Sasi keluar dari minimarket dengan dua bungkus roti dan satu botol air mineral. Dalam sekali putar, Sasi dapat membuka tutup air mineral tersebut kemudian meneguknya rakus. Hampir pukul dua belas siang ke sana ke sini menjual beberapa tas brandednya, akhirnya Sasi bisa istirahat juga.
Perasaan sedih atas kehilangan anak-anaknya masih berasa sampai sekarang. Ya, Sasi sudah menganggap semua barang-barangnya sangat berharga. Layaknya benda hidup, mereka Sasi perlakukan dengan baik dan penuh kasih sayang. Bahkan, Sasi juga memberi nama-nama yang unik. Seperti yang dijual hari ini, merk kate spade New York Cedar berwarna hitam yang dinamai dengan Aby dan tas Michael Kors berwarna cokelat dinamai Bee.
Sasi lupa siapa yang membelikan tapi intinya semua barang itu pasti tidak akan menyesal dimiliki oleh Sasi. Kalau tidak dalam kondisi terdesak, Sasi sampai kapan pun tidak akan menjualnya. Tetapi, di situasi ini Sasi tidak bisa tidak mengorbankan salah satu atau salah dua dari mereka, karena uang Sasi sudah kering kerontang.
Mengirim lamaran di beberapa perusahaan pun masih tidak mendapat panggilan sampai sekarang. Saat mengingat ucapan nyonya tua itu, Sasi langsung mendengkus dan perasaannya kesal setengah mati. Dasar nenek peot culas, mentang-mentang kaya raya dan berkuasa, seenaknya menindas perempuan lemah seperti Sasi hanya gara-gara suaminya yang kegatelan pada Sasi.
Bungkus roti dibuka Sasi dan aroma durian langsung tercium kuat. Sasi menggigit besar rotinya kemudian mengalihkan pandangan ke sekitar. Di kejauhan, Sasi melihat anak-anak TK dijemput para orang tuanya. Raut kebahagiaan mereka terpancar dengan jelas, ada yang melambaikan tangan tanda perpisahan pada gurunya, ada pula yang melompat senang begitu melihat orang tuanya sudah menunggu.
Pemandangan yang menyenangkan. Sasi mengingat-ingat, dulu Sasi juga pernah seperti anak-anak itu. Bedanya, Sasi sangat senang saat dijemput nenek atau kakek, bukan ayah atau ibu.
Umur Sasi sudah 25 tahun, namun pikiran untuk menikah sama sekali tidak ada. Sasi takut seperti orang tuanya, menikah sesaat lalu bercerai karena menemukan banyak ketidak-cocokan dibanding cocok. Pada akhirnya akan berpisah. Pada akhirnya, anak yang menjadi korban dan episode seperti masa kecil Sasi akan terulang lagi.
Dua roti sudah Sasi habiskan. Saat ingin membuang bungkusan beserta botol air mineral yang sudah kosong, Sasi dikagetkan dengan kedatangan anak kecil yang kini berdiri di samping Sasi. Tatapan anak kecil itu begitu lekat pada Sasi, bahkan saking niatnya, anak kecil itu sampai berkacak pinggang.
Sasi melirik ke kanan dan kiri, siapa tahu ada orang tua yang kehilangan anaknya, tapi nihil. Sasi juga memandangi pintu gerbang sekolah TK dari kejauhan, namun tidak ada tanda-tanda guru panik kehilangan salah satu murid.
Awalnya Sasi acuhkan saja dan fokus pada niat awal untuk membuang sampah pada tempatnya. Tapi yang aneh, anak kecil itu membuntuti Sasi. Langkah Sasi ke kiri, maka ikut ke kiri. Kalau Sasi ke kanan, maka ikut juga ke kanan. Terakhir saat Sasi kembali duduk, anak itu hanya berdiri, tapi masih dengan menatap Sasi.
Merasa jengah, akhirnya Sasi bertanya, “Ada apa?” Jujur saja, Sasi tidak menyukai anak kecil. Mereka nakal dan menyebalkan. Mereka suka sekali mencari perhatian dan akan menangis kalau permintaannya tidak dituruti. “Mama kamu mana? Ngapain mandangin aku?”
Bukannya menjawab, anak kecil itu malah mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri, “Namaku Liam Keizaro Bamantara. Tante mau jadi nanny-ku?”
Sontak saja Sasi langsung menyentil kening anak kecil yang bernama Liam itu. “Sembarangan! Tampang cantik begini kamu bilang pantas jadi pengasuh. Pergi sana!”
“Aku serius. Nanny yang biasa mengasuhku sekarang sudah berhenti karena disuruh pulang ke kampung sama anaknya. Daddy sibuk bekerja dan aku merasa kesepian belakangan ini. Dari kejauhan aku sudah melihat Tante dan kupikir Tante sangat cocok denganku.”
Astaga, siapa orang tua dari anak ini? Kenapa cara bicaranya seperti orang dewasa, bahkan gerak-geriknya pun sama? Sasi menggeleng-geleng kemudian meraih tasnya lalu berdiri. “Sana balik gih! Nanti kamu dicariin. Aku mau pulang.”
Saat Sasi menjauh, di luar dugaan ternyata Liam masih membuntuti, bahkan memanggil-manggil, “Tante, please jadi nanny-ku. Tante cantik dan aku sangat yakin daddy pun berpikiran sama. Tante pasti akan diterima tanpa harus dites macam-macam.”
Langkah Sasi terheti dan Sasi menoleh. “Liam, mending kamu balik. Nanti ada yang nyariin dan aku nggak mau dituduh penculik anak kecil.”
“Nggak mau! Bu guru genit sama daddy. Tante mau nemenin aku sebentar menunggu daddy? Kalau taawaran nanny masih ditolak, setidaknya tetap bersamaku beberapa belas menit. Aku butuh teman bicara sampai daddy datang menjemputku.”
Belum Sasi menyahut, dari kejauhan terlihat seorang perempuan berteriak memanggil nama Liam dan berlari tergopoh-gopoh untuk menghampiri. Sasi yakin itu guru Liam, tapi herannya Liam malah memilih bersembunyi di belakang Sasi sambil memegang ujung dressnnya.
“Tante, aku nggak mau sama bu guru. Dia sering nyari perhatian kalau bertemu daddy, aku nggak suka. Tante tolong usirin dia buat aku,” kata Liam pelan, tapi dari nada suaranya terdengar kesal sekali. “Apalagi bu guru sering nyuri kesempatan usap-usap lengan daddy. Aku memang anak kecil, tapi orang-orang dewasa tidak pernah tau kalau anak kecil pengamat dan pengingat yang bagus.”
Sasi mendengkus lalu menarik Liam agar ke luar dari persembunyiannya. “Nggak ada hubungannya denganku. Kamu suka atau tidak dengan gurumu, itu terserah padamu. Aku mau pulang. Jangan menahanku lagi, Liam.”
Ketika Sasi melangkah, Liam menarik tangan kanan Sasi. Tapi, yang dilihat guru Liam justru sebaliknya. Ketika tiba, guru Liam dengan lancang menyentak tangan Sasi lalu memelototinya. “Anda mau menculik murid saya! Diam di sini dan saya akan melaporkan kejahatan Anda pada polisi!”
Oh, lihat, pantas saja Liam tidak suka, perempuan mengenakan batik dan rok hitam di atas lutut ini jelas-jelas perempuan yang sering terpancing emosinya dan memiliki pikiran yang pendek. Nyata-nyatanya Liam yang menarik Sasi, tapi yang dituduh malah sebaliknya.
“Di tampang saya tidak ada tulisan penculik anak kecil, ya, Bu. Jadi, jangan sembarangan menuduh,” jelas Sasi kesal. “Lagian, kok bisa-bisanya biarin murid berkeliaran ke luar sendirian? Ini kalau dikasih tau ke orang tuanya, Anda bisa dimarahi atau dituntut, lho.”
Raut si ibu guru langsung pias dan bicaranya tergagap-gagap. “Itu ... tadi ... saya–”
Bunyi klakson membuat Sasi menoleh, sebuah range rover putih terlihat menepi tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Masih dengan mengamati, Sasi tiba-tiba dikagetkan oleh Liam berseru, “Itu daddy, Tante!”
Daaaaan ... pemilik mobil itu keluar. Seperti slow motion, dari membuka pintu, menapakkan kaki di aspal lalu berdiri tegap. Sasi yang menyaksikan dari awal kontan langsung terperangah dan mulutnya tiba-tiba mengering. Holy s**t! Itu adalah pria pemilik ciuman panas yang pernah Sasi cicipi. Double s**t lagi, dia memiliki anak!
***
Segelas teh yang uapnya masih mengepul diletakkan di depan Sasi. Yang menyeduhkan tidak lain dan tidak bukan adalah daddy-nya Liam. Iya, Sasi di rumah mereka. Jangan kaget. Kalau bukan atas kemauan Liam, Sasi pasti tidak akan sudi ikut ke sini. Sekarang bocah itu tertidur dengan enaknya, meninggalkan Sasi berduaan dengan sang daddy yang super hot ini.
Kondisinya kini sudah berbeda. Pemilik ciuman dasyat malam itu adalah orang yang sudah menikah dan memiliki anak, Sasi tidak boleh tergoda dan tertarik untuk yang kedua kali. Karena menghancurkan rumah tangga orang lain tidak terdaftar dalam rencana hidup Sasi. Beda cerita kalau pria kissable ini masih sendiri, maka tidak perlu disuruh Sasi akan tancap gas tanpa kasih kendor.
“Apa kita pernah bertemu?” tanya daddy-nya Liam dengan kening berkerut. Ngomong-ngomong Sasi belum tahu namanya siapa, jadi secara refleks Sasi memanggil dengan nama daddy-nya Liam. “Apa Anda teman anak saya? Ini pertama kalinya Liam dekat dengan orang lain, kecuali keluarganya sendiri. Biasanya Liam tidak suka orang asing, tapi rupanya itu tidak berlaku dengan Anda.”
Diam-diam Sasi mendengkus. Sekarang bicaranya panjang kali lebar kali tinggi, mengingat yang di club malam itu Sasi-lah yang lebih mendominasi pembicaraan. Ah, satu lagi yang membuat Sasi kesal, daddy-nya Liam yang kissable ini melupakannya.
Poor Sasi. Di saat rasa bibir itu masih membayang-bayangi Sasi, pria di depannya ini malah dengan gampang bertanya, ‘apa kita pernah bertemu?’. Serius, Sasi sangat ingin menerjangnya sekarang juga, untuk mengingatkan sekaligus memberi salam lagi di pertemuan kedua mereka.
“Liam sudah menjelaskan tadi, katanya gurunya sempat salah paham dan menuduh Anda mau menculik Liam. Saya sebagai orang tua Liam meminta maaf.”
“Tidak perlu. Saya hanya kebetulan bertemu Liam dan entah kenapa Liam membuntuti saya. Itu saja, selebihnya tidak ada lagi. Seharusnya Anda tidak perlu mengajak saya sampai ke sini.” Buru-buru Sasi meminum tehnya kemudian berdiri. “Saya langsung pulang saja. Tidak ada lagi ‘kan yang perlu Anda sampaikan? Karena yang tadi bukan masalah besar, seharusnya tidak ada lagi.”
Kening Daddy-nya Liam berkerut seolah sedang mengingat-ingat sesuatu, Sasi berusaha mengabaikan itu dan harus segera pergi dari sini. “Saya akan pulang. Terima kasih untuk tehnya. Tidak perlu mengantar saya.”
“Tunggu, saya belum memperkenalkan diri.”
Kedua tangan di sisi tubuh Sasi langsung mengepal. Sasi membatin, aduh daddy-nya Liam, kalau distopin gini bakalan panjang urusannya. Gimana kalau yang tadi niatnya nggak mau nikung suami orang jadi berubah? Atau, gimana kalau terjadi ciuman panas jilid dua?
“Saya Yudistira Bamantara.” Tangannya terulur di samping Sasi setelah bangkit dan mendekat. “Mungkin nanti kemungkinan kita bertemu akan kecil. Tapi, tidak ada salahnya saling memperkenalkan diri.”
Sasi menggigit bibirnya sebelum menoleh. Ingat, ya, daddy-nya Liam aka Yudistira, Sasi sudah menahan diri dari tadi. Kalau pertahanan Sasi jebol, itu berarti salah Anda. “Sasikirana Cicilia,” jawab Sasi yang juga balas menjabat.
Daaaan, di sinilah ingatan itu muncul. Bola mata Yudistira langsung membesar, tangan yang saling bertaut tadi segera ditarik dan berganti dengan tunjukkan mengacung tepat di depan wajah Sasi. “Anda perempuan yang mencium saya di club malam itu, kan?”
***