Bab 4. Hujatan

954 Kata
"Gak nyangka, ya. Di luar keliatan lugu ternyata pelakor. Tega merebut calon suami kakaknya sendiri." "Iya. Kayak yang gak laku sama cowok lain saja. Percuma punya muka cantik tapi hatinya busuk!" "Kasihan Mbak Yuna. Padahal dia kurang apa, coba? Cantik iya, terkenal juga. Bodoh banget tuh cowok!" Kasak kusuk yang Anggia dengar membuat telinganya panas. Entah dari mana teman-teman satu kampusnya tahu kalau ia dan Raga akan mengadakan acara pertunangan Minggu depan. Apakah Ayuna yang menyebarkan berita itu? Atau ada orang lain yang diam-diam menyelidiki hubungannya dengan Raga? Anggia paham. Profesi kakaknya yang seorang selebgram pasti tidak akan luput dari perhatian banyak orang, termasuk soal kisah cinta kakaknya tersebut. Hampir semua orang tahu tahu bahwa Raga adalah calon suami Ayuna, dan pastinya publik dibuat tercengang dengan kabar terbaru yang memberitakan tentang batalnya rencana pernikahan Ayuna dengan sang Dokter. Anggia pikir, mereka tidak tahu bahwa penyebab kandasnya hubungan sang kakak adalah dirinya. Namun ternyata, kedekatannya dengan Raga sudah tersebar ke khalayak ramai, bahkan menuai hujatan. "Aku gak nyangka kamu tega banget sama kakak kamu sendiri." Anggia menoleh. Gea -- sahabat dekatnya tengah menatapnya dengan sinis. "Ge, aku bisa jelasin--" "Gak perlu. Aku gak butuh penjelasan apa pun dari kamu, Nggi." "Tapi ini gak seperti apa yang kamu bayangkan. Aku dan Mas Raga--" "Akan bertunangan, bukan begitu?" Anggia bungkam. "Selama ini aku kagum sama kamu yang selalu bilang bahwa kamu sangat menyayangi Mbak Yuna, meski dia tidak pernah bersikap baik padamu. Kamu sering merasa malu saat orang-orang mengatai mamamu seorang pelakor. Tapi kenapa sekarang justru kamu mengikuti jejak mamamu? Yang kamu rebut itu calon suami kakakmu sendiri, Anggia. Orang yang katanya sangat kamu sayangi," cecar Gea. Gadis itu teramat kecewa akan sikap sahabatnya yang tega menyakiti saudaranya sendiri. "Kamu gak pernah ada di posisiku, Ge. Makanya kamu gak bakal ngerti." Anggia membela diri. "Aku nyaris menyerah saat Dokter memvonisku mengidap gagal ginjal akut. Aku gak punya semangat hidup. Tapi saat aku mulai dekat dengan Mas Raga, semangat hidupku kembali. Dia yang selalu memberiku semangat dan perhatian. Dia juga yang membuatku merasakan apa itu cinta. Salahkah jika kami mulai merasakan perasaan lain karena sering bersama?" paparnya. "Salah! Jelas salah karena cinta kalian itu menyakiti Mbak Yuna. Bayangkan kalau kamu jadi dia. Calon suaminya berselingkuh dengan adiknya sendiri!" sergah Gea. "Hidup Mbak Yuna itu sudah sempurna, Ge. Dia sehat, punya karir bagus, banyak yang sayang sama dia, termasuk Opa dan Oma. Aku yakin dia masih bisa menemukan pria lain yang lebih dari Mas Raga. Sedangkan aku? Hanya Mas Raga yang bisa menerimaku apa adanya. Aku juga ingin bahagia, Ge. Dan bahagiaku dengan pria itu." Gea mendecih sinis. Tidak pernah menduga seorang Anggia yang ia kenal polos, ternyata tega menikung kakaknya sendiri. Begitu picik pemikiran Anggia yang beranggapan bahwa ia bisa hidup bahagia dengan cara yang salah. "Tidak akan pernah ada kebahagiaan bagi orang yang tega menghancurkan kebahagiaan orang lain. Aku benar-benar kecewa sama kamu, Nggi." Gea meninggalkan Anggia yang tergugu sendirian. Tidak ada lagi sahabat yang selama ini selalu memberinya dukungan. Anggia merasa hidup ini tidak adil untuknya. Tidak ada yang berempati padanya, padahal dia yang lebih membutuhkan semangat dan dukungan. Suara klakson mobil menghentikan tangis Anggia. Gadis berperawakan mungil itu langsung tersenyum saat melihat sang kekasih sudah menjemputnya. Masih ada Raga. Ya, Anggia masih mempunyai Raga sebagai tempatnya berkeluh kesah. Berlari kecil, Anggia menghampiri mobil Raga yang terparkir di depan kampus. "Mas ...." Senyum di wajah Raga memudar melihat mata Anggia yang sembab. Tangannya membingkai wajah sang gadis yang sudah duduk di sebelahnya dan menatapnya lekat. "Kamu habis nangis?" tanyanya khawatir. "E-enggak. Aku--" "Jangan bohong. Mas tahu kamu habis nangis. Coba cerita. Apa yang bikin kamu nangis seperti ini?" Tangis Anggia kembali pecah. Ia peluk tubuh tegap sang kekasih dan menumpahkan tangisnya di sana. "Apa cinta kita ini salah, Mas? Mereka mengataiku pelakor. Mereka menghujatku karena mengira aku merebut Mas Raga dari Mbak Yuna." Helaan napas kasar keluar dari mulut Raga. Pria itu sudah bisa menebak hal seperti ini akan terjadi. Berita batalnya rencana pernikahan dengan Ayuna sudah tersebar. Sudah pasti Anggia akan menjadi sasaran empuk bagi mereka yang mendukung Ayuna, sebab kini ia menjalin hubungan dengan adik dari mantan kekasihnya. "Jangan dengarkan apa kata mereka. Bukan salah kamu kalau Mas sampai berpaling padamu." Raga berbisik di depan wajah kekasihnya. "Biarkan saja mereka mau berkata apa, yang terpenting kita tetap bersama." Anggia mengangguk. "Aku mencintai Mas Raga." Raga tersenyum dan mengangguk. "Mas juga mencintaimu." Keduanya bertatapan mesra. Satu kecupan mendarat di kening Anggia. "Kita pulang sekarang atau mau makan siang dulu?" Anggia berpikir sejenak. "Pulang saja. Tapi ... ke Apartemen Mas Raga." Karena Anggia masih ingin menghabiskan waktu dengan sang kekasih. "Siap, Tuan Putri." Mobil milik Raga melaju perlahan meninggalkan kampus. Dua sejoli di dalamnya saling bertukar cerita dan sesekali diselingi tawa renyah. Anggia sudah tidak canggung lagi bergelayut manja di bahu Raga. Usapan lembut di rambut ia dapatkan dari pria yang digilainya. Mobil berhenti tepat ketika lampu lalu lintas berubah merah. Raga mengedarkan pandangan ke sekeliling hingga matanya menangkap sosok seseorang yang sedang berdiri kebingungan di pinggir jalan. Tatapan Raga terpaku. Di dekat wanita itu, motor Vespa kesayangan sang wanita terparkir. 'Pasti mogok lagi.' Raga membatin. Tak sadar, tangannya mencengkram stir kemudi menyaksikan sang wanita yang berdiri kepanasan. Ingin sekali ia turun dan menyeret wanita itu ke dalam mobil miliknya. Jika dulu ia akan mengomel dan meminta motor itu dibuang saja, tetapi kini ia hanya mampu melihat dari kejauhan. "Mas! Lampunya sudah berubah hijau." Raga terperanjat. "Oh, ya. Maaf, Mas melamun." Anggia tersenyum getir. Ia tahu apa yang membuat kekasihnya tidak fokus seperti itu. Ayuna. Anggia menyadari bahwa kekasihnya sedang mengkhawatirkan sang kakak. Akan tetapi, Anggia tidak akan membiarkan Raga kembali berpaling pada Ayuna. Raga sudah menjadi miliknya dan sampai kapanpun akan tetap menjadi miliknya. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN