Kabar tentang kerja sama Firgi dengan perusahaan Cahaya Pictures telah sampai ke telinga Alara dan Rega.
Alara sama sekali tidak takut, justru semakin terpacu untuk menunjukkan pada mereka, kalau dia bisa membangun Alba lebih dari mereka.
"Aku sangat paham orang seperti apa Firgi itu, ambisius dan manipulatif aku sangat muak berurusan dengannya," ucap Rega.
"Bagi mereka kita adalah musuh, tapi bagi kita, mereka adalah saingan. Sebagai saingan, kita harus menampar mereka dengan kesuksesan." Tujuan Alara adalah membalas perbuatan Angkasa, ia ingin mantan suaminya itu menyesal dan mengembalikan di posisi empat tahun yang lalu.
Oleh sebab itu dia berjuang keras untuk memulihkan nama Alba Pictures. Supaya meraih kejayaan seperti dulu kala, saat papanya masih muda dan belum memiliki masalah begitu rumit dengan istri mudanya.
"Jadi mereka, aktor-aktor yang kamu ingin kenalkan padaku?" Alara duduk mengamati para aktor yang sedang casting film.
"Aku sering mengundang mereka untuk peluncuran produk baru, setelah kehadiran mereka produk-produkku juga laris."
"Oh ya? Bukankah kamu memilih mereka karena tertarik dengan bodynya? Tidak usah menutupi lagi, aku tau kamu selama ini—" mulut Alara langsung dibungkam oleh Rega yang tidak ingin suara Alara didengar orang-orang di sekelilingnya.
"Berhenti menuduhku seperti itu, atau kalau tidak aku akan membuktikannya di atas ranjang denganmu? Kamu akan tau seberapa gentle nya aku."
Alara begitu bersemangat bekerja hingga tidak memiliki waktu untuk mengobrol dengan Rega. Dia terjun ke lapangan langsung, untuk memilih pemeran-pemeran yang sesuai dengan keinginannya.
Sedangkan Rega pria tinggi memakai stelan jas berwarna abu-abu yang tampak ketat di badannya itu, terus saja mengekor padanya, padahal walau tidak ikut pun tak jadi masalah.
"Kalau Jordan bagaimana? Sepertinya dia lebih mendalami peran dibanding Aaron," ucap Agam, sutradara film yang akan mereka garap. "Tapi untuk protagonisnya, aku belum menemukan permeran yang tepat sesuai karakter dalam cerita."
"Tidak apa, aku akan coba cari sendiri pemeran yang pas untuk film ini. Lanjutkan lagi castingnya, ingat, kamu harus sangat selektif memilih pemeran, walau mereka hanya pemeran pembantu."
"Siap, Bu Alara."
"Sudah jam satu, bagaimana kalau kita makan siang lebih dulu?"
Sebenernya alasan Alara menyibukkan diri bukan hanya ingin membalas penghinaan keluarga Angkasa, tapi juga karena ingin melupakan Yara, yang biasa ada di sampingnya.
Gadis itu terlalu lucu dan menggemaskan untuk dilupakan. Sampai Alara terus terbayang-bayang saat sendirian.
"Kamu tidak mendengar ajakan ku, Alara?" tanya Rega ulang.
Alara langsung menoleh. "Mengajak apa?"
Menarik napas dalam. "Bagaimana kalau kita menikah?"
"Hah?" Di depan sutradara dan manager Alara gelagapan malu sendiri. Wajahnya memerah melihat mereka menahan senyum ingin menertawakannya.
"Jangan sembarangan bicara, Rega!" kesalnya.
Rega terkekeh melihat perempuan memiliki tinggi di bawah dagunya itu kesal padanya.
"Aku hanya mau makan siang denganmu, Alara. Sepertinya kamu sangat lelah, tubuhmu akan semakin kurus kering kalau tidak makan. Percuma banyak uang, kalau sakit-sakitan, kan?"
"Lebih baik kamu saja makan sendiri, aku masih sibuk. lagi pula keberadaan kamu tidak diperlukan kan, di sini?"
Tanpa aba-aba tiba-tiba Rega mengangkat tubuh Alara, hingga membuat mata perempuan itu membulat.
"Rega, jangan membuatku malu di depan mereka, turunkan aku!" Alara memukul-mukul d**a Rega memberontak.
Namun Rega tak peduli terus membawa pergi. Sopir pribadinya sangat cekatan membukakan pintu bagian penumpang. Rega membawa Alara masuk kemudian pintu tertutup.
"Pak jalan ke restoran biasa!" perintah Rega. Tangannya lurus di atas sandaran kursi. Dia berjaga-jaga kalau Alara ingin memberontak, langsung memeluk.
Mereka pergi ke restoran untuk makan siang. Alara memesan udang goreng, sup konro, dan perkedel. Semenjak menikah, itu adalah makanan favoritnya, lidahnya sudah masuk selera masakan ala rumahan.
"Makan yang banyak, biar maag mu tidak kambuh."
"Dari mana kamu tahu kalau aku punya sakit maag?" tanya Alara heran.
"Dari bentuk tubuhmu, yang kurus dan kering." Rega mengunyah makanan lalu menelan, melihat Alara.
"Ada sekitar 2, 1 juta orang dari jumlah penduduk di Indonesia menderita maag, tapi hanya sepersekian saja yang sadar. Salah satu contoh orang yang nggak sadar itu adalah kamu. Pasti suamimu dulu jarang memberimu perhatian, sampai tubuhmu tak terawat seperti ini."
Alara menatap tidak suka, mendengar nama suami, seketika napsu mekannya hilang. Ia meletakkan sendok di atas piring.
"Apa aku menyinggungmu? Oh, sorry, aku tak bermaksud untuk menyakitimu."
Tiba-tiba Arhan datang menghampiri mereka, dia mengatakan ada klien yang sedang menunggu di halaman parkir ingin bicara penting dengan Rega.
Kini Alara duduk sendiri di dalam restoran sambil memeriksa pekerjaan dari handphone-nya.
Saat ia melirik ke kanan, secara tidak sengaja melihat Gania bersama laki-laki bicara sangat akrab, sambil makan dengan posisi deket jendela yang menghadap ke luar.
"Gani sedang apa di Jakarta, dan sendirian?" Saat Alara melihat laki-laki yang bersama Gani beranjak pergi.
Alara datang menghampiri Gania, membuat perempuan itu seketika kaget.
"Alara, kamu membuntutiku?" tanya Gani ketus.
Alara menggeleng terkekeh, perempuan yang sudah menjadi istri Angkasa ini selalu saja berpikiran buruk padanya.
"Alasanku mau bicara denganmu adalah karena ingin bertanya tentang Yara, aku ingin memastikan kalau kalian merawat dia dengan benar."
Gani menyeringai, memandangnya sinis. "Yara? Kamu pikir aku tidak tahu dengan rencana mu? Kamu bertanya tentang Yara, supaya dekat dengan kami lagi, kan?"
Alara mengelak, dia menurunkan ego mau bicara dengan perempuan yang menyakiti perasaannya karena sangat merindukan Yara. Tapi Gania tak ingin memberitahunya.
"Setelah mendapatkan investor kemarin kamu jangan terlalu bangga, Alara. Karena kamu orang rendahan tidak mungkin bisa bersaing dengan kami! Aku tahu, perusahaan Kristal memihak padamu bukan karena prestasi, dan karya kamu. Tapi karena berkat rayuan mu."
"Kalau ngomong dijaga, Gani!"
"Tidak diragukan lagi, kalau orang sepertimu rela menukar tubuhmu hanya untuk mendapatkan posisi yang kamu dapatkan sekarang!"
Plak!
Alara menampar dengan keras pipi kanan Gania hingga meninggalkan bekas kemerahan.
"Jangan pikir aku diam, tidak mengerti apa-apa tentangmu, Gania! Kamu pikir aku tidak tahu, belakang ini perusahaan ayahmu bangkrut, kalian kesulitan uang, dan bahkan tidak sanggup lagi membayar uang kuliahmu di Amerika?" Alara berdiri lebih dekat dengan telinga Gania.
"Kamu memiliki scandal dengan seorang Dosen, kan, supaya membantumu sampai bisa lulus? Lalu, sarjana gelar apa yang kamu dapatkan sekarang? Merebut suami orang?"
Gania sangat geram, dua tangan mengepal.
"Dasar tidak tahu diri, aku tidak salah, karena mendapatkan apa yang seharusnya kudapatkan! Sekarang kamu merasa tersakiti, lalu bagaimana dengan aku tiga tahun lalu, yang menangis sendirian di kamar saat kalian menikah! Kamu tidak tau malu, terus saja menggoda Angkasa!"
Satu tangan Gania terangkat ingin membalas menampar Alara. Namun dengan tiba-tiba ditangkap oleh tangan kekar Rega.
"Tidak ada satu pun yang boleh menyentuh apa yang sudah menjadi milikku. Atau akan berurusan denganku?" Rega menakan tangan Gania, hingga membuat si pemilik meringis, detik kemudian menghempaskan kasar.
Arhan yang berdiri di belakang, hanya tertunduk menyaksikan kemarahan sang CEO.
Gania melirik kesal, ingin melawan tapi kekuatannya tidak sebanding. Dia memilih meninggalkan lokasi, dengan rasa marah pada mereka berdua.
Alara duduk di kursi dengan napas terengah-engah. Rega langsung menyuguhi sebotol air meneral.
"Terima kasih," ucap Alara menenggak air hingga tersisa setengah.
"Sudah tidak perlu memikirkan pertengkaran kalian tadi. Dan kamu juga tidak perlu menunjukkan siapa dirimu pada mereka yang tidak menyukaimu. kamu tinggal konsentrasi dengan film Mantan Adalah Petaka, ada hal yang harus kamu kerjakan."
Arhan berdehem maju mendekat pada sang Bos. "Maaf Pak, Anda mengingat orang lain, tapi Anda lupa dengan tugas bapak sendiri, sekarang kita ada meeting dengan Pak Haris," ucapnya.
Alara melirik sambil terkekeh. Dia beranjak meninggalkan Rega.
"Alara kita datang sama-sama, maka kembali juga bersama." Menoleh pada Arhan kesal. "Ah, ini gara-gara kamu! Sekarang batalkan saja meeting itu, aku tidak ingin datang!"
Rega memilih mengejar Alara dari pada melakukan meeting dengan pemilik perusahaan yang datang dari Malaysia.
Arhan mendesah kesal, berkacak pinggang menghadapi bosnya itu.