Chapter 18

1545 Kata
Dalam perjalanan Mendaline benar-benar merasa putus asa, dia berpikir bahwa tidak ada lagi yang dapat menolongnya untuk pergi ke kedutaan besar Indonesia untuk melapor mengenai hilangnya paspor dan beberapa dokumen penting miliknya. Sepanjang perjalanan ini, dia melihat ada dua bodyguard yang mengapit dirinya kiri dan kanan, satu supir di depan dan Mr. Brian yang berada di depan. Dalam hati Mendaline berkata ini, 'Pasti sudah direncanakan, tidak mungkin jika hal ini tidak direncanakan. Bagaimana mungkin pasporku bisa hilang sementara hari kelulusanku akan segera?' Mendaline memikirkan cara untuk bisa keluar atau lari dari dalam mobil itu, namun dia berpikir mungkin itu mustahil sebab bodyguard yang dikirim oleh ayahnya adalah berbadan kekar dan kuat, dengan sapuan jari saja bisa melumpuhkan dirinya yang bertubuh kecil dan mungil itu. Mr. Brian yang duduk di depan terlihat puas, dia menikmati bagaimana rasa putus asa yang diekspresikan oleh wajah Mendaline lewat kaca spion. Diam-diam dia tersenyum senang. Saat sudah beberapa lama berada di dalam perjalanan, kini mereka tiba di depan Universitas Mendaline. Mr. Brian berkata kepada satu bodyguard. "Kawal Nona Mendaline hingga memasuki ruang aula wisuda!" perintahnya. "Baik," sahut salah satu orang bodyguard yang diberi perintah. Tangan ingin ditarik keluar oleh seorang bodyguard yang disuruh oleh Mr Brian, namun Mendaline dengan cepat menarik tangannya dan berkata kepada bodyguard. "Aku bisa sendiri," ujarnya. Bodyguard hanya mempersilakan sang nona untuk turun dari mobil. Mendaline melangkahkan kakinya memasuki universitas dang menuju ke aula wisuda. Sesampainya di sana, dia mencari keberadaan Grace atau bisa saja mungkin dia mencari keberadaan Steve yang mana Steve juga hadir dalam acara wisuda itu, namun dia tidak menemukan keberadaan Grace maupun Steve di dalam Aula itu. Mata Grace jelalatan kiri dan kanan, namun orang yang sedang mengawalnya juga mengikuti kemana arah mata Mendaline mengarah. Dalam hati Mendaline mencibir dan dia juga mengumpat. 'Sialan! tua bangkai itu benar-benar ingin mengurungku!' 'Tidak puaskah dia memperlakukan aku tidak adil dan dihina selama lima belas tahun ini?' batin Mendaline sedih. Dia juga benar-benar kesal dan marah, namun dia tidak dapat berbuat apa-apa. Seorang bodyguard berkata, "Nona, tempat duduk Anda di sini!" Mendaline terpaksa duduk dengan memakai pakaian toga atau pakaian wisudanya. Namun, dia tetap melirik ke arah kiri kanan, belum juga menemukan kedatangan Grace. Dalam hati Mendaline berpikir mungkin saja Grace sudah tiba di rumahnya dan menunggu dirinya di depan gerbang rumah. 'Jika benar Grace dan Steve sudah ada di rumah di depan rumahku, maka kami benar-benar salah jalan.Tuhan benar-benar mempermainkan kami,' kata Mendaline dalam hati. 'Benar apa kataku bukan sebelumnya, Tuhan tidak ada, jika Tuhan itu ada mungkin tidak akan seperti ini.' 'Jika Tuhan ada, mungkin Tuhan tidak akan membiarkan pasporku hilang, jika Tuhan itu ada, mungkin aku sudah bertemu dengan Grace atau Steve di depan rumahku dan kami akan pergi bersama-sama ke KBRI. * Di sisi lain ketika Grace dan Steve tiba di depan KBRI di London, Grace berkata kepada Steve, "Tunggu aku di sini, aku akan berbicara dengan petugas." Steve berkata, "Aku akan menemanimu." Namun, Grace menggelengkan kepalanya. "Tidak, kau tunggu saja di sini. Jika aku menemukan suatu jawaban atau informasi, aku akan segera berlari ke arahmu dan kita akan segera menemui Mendaline mungkin dia sudah berada di kampus." "Baik, aku akan menunggumu di sini," balas Steve. Grace buru-buru melapor bahwa dia ingin memberitahu kabar penting mengenai temannya yang adalah warga negara Indonesia. "Dia mengalami kehilangan paspor dan dokumen penting lainnya," ujar Grace ketika sedang berbicara dengan salah satu staf kedutaan Indonesia. Grace mengatakan bahwa diberi tahu oleh sang teman paspornya hilang dan temannya itu ingin melaporkan kehilangan paspor itu mewakili temannya, dia berpikir bahwa temannya tidak dapat dihubungi karena beberapa menit sebelum dia tiba di rumah sang teman, jadi Grace memutuskan segera ke KBRi. Staf kedutaan mengangguk mengerti, dia mencatat masalah apa yang laporkan, namun staf itu bertanya, "Siapa nama dari teman Anda, Nona?" Grace menjawab, "Nama teman saya adalah Mendaline Septian Nata septianata." "Baik," sahut staf KBRI. Ketika staf KBRI mengetik nama Mendaline di komputer, kening staf kedutaan berkerut, dia menatap ke arah wajah Grace. Grace berpikir bahwa mungkin sesuatu telah terjadi atau bisa saja hal yang tidak diinginkan terjadi misalnya dokumen paspor itu telah disalahgunakan oleh orang lain. "Apakah ada yang salah dengan nama teman saya?" tanya Grace. Staf kedutaan itu berkata, "beberapa waktu ini, sudah ada laporan mengenai hilangnya paspor dari nona Mendaline Septian Nata. Ada dua laporan, laporan yang pertama yaitu mengenai permohonan Nona Mendaline Septian Nata untuk masuk menjadi warga negara Inggris." "Apa?!" Grace melotot hebat, matanya hampir copot dari rongga matanya. "Bagaimana bisa? temanku tidak pernah ingin masuk warga negara Inggris!" Staf kedutaan melirik ke arah temannya yang lain. "Temanku berkata bahwa dia kehilangan paspor dan dokumen penting lainnya, juga kami tidak bisa menghubungi dia, hari ini hari wisuda sudah kami, jadi saya berpikir mungkin jika saya memberitahukan mengenai paspor teman saya yang hilang staf kedutaan di sini akan mempertimbangkan mengenai masalah ini, tetapi ini di luar dugaan bahwa ada laporan bahwa teman saya telah memasukkan permohonan ingin menjadi warga negara Inggris. Saya berpikir mungkin ini bukan mungkin kehendaknya," bantah Grace. "Ya, memang benar bukan kehendak Nona Mendaline, sebab ada laporan mengatakan bahwa paspor beliau hilang dan disalahgunakan oleh orang yang tidak semestinya," balas staf Kedutaan. "Siapa yang menggunakan paspor milik teman saya? maksud saya Nona, siapa yang memasukkan permohonan agar teman saya ingin menjadi warga negara Inggris?" tanya Grace. "Dia atas nama Barnett Edward," jawab staf Kedutaan. "Apa? itu adalah ayah tiri dari teman saya!" ujar Grace yang tercengang. "Memang benar mereka ada hubungan anak dan ayah tiri, namun saya selalu mendapatkan kekerasan secara fisik oleh ayah tirinya, tidak mungkin dia dengan senang hati masuk kewarganegaraan Inggris karena setahu saya, teman saya ingin sekali pergi dari sini karena dia sudah muak berada di sini." Staf kedutaan yang sedang berbicara dengan Grace saling melirik sesama staf yang lain. Dia berkata kepada Grace. "Anda tenang saja Nona, kami sudah mencabut permohonan itu, permohonan itu sama sekali tidak sah karena yang bersangkutan tidak hadir atau tidak datang secara langsung untuk mengajukan permohonan berpindah kewarganegaraan. Namun, sudah ada orang yang mengatasnamakan Nona Mendaline bahwa, Nona Mendaline sama sekali tidak bersedia untuk masuk warga negara Inggris." "Siapa?" tanya Grace. "Dia adalah calon suami dari nona Mendaline," jawab staf kedutaan. Grace bergumam tidak percaya. "Calon suami dari Mending?" "Ya, di sini tertera seperti itu," ujar staf kedutaan. "Siapa namanya?" tanya Grace. "Nama yang tertera adalah Askan Aji Basri," jawab staf kedutaan. Tiga detik kemudian Grace terbelalak. "Apa? Askan Aji Basri?" "Ya, benar." Staf kedutaan mengangguk. "Jadi permohonan itu gugur?" tanya Grace agak was-was. Staf kedutaan mengangguk. "Ya, benar gugur karena kami sudah menerima mengenai hasil laporan dari calon suami nona Mendaline bahwa memang Nona Mendaline mengalami kekerasan fisik yang dialami olehnya ayah tirinya." Untuk beberapa detik Grace tercengang, namun dia tersadar dia berpikir, 'Mungkin Tuan Pahlawan menyelidiki Menda.' 'Ah, tidak penting! yang penting Menda baik-baik saja.' Batin Grace. Kemudian Grace menatap ke arah staf kedutaan. "Apakah temanku sudah aman? maksud saya apakah teman saya sudah aman dan tidak lagi dianggap ingin melakukan pindah kewarganegaraan?" tanya Grace. Staf Kedutaan menjawab, "Teman Anda sudah aman dan tidak lagi dianggap ingin pindah kewarganegaraan." "Baik, terima kasih atas informasi anda nona. Saya permisi. Nanti saya akan segera memberitahu teman saya ketika saya berhasil menelepon dia," ujar Mendaline. "Ah jika Anda ingin kami bisa membantu Anda untuk mendapatkan ke gedung Universitas, orang staf kedutaan kami sedang mengunjungi rumah dari ayah tiri Nona Mendalime dan juga mengunjungi kampus Nona Mendaline agar kami dapat melindungi warga negara kami dari serangan ataupun ancaman dari warga negara lain atau orang lain," ujar Staf kedutaan. Wajah Grace berubah cerah. "Baik, saya akan ikut dengan staf anda." * Saat di tempat parkir, Steve selalu melirik ke arah kepergian sang pacar. Saat itu Grace muncul dengan satu orang staf Kedutaan Indonesia. "Bagaimana?" tanya Steve. Grace berkata kepada pacarnya. "Ada hal penting yang terjadi, aku akan menceritakannya padamu nanti, tapi biarkan aku menceritakannya padamu disaat kita dalam perjalanan, kita tidak punya banyak waktu." "Baik," sahut Steve. * sementara itu, ketika sampai pada saat tibanya wisuda, nama Mendaline adalah nama pertama yang dipanggil untuk mengambil penghargaan karena dia berhasil meraih nilai tertinggi untuk gelar pasca sarjananya. Namun, saat dia naik ke atas podium, dia melihat bahwa sama sekali tidak menemukan Grace, hati Mendaline terlihat susah. Namun, saat dia turun dari podium dan beberapa saat kemudian nama Grace dipanggil, muncullah Grace naik ke atas podium, dari situlah Grace dan Mendaline saling menatap. Arah tatapan mata dari Grace mengungkapkan bahwa banyak sekali hal yang ingin diceritakan kepada sang teman, namun sepertinya dia harus menahannya karena mereka dalam situasi yang di dalam di tengah-tengah publik. Saat Grace turun dari podium, dia mengambil tempat duduk agak dekat dari Mendaline. Saat acara tengah berlangsung acara, seorang pejabat KBRI terlihat berbicara dengan beberapa panitia wisuda dan dosen yang lainnya, termasuk pimpinan universitas. Mendaline merasa bahwa sesuatu telah terjadi. Dia melirik ke arah sang teman namun, Grace berkata kepadanya, "s sesuatu telah terjadi." Jantung Mendaline kencang. Setelah mendapat izin anggukan dari pimpinan universitas dan beberapa Profesor lainnya, pejabat KBRI dan staf kedutaan itu dengan membawa surat izin dari Duta Besar, mendekat ke arah Mendaline dan berkata, "Nona, Anda telah aman. Silahkan ikut dengan kami ke Kedutaan Besar Republik Indonesia agar mendapat perlindungan dari kami." Mendaline tercengang dan juga kaget, namun di balik badan pejabat KBRI itu, dia melihat adanya Askan. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN