Bab 7. Canggung

1078 Kata
"Maaf kalau kamu tidak nyaman. Mas hanya tidak mau kamu sampai sakit." Raga sadar betul apa yang dikatakan Ayuna benar adanya. Sikap gadis di depannya itu memang berubah semenjak ia memutuskan pertunangan mereka. Ayuna menjadi lebih tertutup. Beberapa hari ini sosial media milik gadis itu tidak pernah menunjukkan aktivitas apa pun, dan apa yang Raga lihat saat ini bukanlah kebiasaan Ayuna. Keluar di malam hari dan secangkir kopi, adalah dua hal yang dulu sangat Raga larang demi kesehatan sang gadis. Raga ingin hubungan mereka tetap baik, meski mereka bukan lagi sepasang kekasih. Tidak bisakah Ayuna menganggapnya teman? Setidaknya, gadis itu tidak menghindarinya saat bertemu atau berpapasan dengan dirinya. "Aku bisa menjaga diriku sendiri. Jangan pernah lagi menunjukkan perhatian seperti tadi karena aku tidak ingin calon istri Mas Raga salah paham," ujar Ayuna. Gadis itu kembali menghindari tatapan Raga. "Sudah setengah jam kita di sini, tapi orang yang menjemputmu belum juga datang. Ayo, Mas antar kamu pulang." Raga tak mengindahkan peringatan Ayuna. Kekhawatirannya pada gadis ini lebih besar ketimbang rasa takut ketahuan oleh Anggia. "Mas Raga, please! Tolong jauhi aku!" Ayuna sedikit berteriak. Lama-lama sikap pria itu membuatnya muak. "Sudah kubilang aku bisa menjaga diriku sendiri! Urus saja calon istri Mas yang penyakitan itu!" Ayuna baru saja akan melangkah menjauhi Raga saat sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Gadis itu bernapas lega. Akhirnya orang yang ia tunggu datang juga. Seorang pria keluar dari mobil tersebut. Raga menyipitkan mata melihat pria yang tidak ia kenal menghampiri Ayuna. Baru kali ini Raga melihat pria ini. Dari segi penampilan, jelas ia lebih unggul. Namun, ia akui wajah sang pria sangat tampan. "Maaf saya terlambat, Nona." Pria itu sedikit membungkukkan badan. "Gak papa, Mas Dewa. Kita pulang sekarang." Dewa bergegas membukakan pintu untuk sang majikan. Ayuna memasuki mobil tanpa menoleh terlebih dahulu pada Raga, apalagi berpamitan pada mantan kekasihnya tersebut. "Tunggu." Raga menahan Dewa yang baru saja menutup pintu mobil bagian belakang di mana Ayuna duduk di sana. "Ya?" "Kamu siapa? Saya baru pertama kali melihatmu." Dewa tersenyum. "Saya sopirnya Non Yuna," jawabnya. Raga akui pembawaan pria ini cukup tenang. "Sopir? Lalu Pak Kardi?" "Saya putranya. Untuk sementara saya yang akan menggantikan dia." Raga meneliti penampilan Sadewa. Pria ini tidak ada kemiripan sama sekali dengan Pak Kardi. Dewa terlalu tampan untuk ukuran seorang sopir, dan Raga tidak nyaman karenanya. Setiap hari Ayuna akan bertemu dengan Sadewa dan bisa saja mereka menjadi makin dekat. Ah, Raga segera menepis pemikiran gila yang sempat melintas. Mana mungkin Ayuna akan menjalin hubungan dengan anak dari seorang sopir? Papanya Ayuna pasti tidak akan membiarkan hal itu sampai terjadi. "Saya titip Ayuna. Pastikan dia baik-baik saja sampai di rumah." Satu alis Sadewa terangkat. Pria ini memintanya menjaga Ayuna? Tanpa pria itu minta, tentu saja akan ia lakukan karena sudah menjadi tugasnya. "Anda tenang saja. Saya akan menjaga Non Yuna lebih dari menjaga diri saya sendiri." Ah, kedengarannya terlalu berlebihan di telinga Raga. "Permisi." Raga mengangguk. Pria itu menatap mobil Ayuna yang makin menjauh. Entahlah. Hatinya tidak rela menyaksikan mantan kekasihnya pergi dengan pria lain, meski pria tersebut hanya sebatas sopir. "Ada apa dengan hatiku? Bukankah aku sudah yakin lebih memilih Anggia?" Raga bermonolog. Merutuki diri yang masih saja mengkhawatirkan Ayuna. ****** "Nona butuh ini?" Sadewa menyodorkan tissu ke hadapan Ayuna. Sepanjang perjalanan, pria itu memperhatikan putri sang majikan yang sedang menangis di bangku belakang. Sengaja ia menghentikan mobil agar bisa berbicara dengan sang gadis. Ayuna menatap tissu yang diulurkan Dewa, kemudian mengambilnya dengan sedikit ragu. "Terima kasih," lirihnya. Sadewa tersenyum. Pria itu memperhatikan Ayuna yang sibuk menghapus air mata. "Maaf, Mas Dewa harus melihat saya seperti ini. Saya ... saya hanya--" "Tidak apa-apa. Kalau dengan menangis bisa membuat Nona lebih lega, maka lakukanlah. Saya akan setia menunggu sampai Nona jauh lebih tenang." Tangis Ayuna kembali pecah. Ia sama sekali tidak peduli jika Sadewa menganggapnya cengeng. Perhatian dari Raga membuat Ayuna kembali mengingat masa-masa indah mereka. Bohong jika Ayuna berkata sudah benar-benar ikhlas melepas Raga. Pada kenyataannya, hampir setiap malam ia tidak bisa tidur mengingat sebentar lagi pertunangan mantan kekasih dengan adiknya akan digelar. "Apakah rasanya sangat menyakitkan?" Ayuna mendongak. Matanya berserobok dengan mata pria yang sedang memperhatikannya. "Maksud, Mas Dewa?" Ayuna tidak mengerti maksud ucapan sang sopir. "Apakah sangat menyakitkan saat orang yang kita cintai lebih memilih orang lain?" Sadewa mengulang pertanyaan. "Mas Dewa tahu masalah saya?" Sadewa mengulas senyum dan mengangguk. "Berita batalnya pertunangan Nona sudah tersebar. Saat tentu tahu karena saya salah satu penggemar berat Nona." Ayuna terkekeh. Miris. Ternyata berita tentang dirinya dan Raga yang batal menikah sudah tersebar makin luas. "Sakit. Sangat sakit, apalagi orang yang telah merebut calon suami saya adalah adik saya sendiri." Tatapan Sadewa menyendu. Ah, andai saja posisinya bukan seorang sopir, ia ingin menawarkan bahu agar sang gadis bisa bersandar padanya. Namun, ia sadar siapalah dirinya. Terkesan lancang jika ia sampai melakukan hal itu. "Mas Dewa juga pernah patah hati?" Ditanya seperti itu, Sadewa menggaruk tengkuknya. "Pernah," jawabnya lirih. "Iyakah?" "Ya. Seperti halnya Nona, pacar saya juga lebih memilih orang lain." Ayuna terperangah. "Pria setampan Mas Dewa juga diselingkuhi?" "Begitulah." Sadewa terkekeh. "Nona jangan bilang saya tampan. Saya jadi tersanjung dipuji oleh gadis secantik Anda." Senyum Sadewa menular pada Ayuna. Gadis itu hampir lupa bahwa dirinya baru saja menangisi Raga. "Serius. Mas Dewa ini tampan, lho. Bodoh banget cewek itu," ujarnya dengan mencebik. Sadewa tidak menjawab. Pria itu lebih fokus memperhatikan sang gadis yang sudah bisa tersenyum. "Teruslah seperti ini. Nona jauh lebih cantik saat tersenyum." Ayuna terpaku. Ucapan Sadewa beserta tatapan lembut pria itu membuatnya merasa canggung. ***** "Kamu mau ke mana, Ga?" Raga menghentikan langkah. Pria yang baru saja berlari menuruni tangga itu menoleh ke arah papanya yang duduk di ruang tamu. "Raga mau melihat kondisi Ayuna. Dia sakit, Pa. Pasti karena semalam." "Ayuna?" Pras -- papanya Raga menautkan alis. "Ya. Tadi asistennya bilang penyakit lambung Ayuna kambuh. Aku harus memeriksa kondisinya." Raga bersiap melangkah, tetapi lagi-lagi ditahan sang Papa. "Jangan lagi temui dia, Ga. Ayuna sakit pasti sudah ada yang mengurusnya." "Tapi Raga harus memastikan baik-baik saja, Pa." Raga bersikeras. "Dia pasti baik-baik saja. Kenapa kamu masih mengkhawatirkan dia? Kamu tidak punya hak atas dirinya setelah kamu memutuskan lebih memilih adiknya." Pras mendekat ke arah sang putra. Pria itu menepuk bahu Raga yang bergeming setelah mendengar ucapannya barusan. "Kamu mengkhawatirkan kondisi fisik gadis itu. Lalu bagaimana dengan hatinya yang sudah kamu sakiti sedemikian rupa? Belajarlah konsisten pada pilihanmu, Ga. Dua hari lagi pertunanganmu dengan Anggia. Fokuslah pada gadis itu yang menurutmu lebih baik dari Ayuna." * * Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN