. Sejak kapan Pak Kardi punya anak laki-laki? Kenapa pria paruh baya itu tidak pernah bercerita? Dan jika dilihat, Pria muda ini sama sekali tidak ada kemiripan dengan Pak Kardi. Pria bernama Sadewa bertubuh tegap, berkulit putih dan terlalu tampan untuk menjadi seorang sopir. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN