Suara tamparan menggema di dalam ruangan. Wajah Sasi sampai tertoleh, bahkan kupingnya terasa berdenging saking kerasnya tamparan tersebut. Rasa panas perlahan menjalar dan Sasi yakin pipinya memiliki bercak kemerahan sekarang.
“Dasar perempuan jalang! Berani-beraninya kau menggoda suamiku! Pergi dari sini dan mulai sekarang kau dipecat!”
Di dalam ruangan direktur utama ini ada tiga orang, Sasi, wanita yang sedang meluapkan kemurkaannya dan seorang pria yang terlihat pasrah, dengan keadaan kepala tertunduk dalam. Perilaku pengecut memang seperti itu.
“Kau salah berurusan denganku. Sekali kau diusir dari perusahaan ini, maka kau tidak akan bisa diterima di mana-mana lagi. Selamat datang di dunia penderitaanmu, perempuan murahan!”
Sasi hanya mendengkus tidak peduli sambil memegangi pipinya. “Ada yang perlu Anda ketahui, Nyonya Tua,” tekan Sasi di dua kata, ‘Nyonya Tua’, karena memang kenyataanya wanita di depannya ini memasuki awal 40 tahun, sedangkan suaminya berusia 35 tahun. “Anda tidak menarik lagi. Tubuh Anda berlemak dan bergelambir di mana-mana. Suami Anda masih memiliki jiwa menggebu-gebu, jadi wajar saja mencari kesenangan dengan perempuan cantik dan muda seperti saya.”
“Jalang sialan!” Saat wanita itu bersiap akan menerjang Sasi, suaminya-lah yang lebih dahulu bergerak untuk menghentikan. “Sayang, apa yang dikatakan Sasi itu hanya omong kosong. Tidak ada yang terjadi di antara kami. Percayalah.”
Nyaris saja Sasi terbahak mendengar itu. Apa katanya tadi? Tidak ada yang terjadi? Lalu, pesan yang penuh rayuan itu apa? Ajakan makan malam berdua sampai memohon-mohon itu apa? Wah, wah, pria semacam ini adalah pria yang menjijikan. Memang sangat pantas Sasi memilih menerima tawarannya hanya untuk menguras semua uangnya saja.
“Baiklah. Untuk Bapak–ah, tidak, Tuan Bara terhormat, terima kasih kartu kredit dan semua barang-barang branded yang Anda kasih secara cuma-uma pada saya. Senang bisa mengenal Anda. Kalau merasa jenuh lagi dengan wanita tua ini.” Sasi langsung melirik ke arah wanita itu dan mengejeknya terang-terangan. “Kirim pesan seperti sebelumnya pada saya, dengan syarat, setujui apa pun yang saya minta. Terima kasih sudah menjadi bos yang dermawan, saya permisi.”
Sasi berbalik dan berjalan dengan anggun keluar dari ruangan. Teriakkan penuh amarah yang memekakkan telinga menjadi lagu pegantar kepergian Sasi. Ini bukan kali pertama terjadi, Sasi sudah mengalaminya beberapa kali. Di lingkungan kantor ini, Sasi dikenal sebagai perempuan penggoda dan bitchy di mata para kaum hawa. Padahal Sasi tidak sembarang mendekati laki-laki, tapi karena sudah di cap seperti itu, Sasi lebih baik memilih tidak ambil pusing dan mengabaikannya saja.
Lift yang baru Sasi naiki membawa Sasi menuju lantai satu. Hampir dua puluh menit berlalu, akhirnya Sasi tiba di tempat tujuan. Padahal ini masih pukul setengah sepuluh pagi, tapi Sasi malah dipecat sebelum memulai pekerjaannya.
Ya, takdir siapa yang tahu? Kemarin lumayan bersenang-senang dengan bos, sekarang dimaki-maki oleh istri bos. Pengalaman yang menantang sekaligus menyebalkan.
Kaki jenjang Sasi melangkah dengan anggun. Dadanya yang padat terlihat menonjol sekali, terlebih pakaian yang Sasi kenakan memanglah ketat. Rok di atas paha Sasi menampilkan kaki langsing yang berbalut dengan stoking hitam. Lekukan bokongnya sangat mengundang, membuat siapa pun kaum adam yang berpapasan, pasti akan jelalatan.
Jangan salahkan Sasi karena dianugerahi tubuh seperti itu. Tuhan memang memberikan sepaket, jika kelebihan Sasi ada pada fisiknya, maka kekurangan Sasi terletak pada perlilaku dan lingkungan hidupnya.
Sasi berasal dari keluarga broken home. Ayah dan ibu Sasi bercerai tepat ketika Sasi berusia empat tahun. Ayah Sasi memilih menikah lagi dengan perempuan lain, sementara ibu Sasi sampai sekarang masih bergonta-ganti suami. Tidak ada satu pun dari mereka ingin merawat Sasi, sampai nenek dan kakek Sasi yang seharusnya menikmati usia senja-lah yang merawat Sasi balita.
Lalu ketika Sasi berusia 17 tahun, kakek meninggal dan tidak lama nenek pun ikut menyusul. Dari situ hidup keras Sasi dimulai. Sasi berjuang untuk menamatkan SMA-nya, lalu mulai menjadi perempuan yang memanfaatkan kecantikannya saat kuliah.
Sasi matre dan mengincar laki-laki yang memiliki uang. Mulai dari teman seangkatan, bahkan sempat dekat dengan salah seorang dosen. Kalau ada yang bertanya, apa yang Sasi berikan sampai para laki-laki itu rela uangnya dikeruk Sasi? Nanti akan Sasi jelaskan.
Intinya Sasi itu seperti apa yang dipikirkan orang-orang tapi belum tepat. Sasi tidak berkeinginan untuk menyanggah, tidak juga membenarkan. Yang paling penting sekarang adalah, Sasi butuh uang untuk hidupnya yang hedonisme. Sasi butuh pakaian baru, butuh perawatan untuk tubuhnya dan tentunya butuh makan.
Sekarang Sasi sudah dipecat. Kalau memang tidak bisa mendapatkan pekerjaan lagi, jalan satu-satunya adalah menjadi seorang sugar baby. Tetapi, Sasi tidak suka terikat. Semua yang pernah dekat dengan Sasi hanya sebatas teman dekat, atau bahasa kasarnya HTS (Hubungan Tanpa Status).
Anehnya, semua laki-laki itu mau menuruti semua keinginan Sasi. Padahal ... ah, sudahlah, nanti lanjut dibahas. Jadi, itulah garis besar hidup Sasi. Ada sebab akibat yang membuatnya seperti sekarang ini.
Kembali ke sekarang. Saat Sasi melewati meja resepsionis, dua orang di sana langsung berbisik-bisik tapi seolah sengaja dikeraskan supaya terdengar oleh kuping Sasi, yang kebetulan memang sensitif terhadap orang-orang yang menggosipinya.
“Eh, tuh lihat si ganjen. Gue denger istri bos marah-marah sambil nyariin dia. Gue yakin dia dipecat gara-gara kegatelan sama suami orang.”
“Sukurin. Siapa suruh jadi perempuan murahan banget. Siapa aja diembat, sampai yang punya cincin aja pura-pura buta dia.”
Sasi langsung berdecih sinis. Dikibaskan Sasi rambutnya dengan sengaja lalu Sasi mengeraskan bunyi ketukan sepatu dengan lantai lobi. Lihat saja, setelah dipecat dari sini, Sasi akan membungkam mulut orang-orang yang pernah menggunjinginya itu dengan kesuksesan. Entah itu sukses menjerat laki-laki kaya atau sukses memelihara tuyul dan mempunyai uang yang banyak.
***
Sasi sudah lupa gelas keberapa yang diteguk, intinya sekarang Sasi pusing dan mulai mabuk. Tatapan yang tadinya hanya terpaku pada gelas dan botol anggur segera saja dialihkan. Orang-orang terlihat berdansa dan sangat menikmati sekali. Ada juga yang minum sama seperti Sasi, ada juga yang mengobrol dan ada juga ... yang berciuman.
Ciuman, ya? Tiba-tiba Sasi jadi tertarik untuk melakukannya juga. Dengan segera Sasi berdiri dan berbicara dengan lamat-lamat, “Nendra ... titip ... tas dulu. Nanti ... gue balik.”
Ganendra yang sibuk meracik minuman mendengkus lalu mengangguk. Sasi sering mengunjungi club malam ini jadi Ganendra sangat mengenal Sasi. “Jangan lama-lama. Gue nggak sesantai itu buat jagain barang lo. Kalau nanti dicuri, itu bukan salah gue.”
Tangan Sasi mengibas-ngibas. “Nggak ada yang berharga. Cuma ... atm kosong sama kartu kredit yang nggak bisa dipakai lagi. Uang lembaran pun kalau nggak salah lima ratus ribu. Ah, kenapa gue jadi curhat? Bego!” Sasi langsung memukul kepalanya. “Gue pergi bentaran aja.”
Saat Sasi berbalik, diedarkannya pandangan ke sekitar dengan mata menyipit untuk memperjelas objek. Senyum Sasi langsung mengembang saat menemukan target yang pas dengan keinginannya.
Dengan sedikit sempoyongan Sasi menuju sasaran. Tidak begitu jauh dan memang pria itu sedang sendiri, hanya ditemani minuman yang Sasi tahu adalah tequila. Hmmm ... sangat menantang.
Begitu tiba di depan pria itu, Sasi langsung menyapa dan memasang senyum sensual, “Hai. Boleh aku bergabung?”
Pria itu mendongak dengan sebelah alis terangkat. Tatapannya begitu memindai Sasi dari atas kepala sampai ujung kaki. Itu terjadi selama beberapa detik, sampai kemudian pria itu menggeleng dengan bibir tetap terkantup rapat.
Sasi membelalak tak percaya. Hei, bagaimana bisa ada yang menolaknya? Lihat, dress yang Sasi kenakan sangat ketat, bahkan belahan dadanya saja terlihat. Terlebih, rambut Sasi sedang disanggul dan menampilkan leher jenjang Sasi. Ada dua kemungkinan ketika pria menolak perempuan secantik dan se-seksi Sasi. Satu, mempunyai istri dan dua, gay.
Tapi Sasi tidak menemukan tanda-tanda yang pertama di jari pria itu. Untuk poin kedua, Sasi meragukannya namun sangat tertarik untuk mengetahui kebenarannya.
Sebuah seringai licik muncul saat ide melintas di kepala Sasi. Tanpa aba-aba Sasi langsung duduk di pangkuan pria itu lalu mengalungkan kedua tangannya di leher. “Kamu tampan dan menarik perhatianku.”
Tidak ada jawaban. Yang ada hanya tatapan datar yang dilontarkan pada Sasi dan sama sekali tidak berniat mengakhirinya.
Sasi jadi kesal sendiri. Sepertinya pria ini memang gay, buktinya mereka sudah seintim ini tapi tidak ada reaksi berarti yang didapat Sasi. Ya sudahlah, keinginan untuk berciuman tadi sudah menguap hilang entah ke mana, berganti dengan keinginan menumpahkan semua kekesalan yang Sasi rasakan saat ini.
“Kamu tahu ... aku baru dipecat dari pekerjaanku. Padahal aku karyawan yang rajin dan selalu menyelesaikan pekerjaan tepat waktu,” mulai Sasi. “Penasaran tidak alasan dipecatnya seperti apa?”
Yang ditanya hanya diam dan diam. Sasi mengerucutkan bibir kemudian meneruskan, “Aku dituduh menggoda direktur, padahal ... sebaliknya. Prinsipku tidak akan mendekati laki-laki yang beristri dan direktur perusahaanku termasuk di dalamnya. Awalnya dia sering mengirimiku pesan berisi rayuan-rayuan, aku mengabaikannya. Dia juga memohon-mohon supaya kami bisa makan malam berdua, dan aku menolaknya juga. Tapi, ya, uang sangat menggoda. Akhirnya aku mau saat dia mengiming-imingi aku dengan kartu kredit dan barang-barang branded.”
“Anda matre.”
Dua kata itu membuat Sasi menahan napasnya. Suaranya terdengar berat dan dalam, tapi terlepas dari itu, Sasi senang akhirnya curhatan Sasi direspon. “Kukira kamu bisu.”
Dengkusan terdengar, berikut dengan pria itu menoleh ke samping, lebih tepatnya membuang muka. “Saya hanya malas berbicara. Anda tidak mengenal saya, begitu juga sebaliknya.”
“Ugh! Menyebalkan!” cibir Sasi.
“Anda sudah selesai? Bisa tolong menjauh karena bobot badan Anda tidak ringan. Dan lagi, saya ingin pulang.”
Kekesalan Sasi bertambah berkali-kali lipat. Ditolehkan Sasi wajah pria itu dengan paksa supaya mereka kembali bertatapan. Sasi memelotot memandangi untuk mengintimidasi, namun Sasi malah beralih fokus pada bibir pink keunguan milik pria itu.
Detak jantung Sasi bertambah ketika bibir yang awalnya mengantup rapat kini sedikit terbuka. Sebuah niat awal muncul kembali dan tanpa pikir panjang, Sasi langsung memperpendek jarak mereka lalu menabrakkan bibirnya di atas bibir pria itu. Rasa manis dan pahit bercampur saat Sasi berusaha untuk melumat. Paduan antara rokok dan alkohol terasa menyenangkan saat Sasi cecap.
Beberapa saat Sasi hanya menikmati sendiri karena pria itu tidak merespon. Sasi tidak perduli hal itu tapi saat pasokan udara mulai menipis, akhirnya Sasi menajuhkan wajahnya. Sasi terengah-engah, begitu juga dengan pria itu.
Pandangan keduanya bertemu dan saling menyelami satu sama lain. Saat Sasi berpikir yang dilakukannya begitu konyol namun nikmat, Sasi langsung memberikan penjelasan, “Aku tid–” Kata-kata itu tertelan begitu saja saat pria itu meraih sisi wajah Sasi lalu melumat bibir Sasi dengan kasar.
Atas dan bawah bergantian kemudian lidahnya menerobos masuk. Ini gila sekaligus menakjubkan. Untuk pertama kalinya Sasi berciuman dengan seorang pria dan merasa akan meledak bersamaan.
***