“Dad, bagaimana dengan mencari nanny baru? Kurasa Dad akan kesulitan kalau setiap hari mengantar dan menjemputku,” celetuk Liam di tengah-tengah berkonsentrasi menonton film The Boss Baby di Netflix. “Aku juga merasa kesepian di rumah. Aku tidak ingin terus-terusan ikut ke rumah sakit dan menjadi ajang rebutan para perawat untuk mencuri perhatianmu.”
Yudistira tertawa kecil mendengar itu. Tangan kanan yang bebas dibawa Yudistira untuk mengusap belakang kepala Liam. “Padahal semua anak ingin diperhatikan. Kenapa kau berbeda? Bukankah itu hal yang istimewa?”
“Istimewa kalau mereka tulus. Beda cerita lagi kalau mereka melakukannya dengan tujuan untuk menarik perhatianmu. Ck! Benar-benar menyebalkan. Mereka perempuan dewasa dan tidak sepatutnya berperilaku seperti itu.”
“Dengar, Dad tidak pernah mengajarkanmu berbicara seperti itu, Liam,” peringat Yudistira dengan nada yang tenang. “Ketertarikan dengan lawan jenis bukan urusan anak-anak. Seharusnya kau fokus dengan sekolah, belajar dan lingkup pertemananmu. Bukan yang lain.”
Bibir Liam langsung mengerucut. Hilang sudah mood ingin menonton filmnya. “Ya, akan kuingat dengan baik pesan Dad itu.”
Susu coklat yang tersisa setengah gelas segera Liam tandaskan lalu setelah itu Liam bangkit dan berlari dengan cepat untuk menaruh gelas di bak cuci. Yudistira selalu mengajarkan pada Liam, selesai memakai barang harus selalu meletakkan kembali pada tempatnya, termasuk piring atau gelas yang kotor.
Liam kembali beberapa menit kemudian, kali ini tidak berlari. Dilihatnya Yudistira mematikan televisi dan menaruh remot ke tempat asalnya. Liam bertanya heran, “Apa yang Dad lakukan? Kurasa ini belum setengah jam. Waktu menontonku masih ada delapan belas menit lagi.”
Alih-alih menjawab, Yudistira justru melambai pada Liam. “Cepatlah. Bukankah kau ingin membahas tentang nanny? Dad akan bertanya, nanny seperti apa yang kau cari?”
“Apakah kali ini Dad memberikan kebebasan padaku untuk memilih nanny yang kuinginkan? Ayolah, aku tidak akan suka kalau Dad yang menentukan. Pandangan Dad berbeda dengan pandanganku.” Dengan malas Liam duduk kembali di tempatnya tadi. Kedua tangan Liam bersidekap di d**a dan tatapan malasnya tertuju pada Yudistira. “Aku tidak suka memiliki nanny yang terlalu tua. Mereka membosankan, meskipun sangat baik dan telaten dalam mengurusiku.”
“Kau tahu kenapa Dad selalu mencari pengasuh yang berumur? Karena mereka pasti bisa dipercaya. Terlebih dalam menjaga anak-anak, mereka pasti tahu apa-apa saja yang mesti mereka lakukan. Berbeda dengan yang muda, kerjanya asal-asalan bahkan sering bermain ponsel. Alih-alih menjaga, takutnya kau tidak diurus sama sekali.”
“Bagaimana kalau kita mencobanya? Dad tidak boleh menuduh tanpa dasar kecuali menyaksikannya secara langsung,” tawar Liam. “Aku tertarik dengan seseorang. Kuharap Dad mau memperkerjakannya demi aku.”
“Liam, Dad tua dan begitu banyak berita yang sudah Dad saksikan. Mereka, para pengasuh yang lebih muda, tidak jarang bertindak kasar pada anak yang mereka jaga. Walau bukan semuanya, tapi Dad tetap dengan pendirian kalau Dad tidak akan pernah memakai jasa pengasuh yang masih muda.”
“Ayolah. Aku akan bertanggungjawab kalau seandainya dugaan yang Dad katakan kebenaran. Tapi, syaratnya Dad harus menyetujui permintaanku.”
Beberapa saat Yudistira terdiam. Liam anak yang pandai berbicara serta keras kepala. Jangan ditanya itu berasal darimana, karena sulit mengakui kalau gen Liam sebagian besar menurun dari Yudistira. “Sebutkan siapa orangnya dan nanti Dad akan memutuskan untuk mempertimbangkan atau tidak.”
“Pilih salah satu, memutuskan langsung atau mempertimbangkan dulu.”
Lihat betapa menyebalkannya anak ini? Kalau saja Yudistira habis kesabaran, maka tanpa pikir panjang Yudistira akan menjewer kuping Liam. Tapi untuk sekarang, Yudistira masih tenang. “Baiklah, Dad akan mempertimbangkannya.”
“Tante Sasi,” ucap Liam tanpa pikir panjang. “Aku menyukainya dalam pandangan pertama. Kurasa kami akan cocok. Dia perempuan dewasa yang berkelas dan sombong. Saat aku besar nanti, tipe perempuan idamanku yang seperti dia.”
“Kau masih anak-anak. Jangan membuang waktu untuk menghayalkan hal yang masih jauh untuk terjadi. Kau baru saja bisa cebok sendiri kalau kau lupa.”
“Dad!” protes Liam tidak terima. “Ayolah, jangan membicarakan hal yang memalukan. Sesama lelaki harus saling menyembunyikan aib mereka.”
Yudistira terkekeh. “Baiklah, baiklah. Mari kita dengarkan pendapatmu, kenapa sampai memilih Tante Sasi untuk jadi nanny. Padahal dilihat darimana pun, Dad tidak menemukan hal yang cocok. Dia terlalu jauh untuk pekerjaan ini.”
“Sudah kukatakan tadi, dia pasti cocok denganku. Dad, apa kau sudah tua? Hanya para orang tualah yang selalu meminta penjelasan secara berulang-ulang.”
“Nak, dengar, kau tidak bisa meminta seseorang untuk bersamamu berdasarkan pandangan dalam waktu singkat. Kau perlu mengenalnya, menanyakan lalu meminta dengan cara baik-baik.”
“Itu maksudku. Begini, aku menyarankan Tante Sasi dan aku meminta Dad mengurus sisanya dengan cara kerja Dad. Bagaimana?”
“Dad belum menyetujuinya, Liam.”
“Oh, Tuhan! Kenapa daddy-ku jadi sangat menyebalkan sekarang?”
“Liam,” tegur Yudistira.
“Maaf. Aku terlalu kesal tadi. Dad terlalu memancingku,” kata Liam, disertai dengan tangkupan kedua tangan di depan d**a. “Ah, sekarang sudah lebih dari delapan belas menit. Kuharap Dad akan mempertimbangkannya.”
“Pembicaraan kita selesai sampai di sini, Nak. Tapi, Dad tidak bisa langsung mempertimbangkannya. Dad butuh beberapa informasi tentang Tante Sasi, kalau sudah dapat, barulah Dad memutuskannya.”
“Terlalu berbelit-belit, Dad, tapi ... ya sudahlah, aku menyetujuinya.” Dengan gerakan malas Liam berdiri. “Selamat malam. Aku akan menggosok gigi dan mencuci kaki, kemudian mematikan lampu lalu tidur. Jangan mengatakannya lagi karena aku sudah hapal itu di luar kepala.”
Mulut Yudistira yang tadi membuka, kembali terkatup dan diganti dengan senyum tipis. “Good boy. Selamat malam.”
Sebelum ke kamar masing-masing, mereka menutup hari itu dengan Yudistira memberi usapan lembut di puncak kepala Liam dan Liam memberikan ciuman selamat malam di pipi daddy-nya. Rutinitas ayah dan anak itu sudah berlangsung lama dan, ya, mereka senang melakukannya karena itu tanda mereka saling menyayangi satu sama lain.
***
Sasi masuk ke kamar mandi dengan mata setengah terpejam. Saat melewati cermin, Sasi menghentikan langkah dan langsung histeris saat melihat bayangan dirinya sendiri. Begitu kusam dengan rambut berantangan dan, oh, Tuhan! Terlihat sangat-sangat mengerikan.
“Astaga, keriput gue!” teriak Sasi lagi. “Kalau terus-terusan seperti ini, gue pasti cepat mati! Tidak ada salon. Tidak ada spa. Parahnya, Tidak ada uang!”
Tangan kanan Sasi bertengger di pinggang, sementara tangan yang lain menunjuk-nunjuk sembarang. Sasi mondar-mandir di depan cermin dengan mulut komat-kamit. “Oke, pertama-tama gue harus cek email. Siapa tahu lamaran gue di terima. Kalau memang tidak ada, gue harus putar otak bagaimana cara cepat menghasilkan uang.”
Hampir sepuluh menit, kegiatan Sasi masih sama. Niatnya ke kamar mandi ingin buang air kecil langsung sirna begitu saja. Ada yang jauh lebih mendesak ketimbang menuntaskan hajat, yaitu masa depan Sasi. Kalau terus-terusan tidak menemukan sumber uang, maka Sasi akan menua tanpa bisa merawat dirinya dan tidak akan menarik lagi.
Itu adalah mimpi buruk! Sangat buruk! Dan luar biasa buruk!
“Sudah gue putuskan, kalau seharian ini tidak dapat kabar baik sama sekali, gue bakalan temuin si nyonya tua.” Raut Sasi langsung berubah masam saat mengatakannya. “Gue bakal minta maaf, kapan perlu berlutut dan meneteskan air mata palsu. Setidaknya, kalau tidak bisa bekerja di perusahaan dia lagi, nama gue harus dihapus dari black list.”
Senyum penuh kelegaan terpatri di wajah Sasi. Saat menatap bayangannya sekali lagi di depan cermin, Sasi mengangguk-angguk kemudian berucap, “Sabar, Sayang, kamu akan dimanjakan sebentar lagi. Ah, perlukah Mami menjual satu koleksi tas atau sepatu?” Menyadari ada yang salah dengan ucapannya sendiri, Sasi langsung melotot dan menampar bibirnya berulang kali. “Ya Tuhan, maaf, Mami tidak akan sejahat itu. Kalian kesayangan Mami dan Mami tidak akan mengorbankan yang satu untuk memanjakan yang lainnya.”
***
Yudistira membuka pintu mobil kemudian duduk di jok kemudi. Sebelum keluar dari basemen rumah sakit, Yudistira memeriksa ponsel yang seharian ini jarang disentuhnya. Ada beberapa pesan dari Ganendra. Barthender club malam yang sering Yudistira datangi. Mereka tidak begitu akrab tapi bisa juga dikatakan berteman.
Sebelum memeriksa pesan Ganendra, Yudistira lebih dulu melakukan panggilan ke nomor rumahnya. Dering pertama, kedua dan ketiga tidak diangkat, Yudistira masih menunggu dengan sebelah tangan memegang setiran. Tepatnya di dering ke lima, suara yang akrab di telinga Yudistira langsung menyapa, “Halo. Daddy kah ini?”
“Ya. Mbok Sum masih di rumah?”
“Masih,” sahut Liam. “Tapi sebentar lagi akan pergi. Bisakah Dad pulang lebih cepat? Aku memang sering ditinggal sendirian, tapi bukan berarti aku sudah akrab. Karena Dad masih belum memikirkan permintaanku, kuharap Dad akan berbaik hati kali ini.”
“Dad bukan tidak memikirkan, tapi Dad masih dalam tahap mencari tahu. Sekarang Dad dalam perjalanan pulang, jadilah anak baik dan tidak boleh ke mana-mana setelah Mbok Sum pergi. Kalau Dad sedikit terlambat, berarti Dad akan mampir sebentar di suatu tempat.”
Liam mendesah. “Baiklah. Aku anak yang penurut dan menepati janji. Aku tidak akan ke mana-mana seperti yang Dad inginkan. Tapi, bolehkah aku meminta sesuatu? Kuharap Dad membawakan burger dan kentang goreng untukku.”
Oh, lihat, permintaan anak berusia enam tahun ini. “Apa kau melupakan jadwal kita, Liam? Ini bukan waktunya untuk junk food. Kau tahu sendiri kalau Dad tidak akan membiarkan kau memakan makanan yang tidak sehat. Dad dokter anak, akan terdengar aneh kalau kesehatan anaknya sendiri tidak diperhatikan.”
“Ya, ya, ya. Saat Dad menjadi ayah yang cerewet, ketampanan Dad akan berkurang lima puluh persen.” Suara decakan terdengar jelas dan Yudistira bisa membayangkan bagaimana ekspresi Liam saat ini. “Baiklah. Hati-hati menyetirnya. Dad satu-satunya orang tua yang kupunya saat ini.”
Ada setitik lubang muncul, namun Yudistira berusaha mengabaikannya. Lagipula, Yudistira yakin Liam tidak ada maksud apa-apa saat mengatakan itu. “Akan Dad ingat. Sebelum Mbok Sum pergi, pastikan semua jendela sudah terkunci rapat. Begitu juga dengan pintu setelah beliau pergi.”
“Yes, Sir. Aku akan meminta dan memastikannya dengan teliti.”
Panggilan berakhir. Sebelum meletakkan ponsel di dashboard, Yudistira membaca pesan yang Ganendra kirim. Itu berisi alamat dan nomor ponsel Sasi. Yudistira menyimpannya lebih dulu kemudian membalas dengan ucapan terima kasih pada Ganendra.
Tidak sia-sia Yudistira bertanya pada Ganendra, karena memang keahlian Ganendra bukan hanya meracik minuman. Yudistira tahu Ganendra hampir akrab pada sebagian pengunjung club malam dan patut Yudistira syukuri, Sasi termasuk di dalamnya.
Sudah bisa ditebak, bukan? Mampir ke suatu tempat yang dimaksud adalah alamat tempat Sasi tinggal. Yudistira ingin mengetahui informasi tentang Sasi lewat orangnya secara langsung. Kalau memang memenuhi kriteria, Yudistira akan menawarkan pekerjaan. Tentunya harus memenuhi beberapa tes dulu barulah setelah itu diterima.
Yudistira memasang sabuk pengamannya, kemudian menstarter mobil lalu melaju meninggalkan basemen. Saat mobil sudah di jalan raya dan bergabung bersama kendaraan lain, Yudistira menurunkan kecepatan kemudian sebelah tangannya terulur untuk mengambil ponsel.
Ganendra mengatakan nomor Sasi bisa untuk ditelpon atau pun di chat via w******p. Yudistira ingin memastikannya lebih dahulu di w******p dan benar-benar menemukannya. Foto profil yang digunakan Sasi mengundang rasa penasaran Yudistira. Dengan membagi konsentrasi antara jalanan dan ponsel, jempol Yudistira menekan profil kemudian tak lama muncul pemandangan Sasi dipotret candid. Tempat di sekitarnya menunjukkan kalau Sasi berada di gym center. Tapi, bukan itu yang menjadi fokus utama Yudistira, melainkan apa yang Sasi kenakan.
Yudistira langsung mendesah. Legging hotpant hitam dengan sports bra abu-abu begitu jelas menampilkan lekuk tubuh Sasi. Sebuah pertanyaan langsung timbul di benak Yudistira, benarkan perempuan yang seperti ini mau menjadi nanny anaknya?
***