Semenjak pertemuannya dengan Alara di meeting, Angkasa menjadi uring-uringan.
Tidak terima dengan kekalahan yang dia dapatkan, dan surat cerai itu, harusnya Angkasa yang menggugat Alara bukan sebaliknya. Yang lebih membuatnya kesal lagi, Alara secepat itu menemukan pengganti dirinya yang jelas-jelas belum resmi menceraikannya.
"Ternyata benar yang dikatakan Arun, Alara pergi bersama laki-laki lain, buktinya dia dengan terang-terangan mengakui Raga Fahreza sebagai calon suaminya."
Di meja makan Angkasa terus saja memikirkan kata-kata Alara kemarin.
Padahal ada Karina dan Gania bersamanya.
Makanan dihidangkan oleh Arun sama sekali tidak menarik seleranya. Alara memang baru masih tergolong pemula dalam hal memasak, tapi masakannya tak kalah enak dengan masakan yang disajikan Arun satu minggu belakangan ini.
“Mama dengar cerita dari Gania, kalian kemarin gagal mendapatkan investor ya, Angkasa?”
Angkasa melirik Gania yang duduk Anggun di sebelah sang mama sambil menyantap makanan. Ia tidak menyangka, kalau Gania dengan cepat memberi informasi untuk sang mama.
“Kamu tidak boleh kecewa begitu, Angkasa. Kamu lupa perjuanganmu selama tiga tahun ini? kamu tidak menyerah walau mendapat penolakan dari satu Perusahaan, kamu terus melanjutkan sampai berhasil membuat film pertamamu, kamu ingat?”
Angkasa ingat itu, tapi juga ia tak bisa menolak lupa, kalau Alara selalu memberi support dan ide-ide cerita hingga dia lembur jarang tidur saat mengikuti festival film supaya masuk bioskop besar.
hingga film karya Angkasa meledak dipasaran tembus enam juta penonton. Semenjak itu, yang saat itu posisi Angkasa sebagai manager langsung diangkat menjadi direktur Cahaya Pictures.
Rasanya seperti mimpi Angkasa berada di posisi sekarang, oleh sebab itu Angkasa sekarang harus mati-matian mempertahankan posisinya.
Setelah gagal mendapatkan investor kemarin, kini ia berkerja keras lagi hingga waktunya dihabiskan di depan layar laptop di kantornya.
Gania masuk membawa secangkir kopi, dengan tubuhnya yang tinggi ia berjalan berlenggok kemudian menyandarkan pinggul di pinggiran meja di hadapan Angkasa. “Minum dulu kopinya sebelum dingin,” ucapnya.
“Taruh saja disitu.” Tangan Angkasa sibuk mengetik di atas keybord tanpa melirik Gania sedikit pun.
Hingga membuat Gania mendesah kesal, tiba-tiba menutup layar laptop kemudian melipat tangan di depan dadanya.
“Apa-apaan kamu, Gani? Aku belum selesai—”
“Selesai apa, hem? Sudah tinggalkan itu, duduk manis minum kopinya. Aku punya kabar baik buat kita.”
Angkasa yang dipaksa duduk sambil meminum kopi mengerutkan dahi tidak mengerti. “Gania, aku tidak bisa santai begini, sebelum mendapatkan sinopsis film yang bagus.”
“Sudah kubilang, jangan mengganti sinopsis ceritanya lagi, cerita kita sudah paling bagus di filmkan, Frist Love, itu judul yang bagus, kan? Tadi baru saja, Pak Firgi dari Perusahaan Aurora Grub menghubungi aku, dia mengatakan, setelah mendengar Rega pemilik Perusahaan Kristal Grub itu berpihak pada Alba, maka dia memutuskan untuk memberikan kesempatan Perusahaan kita. Dan nanti sore pak Firgi minta ketemu sama kamu, kita akan menanda tangani kontrak kerja sama dengan perusahaannya.”
Angkasa langsung tersenyum. Menyeruput kopi yang masih mengepulkan asap meliuk-liuk putih dari permukaan cangkir. Semangatnya tiba-tiba kembali sepenuhnya, ia beranjak mengecup dahi Gania. “Terima kasih, Sayang, pasti kamu menggunakan kepintaran kamu untuk merayu Pak Firgi?”
Gania menyunggingkan bibir. “Aku hanya bertemu dengan orang yang tepat saja, kebetulan Pak Firgi tidak begitu menyukai Perusahaan Alba, jadi dia mengajak kita bersaing dengan mereka. Karena tujuan kita sama, sama-sama di atas mereka.”
Angkasa tersenyum, melingkarkan kedua tangannya memeluk Gania. “setelah tanda tangan kontrak, kamu mau apa dariku?” tanyanya mesra.
Tatapan Gania mendadak sayu. “Aku tidak menginginkan apa pun, kecuali kamu sendiri. Menikah denganmu saja sudah merupakan anugrah dan harta tak ternilai hargannya, jadi apa lagi yang aku butuhkan?”
***
Angkasa ditemani Gania pergi menemui Firgi di kantornya, mereka melakukan kerja sama. Firgi meminta Angkasa untuk tidak mengecewakannya, karena mereka harus bersaing dengan Perusahaan Alba Grub.
Mulai saat itu juga, Angkasa dan Gania bekerja sangat sibuk, mengontrol anak buah mereka supaya mendapatkan hasil yang bagus.
Mereka berdua pergi pagi, pulang hingga tengah malam. Pada saat sampai di rumah, tenaga seolah tak tersisa lagi.
Angkasa baru saja turun dari mobil, duduk di sofa dengan rasa tubuh sangat lelah, melepaskan dasi kemudian kaos kakinya. Gania pun sudah tidak menghiraukannya lagi langsung masuk ke dalam kamar.
Tiba-tiba Angkasa ingat, biasanya dulu saat Alara masih tingga di sini, begitu melihat ia datang langsung menyambutnya dengan cium tangan, kemudian menyambutnya hangat, bercerita tentang kejadian-kejadian ketika Angkasa tidak ada di rumah. Walau hanya mendapatkan jawaban, ‘ya’ itu sudah membuatnya senang. Tapi sekarang? Rumah sangat sepi, tidak ada Alara yang cerewet mengatur-ngatur tata letak barang.
Namun, inilah resikonya kalau memiliki istri wanita karier, Gania memang tidak seberapa memikirkan rumah, tapi dia bekerja keras untuk membantunya di Perusahaan.
“Papa….”
Angkasa terkejut melihat Yara tiba-tiba duduk di sampingnya. Sudah lama, Angkasa tidak duduk berdekatan dengan putrinya itu seperti ini. “Yara belum tidur?” tanyanya.
Gadis kecil rambut lurus pendek sepundak sudah lengkap memakai piyama hijau itu menggeleng. “Yala mau mama.”
“Yara mau sama mama? Ya sudah datang saja ke kamar, mau baru saja sampai, pasti belum tidur. Sus, bawa dia ke kamar mamanya."
Yara menggeleng. “Yala da mau sama mama yang tuh, Yala mau sama mama Ala.”
“Beberapa hari ini Non Yara selalu tidur larut malam, Pak. Yara selalu pergi ke kamar depan cari mama Ala,” ucap pengasuh Yara yang berdiri di samping sofa.
Mama Ala adalah panggilan keseharian Yara pada Alara. Sebelumnya mereka sangat dekat, Alara selalu membawa Yara ke mana pun saat dia pergi baik ke mall mau ke pasar. Merawatnya sejak bayi menjadikan mereka seperti anak dan ibu kandung.
“Biarkan saja kalau dia belum ngantuk, yang penting kamu jangan tidur duluan sebelum dia. Dan soal cari Mamanya, kamu juga nggak perlu anggap serius, dia Cuma anak kecil, lama-lama juga akan lupa, kamu harus jaga dia, kasih dia perhatian sampai dia nggak ingat sama orang yang dia cari.”
Pengasuh Yara mengangguk. “Baik Pak.”
“Mbak cubit Yala, yakit,” celetuk Yara.
“Astaga, Sayang, aku nungguin kamu dari tadi masih di sini?” Tiba-tiba Gania menghampiri mereka.
Membuat obrolan Angkasa dan Yara teralihkan.
Pengasuh langsung menggendong Yara membawanya ke kamarnya.
“Dia kenapa?” tanyanya sambil melihat Yara di atas gendongan.
“Yara mencari Alara, semenjak Alara pergi dia jadi sulit tidur.”
“Oh… kirain ada apa, ternyata begitu doang.” Gania menganggap enteng, dia juga tidak peduli.
“Sebagai seorang ibu kandung, apa kamu tidak ingin menyayangi Yara, seperti seorang ibu, sebagaimana mestinya, Gani? Kalian punya hubungan darah, tapi sama sekali tidak punya keterikatan. Justru Alara yang tidak punya ikatan darah, sangat menyayanginya.”
Mendengar dirinya dibandingkan dengan orang lain. Gani langsung menoleh tidak terima. “Kamu kok jadi banding-bandingkan aku begitu, Sayang? Angkasa, aku memang Perempuan yang melahirkan Yara, tapi selama ini dia nggak dalam pengasuhan aku, justru bersama Alara. Jadi wajar kalau mereka sedekat itu. tapi… hal seperti itu jangan dijadikan perbandingan dong, jelas kami tidak sama.”
“Baiklah, aku minta maaf. Kamu tahu, kan, aku sedang capek banget malam ini, jadi pikiran ke mana-mana.” Angkasa sangat khawatir melihat Gania marah.
“Bukan kamu saja yang capek, tapi aku juga. Sebagai perempuan, aku juga nggak hanya gantung kaki di atas kursi, aku bantuin kamu ke sana dan ke mari, Angkasa Malik!"
"Iya aku tau, Gani. Maaf, aku sudah bicara kelewatan."
Gani kesal menepis tangan Angkasa sambil berlalu pergi. "Setelah menikah dengan Alara kamu memang sangat berubah!"