Bab 8. Ke Mana Dia?

1215 Kata
"Mama mengundang orang sebanyak ini?" Bram menatap Prita tak percaya seraya meremas daftar undangan yang ditulis istrinya. Sang istri kedua berencana untuk mengadakan pesta pertunangan secara besar-besaran tanpa meminta persetujuan darinya terlebih dahulu. "Segitu itu gak terlalu banyak, Mas. Cuma teman-teman arisan sama beberapa kolega bisnismu." Bram menghela napas gusar. Prita selalu saja bersikap semaunya. Sudah beberapa kali Bram mengatakan bahwa acara pertunangan Anggia dan Raga diadakan secara sederhana saja, tetapi sang istri justru tidak mengindahkan ucapannya. "Ma. Bukannya Papa sudah bilang jangan mengadakan pesta besar-besaran? Papa ingin menjaga perasaan Ayuna. Dia itu putri Papa juga. Mendapat kenyataan calon suaminya akan bertunangan dengan adiknya sudah membuatnya terpukul, apalagi kalau sampai dia tahu pertunangan ini diadakan secara mewah," protes Bram. Pria itu khawatir Ayuna akan makin terpuruk. "Mas ini gimana, sih? Anggia itu putri Mas juga. Tidak ada salahnya kita mengundang banyak orang karena toh mereka sudah tahu Ayuna bukan lagi tunangan Raga. Ingat, ya, Mas! Acara pertunangan ini sudah lama Anggia tunggu-tunggu. Aku tidak ingin membuat putriku kecewa. Kenapa sih Mas lebih mementingkan perasaan Ayuna dibanding Anggia yang lebih membutuhkan kita?" cecar Prita mulai geram. Wanita itu tidak suka saat Bram membahas Ayuna di saat ia sedang mempersiapkan acara pertunangan putri mereka. Apalagi, Bram memintanya membatalkan pesta mewah itu demi putri dari istri pertama suaminya tersebut. "Kamu tidak salah bicara?" Bram mulai terpancing emosi. "Sejak kapan aku lebih mementingkan Ayuna? Bukankah selama ini justru waktu dan perhatianku lebih banyak untukmu dan Anggia?" "Oh, jadi Mas tidak ikhlas melakukannya?" Prita menatapnya nyalang. Bram mengusap wajahnya dengan kasar. "Bukan tidak ikhlas. Papa hanya ingin Mama menghargai perasaan Ayuna sedikit saja. Selama ini Papa selalu menuruti semua keinginan Mama, termasuk lebih memprioritaskan Mama dan Anggia. Tapi untuk kali ini saja. Tolong jangan menambah luka hati Ayuna dengan mengadakan pesta besar-besaran." Bram kembali melunak. Pria itu sadar bahwa menghadapi istri keduanya dengan cara yang keras justru akan membuat wanita itu makin membangkang. "Maaf, Mas. Aku tidak bisa membatalkan acara ini. Semuanya sudah aku persiapkan dengan matang. Dengan atau tanpa persetujuan darimu, pesta pertunangan Anggia akan tetap diadakan sesuai keinginanku." Prita meninggalkan Bram yang terduduk lesu. Membatalkan acara hanya demi Ayuna? Oh, tentu saja Prita tidak akan melakukannya. Justru Prita sengaja ingin menunjukkan pada orang-orang bahwa Anggia lebih unggul dari Ayuna dengan bisa memiliki Raga, pria yang dulu dikenal sebagai tunangan Ayuna. Tanpa Prita dan Bram sadari, Anggia menyaksikan perdebatan mereka. Wajah gadis itu menyendu saat sang Papa lebih membela kakaknya. Tidak ada raut kebahagiaan yang nampak dari wajah Bram menyambut hari pertunangannya. Anggia merasa, Bram lebih mementingkan perasaan Ayuna ketimbang dirinya. Di saat ia berhasil memiliki Raga, justru sang Papa mulai menjauh dan Anggia tidak menyukai hal ini. Anggia meremas jemarinya. Ia membutuhkan Raga untuk menyampaikan keluh kesahnya ini. Gadis berperawakan mungil itu bergegas menghubungi sang kekasih. Meminta Raga untuk menemuinya di sebuah Resto, sekaligus mengajak pria itu makan siang bersama. ***** "Mungkin maksud papamu baik. Dia hanya tidak ingin membuat Ayuna makin terluka. Kamu jangan dulu berpikiran buruk tentang papamu." Raga menggenggam lembut jemari Anggia. Pria itu sengaja meluangkan waktu untuk sang kekasih, meski sebenarnya jadwalnya hari ini sangat padat. Sudah beberapa hari ia tidak menemui Anggia dan Raga tidak ingin kekasihnya tersebut berpikiran dirinya sedang menghindari gadis itu, meski pada kenyataannya memang Raga sedang ingin menyendiri. Menyelami perasaannya sendiri yang entah mengapa tidak begitu antusias menyambut hari pertunangannya dengan Anggia, tidak seperti saat dirinya menyambut pertunangan dengan Ayuna. "Tapi Papa berubah, Mas. Hampir setiap hari Papa betengkar dengan Mama. Aku merasa ... kalau Papa sudah tidak menyayangi kami lagi." Anggia terisak. Raga makin mengeratkan genggaman tangannya. "Itu hanya pemikiranmu saja. Mas yakin papamu sangat menyayangimu." Raga berusaha menenangkan sang kekasih. Pria itu teringat saat Ayuna mengeluhkan hal yang sama tentang Bramantyo. Ayuna pun merasakan hal yang sama dengan Anggia saat ini. Merasa tersisihkan saat sang Papa lebih mementingkan Anggia, dan Ayuna dipaksa untuk tegar menghadapi kenyataan itu. Mengingatnya, hati Raga berdenyut nyeri. Jika dulu masih ada dirinya yang akan mendengar keluh kesah gadis itu, entah sekarang bagaimana cara Ayuna menghadapinya sendirian. "Jangan pernah tinggalkan aku, Mas. Aku sangat membutuhkan Mas untuk menghadapi semuanya. Aku ... aku mungkin tidak bisa hidup tanpa Mas Raga." Sisi rapuh Anggia ini yang membuat Raga iba. Pria itu merasa ingin melindungi Anggia dengan mencurahkan segenap perhatian. Penyakit yang Anggia derita telah menghilangkan semangat hidup gadis itu. Raga merasa harus mengembalikan kepercayaan diri sang kekasih agar tidak lagi merasa hidupnya tidak berguna. Ah ... iba? Benarkah rasanya pada Anggia selama ini sebenarnya hanya iba? ***** "Ma ...." Anggia membuka pintu ruangan Salma. Gadis itu sengaja datang ke Butik untuk mengajak mamanya makan siang. "Hai, Sayang." Salma tersenyum melihat kedatangan sang putri, pun dengan wanita anggun yang duduk di depan Salma. "Ini putrinya Jeng Salma?" Wanita itu menatap Ayuna kagum. "Cantik sekali," pujinya. "Iya, Jeng Miranda. Ini Putri tunggal saya, namanya Ayuna." Salma memperkenalkan sang putri. "Yuna, ayo salim sama Tante Miranda. Dia ini pelanggan tetap di Butik Mama." Yuna mematuhi perintah sang Mama. Gadis cantik berperawakan tinggi itu mencium punggung tangan Miranda. "Senang bertemu, Tante," katanya. "Tante juga senang bisa bertemu Selebgram terkenal yang kemarin-kemarin hanya bisa Tante lihat di hape. Ternyata aslinya jauh lebih cantik." "Tante terlalu berlebihan." Ayuna tersenyum canggung. "Tante kagum banget lho sama kamu. Yang kuat ya, Sayang. Tante yakin kamu wanita tangguh seperti mamamu." Ayuna paham ke mana arah pembicaraan Miranda. Gadis itu hanya bisa menanggapinya dengan senyuman tanpa berniat menjawab secara lisan. Ia tidak ingin memperpanjang bahasan tentang pertunangannya dengan Raga yang sudah batal. "Rasanya ... Tante pengen banget kenalin kamu sama Putra Tante. Siapa tahu kalian berjodoh." Miranda terkekeh. Meski terkesan becanda, tetapi sebenarnya ia sungguh-sungguh mengatakannya. Miranda terlanjur jatuh hati pada sosok Ayuna, meski baru pertama kali mereka bertemu secara langsung. "Ide bagus itu." Salma menimpali candaan Miranda. "Ngomong-ngomong putra sulung Jeng Salma sudah pulang dari luar negeri? Saya hampir lupa wajahnya. Terakhir bertemu itu waktu dia masih duduk di bangku SMP." "Itulah, Jeng. Dia memang sudah pulang dari New York. Mau papanya dia langsung terjun ke perusahaan, tapi malah senangnya keluyuran. Bahkan beberapa hari ini gak pulang-pulang," keluh Miranda. "Sabar, Jeng. Biasalah anak zaman sekarang. Susah kalau diajak serius. Tapi saya yakin dia pasti berbakat jadi pengusaha muda seperti papanya dulu," hibur Salma. "Mudah-mudahan sih begitu, Jeng." Miranda mengaminkan. "Oh ya, kalian mau makan siang? Kalau begitu saya pamit dulu. Kebetulan papanya anak-anak ngajak makan siang juga di Resto favoritnya." "Iya, Jeng. Kami memang berencana makan siang bareng. Kalau begitu, mari saya antar sampai ke depan, sekaligus saya sama Yuna juga mau berangkat. Kamu ke sini sama sopir kan, Yun?" "Iya, Ma. Dia nunggu di luar." Mereka bertiga akhirnya keluar dari ruangan Salma. Mata Ayuna mengedar mencari keberadaan Sadewa yang tadi menunggu di depan Butik mamanya. "Di mana dia, Yun? Kok gak ada?" Salma ikut mencari keberadaan Sadewa. "Tadi ada di sini kok, Ma? Apa lagi ke toilet?" "Mungkin. Kalau begitu kita tunggu saja." "Kalau begitu saya duluan ya, Jeng. Nanti kabari lagi kalau ada model terbaru." "Pasti." Senyum Salma merekah. Matanya memandangi Miranda yang berjalan menuju mobil mewah milik wanita itu. Tepat setelah mobil Miranda melaju meninggalkan Butik, Sadewa muncul dengan berlari kecil. Pria itu nampak menghembuskan napas lega begitu sampai di hadapan Ayuna. "Mas Dewa dari mana?" Sadewa menggaruk tengkuknya salah tingkah. "Maaf, Non. Tadi saya ke toilet sebentar." * * Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN