"Ma ...."
"Hei, Sayang." Prita menoleh. Wanita yang selalu berpenampilan glamour tersebut tersenyum lebar pada sang putri yang menghampirinya.
"Mama sedang apa?"
"Mama baru saja menghubungi butik langganan Mama. Nanyain gaun yang akan kamu pakai nanti sudah selesai apa belum," jawab Prita. Setelah menelisik wajah sang putri, senyum di bibir Prita memudar.
"Mata kamu kok sembab begitu? Kamu habis nangis?" tanyanya khawatir.
Anggia menunduk dan meremas ujung dress yang ia kenakan. "Gak, Ma," elaknya.
"Bohong. Mama yakin kamu habis nangis." Prita memegang kedua bahu sang putri. "Bilang sama Mama. Apa yang bikin kamu nangis, hmm? Ada yang jahatin kamu?" tanyanya lembut.
Anggia yang awalnya tidak ingin menceritakan kejadian di kampus waktu itu, akhirnya tak kuasa menyembunyikan dari sang Mama. Tangis gadis berusia dua puluh tahun tersebut pecah saat ia mengingat kembali perkataan sahabatnya.
"Teman-teman di kampus menghujatku, Ma. Mereka mengataiku pelakor."
Prita terperangah. Wajah Istri kedua Bram tersebut memerah menahan emosi yang tiba-tiba merambat naik.
"Siapa yang berani mengataimu seperti itu? Tunjukkin orangnya. Biar Mama labrak dia!" geramnya.
Anggia terisak. "Hampir semua teman-teman di kampus bilang seperti itu. Apa aku salah karena sudah menjalin hubungan dengan Mas Raga, Ma? Apa aku jahat karena dianggap merebut calon suaminya Mbak Yuna?" lirihnya.
"Kamu gak salah," bantah Prita. "Kamu dan Raga saling mencintai. Bukan salah kamu kalau Raga sampai berpaling dari Ayuna. Seharusnya orang-orang itu tidak menjudge kamu seperti itu kalau tidak tahu kejadian yang sebenarnya!" Prita makin geram. Ia tidak terima sang putri dikatai pelakor.
"Apa Mama juga mengalami hal yang sama seperti aku waktu Mama menikah dengan Papa?"
Pertanyaan Anggia menohok Prita. Wanita yang masih nampak cantik di usianya yang ke empat puluh tiga tahun tersebut tidak pernah menduga sang putri akan mengajukan pertanyaan seperti itu.
Saat ia menikah dengan Bram, tentu saja ia pun menuai banyak hujatan. Apalagi saat ia dan Bram meminta restu pada orang tua sang suami. Brata dan Ambar bahkan tidak meliriknya sama sekali. Mereka fokus menasehati sang putra dan menganggap kehadiran dirinya bak makhluk tak kasat mata.
Prita juga pernah dikucilkan teman-temannya saat ia bekerja di Resto, tempat yang menjadi pertemuannya pertama kali dengan Bram.
Kini apa yang ia alami terjadi pada sang putri. Prita tidak akan membiarkan sang putri menghadapi orang-orang julid itu sendirian sebab ia tahu kondisi Anggia tidak sekuat dirinya.
"Mama pernah mengalami hal yang sama denganmu. Tapi Mama tidak pernah mempedulikan omongan mereka. Waktu itu Papa kamu yang meminta Mama untuk menjadi istrinya. Jadi, bukan hanya Mama yang pantas disalahkan, tapi papamu juga istri pertamanya yang tidak becus membahagiakan suami hingga berpaling pada wanita lain," papar Prita.
"Kamu dan Mama sama. Kita masuk dalam hubungan orang lain karena si pria yang mengundang dan meminta. Jadi kamu tidak perlu merasa bersalah. Toh bukan kita yang memulai," imbuhnya, menyemangati sang putri agar tidak terpengaruh oleh perkataan orang lain di luar sana.
Prita memeluk dan mengelus punggung sang putri. "Kamu fokus saja pada kebahagiaanmu. Mereka hanya iri karena kamu cantik dan mampu memikat pria seperti Raga. Dua hari lagi pertunanganmu akan digelar. Kamu harus tampil cantik agar Raga bangga mempunyai kekasih seperti dirimu."
Anggia mengangguk lemah. Mengingat Raga, pria itu pun menjadi sumber kegelisahannya hari ini.
Dari tadi malam, ponsel sang kekasih tidak aktif. Anggia takut terjadi sesuatu yang buruk pada pria itu, dan yang paling ia takutkan adalah, Raga berubah pikiran serta membatalkan pertunangan mereka.
*****
"Kamu yakin mau berhenti jadi selebgram? Sayang, Yun. Followers kamu sudah jutaan. Kamu juga makin terkenal. Jangan hanya karena masalah batalnya pertunangan kamu, karir kamu juga terkena imbasnya."
Viola -- sahabat Yuna menyayangkan keputusan sang sahabat yang menurutnya terlalu terburu-buru. Viola paham Yuna tidak nyaman dengan banyaknya DM yang masuk dan bertanya tentang kebenaran berita kandasnya hubungan Ayuna dengan Raga. Namun, tidak seharusnya Ayuna mengambil keputusan di saat gadis itu sedang tidak bisa berpikir jernih.
"Biarkan saja. Tidak usah menanggapi mereka. Aku yakin seiring berjalannya waktu, berita ini akan hilang dengan sendirinya. Kamu boleh vakum untuk beberapa waktu, tapi jangan sampai selamanya," saran Viola.
"Aku gak tahu, Vi. Kayaknya aku mau fokus bantuin Mama di Butik saja."
"Ck, ayolah, Yun. Kamu jangan menyerah seperti itu. Jangan biarkan Raga dan Anggia tahu kalau kamu terpuruk atas pengkhianatan mereka sampai berimbas ke karir kamu. Apalagi Mama tirimu itu. Dia pasti senang karena merasa anaknya lebih unggul dari kamu," bujuk Viola. Gadis itu tidak terima jika sampai adik dan Mama tirinya Ayuna berada di atas angin karena berhasil membuat Ayuna terpuruk sedalam-dalamnya.
"Nanti aku pikirkan lagi. Yang jelas saat ini aku ingin menenangkan diri dulu."
Viola tersenyum senang. "Gitu dong. Jangan mengambil keputusan tanpa pikir panjang. Aku yakin kamu bisa melewati semuanya dengan tegar. Tunjukkan pada para pengkhianat itu kalau kamu baik-baik saja."
Ayuna mengangguk. Gadis itu berterima kasih karena sahabatnya selalu ada di setiap ia sedang membutuhkan teman untuk berkeluh kesah. Bukan hanya tentang Raga. Ayuna sering kali curhat tentang keluarganya yang tidak lagi harmonis semenjak kehadiran Prita.
Meski waktu itu Ayuna masih berusia tiga tahun, tetapi ia bisa merasakan perubahan sangat kentara dari sang Papa yang lebih sering menghabiskan waktu bersama istri barunya.
Hingga Ayuna dewasa pun, sikap Bram tetap tak berubah. Prita dan Anggia tetap menjadi prioritas ayahnya tersebut.
"Aku pulang duluan ya, Vi. Udah malam dan aku gak ngabari Mama. Dia pasti khawatir."
"Oke. Tapi abisin dulu minuman kamu. Dari tadi pesan sama sekali belum diminum." Viola menunjuk secangkir kopi pesanan Ayuna. Gadis berwajah oriental tersebut sedikit heran karena yang ia tahu, selama ini Ayuna jarang sekali meminum kopi sebab akan berpengaruh pada lambungnya.
"Oh ya. Hampir lupa."
Ayuna mengangkat cangkir berisi kopi dan siap meminumnya. Namun, gadis itu hampir memekik ketika tiba-tiba benda tersebut berpindah tangan.
"Sejak kapan kamu minum kopi lagi? Kamu mau penyakit maag kamu kambuh?" Raga meletakkan cangkir kopi ke atas meja. Pria yang malam itu memakai jaket kulit tersebut sudah berada di cafe yang sama dengan Ayuna sejak beberapa menit yang lalu.
Raga ada janji temu dengan sahabatnya yang baru pulang dari luar negeri. Begitu sampai, sang sahabat belum datang dan justru ia melihat mantan kekasihnya berada di sana dengan secangkir kopi di tangan gadis itu.
Raga refleks mendekat dan merebut benda tersebut sebab khawatir akan kondisi Ayuna yang sering kali mengeluh sakit lambung.
Ayuna memalingkan wajah. Enggan bertatapan dengan pria yang sudah memutuskan hubungan mereka. Jika dulu perhatian seperti itu sangat Ayuna sukai, tetapi kini justru terasa memuakan.
"Aku pulang dulu, Vi."
Ayuna memilih segera beranjak dari tempat itu. Menghindari Raga yang entah kenapa bisa berada di tempat yang sama dengannya. Ayuna tidak ingin luluh dengan tatapan Raga yang masih sama. Nampak khawatir saat ia melanggar kebiasaan yang kerap kali pria itu larang demi kesehatannya.
"Kamu gak bawa mobil?"
Lagi, Ayuna dibuat terkejut. Raga sudah berdiri di sampingnya dengan kedua tangan dimasukkan dalam saku jaket yang pria itu kenakan.
"Aku dijemput."
"Sama siapa?"
Ayuna mendengkus tak suka. "Siapa pun yang menjemputku bukan urusan Mas Raga."
"Mas antar kamu pulang. Sudah jam sembilan malam. Sejak kapan kamu suka keluyuran malam? Jangan diulangi lagi." Raga tak mengindahkan tatapan tidak suka dari Ayuna.
"Tidak usah, terima kasih."
Raga menghela napas berat. Sikap dingin Ayuna malam ini mengusik hati pria itu.
"Kalau begitu Mas akan menunggu di sini sampai jemputan kamu datang."
Terserah!
Ayuna enggan menjawab. Apa pun yang akan pria itu lakukan, ia tak ingin peduli.
"Jaga kesehatan kamu. Ingat, jangan minum kopi lagi."
Kali ini kesabaran Ayuna habis. Gadis itu sontak menoleh dan menatap tajam sang mantan.
"Maunya Mas Raga sebenarnya apa? Tolong jangan pedulikan aku lagi! Tidak usah sok perhatian kalau pada kenyataannya Mas sendiri yang membuat aku berubah seperti ini!"
*
*
Bersambung.