Chapter 19

1723 Kata
Saat Mendaline menatap Askan, terdengar bisikan dari Grace. "Cepat ikuti orang kedutaanmu!" pinta Grace. Kalau bisa, Grace ingin sekali cepat-cepat mendorong Mendaline ke arah orang kedutaan Indonesia. "Oh! Tuan Pahlawan?!" Grace cukup kaget dengan kehadiran dari Askan yang begitu tiba-tiba. Mata Grace terbuka agak lebar setelah melihat kehadiran Askan yang sedang memakai seragam Marinir AL RI. Sementara itu, mata Steve tertuju pada Askan. Ah, jadi ini adalah pekerjaan dari pacar Mendaline. Batin Steve. Askan berkata, "Mulai sekarang, kamu tidak perlu lagi kembali ke rumah Ayah tirimu, kedutaan Republik Indonesia akan melindungi hak-hak warga negaranya." Mendaline belum pulih dari rasa kagetnya, benar-benar di luar dugaan. Apalagi setelah mendengar ucapan yang baru saja diucapkan oleh Askan. Dia tidak salah mendengar bahwa mulai sekarang, dia tak perlu lagi kembali ke rumah ayah angkatnya, rumah terkutuk itu. Wajah Mendaline terlihat tercengang bercampur kaget. Dia menatap wajah Askan tanpa niat untuk melirik ke arah lain. Askan menatap wajah Mendaline. Wajah itu sebelum dia memasuki ruang ini, wajah itu penuh dengan keputus-asaan yang kuat. Wajah itu pucat pasi dan seolah terlihat seperti tidak adanya rasa kehidupan yang terpancar dari mata gadis itu. Askan tersenyum tipis, dia berkata, "Jangan hanya diam saja, ayo ikuti staf Kedutaan." "Nona Mendaline, silakan ikut dengan kami!" pinta staf kedutaan Indonesia. Mendaline menarik napas lalu mengembuskan, dia mengangguk. "Y-ya… ya… Ah maaf, saya… merasa ini… um… saya tidak… um… ini sungguh membuat saya… " Mendaline tak mampu lagi melanjutkan perkataannya, air matanya menetes turun membasahi pipi tanpa ada yang komando. Mendaline buru-buru mengusap matanya agar tak dilihat oleh banyak orang yang berada di ruang wisuda. Namun, banyak orang telah melihat wajah Mendaline yang sedang menahan tangis. Mata Grace ikut memerah, dia bahkan menutup mulutnya agar tak terdengar suara tangisan rendah. * Sepanjang perjalanan dari kampus Mendaline ke kedutaan besar Republik Indonesia, suasana di dalam mobil itu terasa sunyi, masing-masing sibuk menenangkan emosi. Saat tiba di gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia, Mendaline duduk berhadapan dengan beberapa orang penting atau petinggi Kedutaan Besar Republik Indonesia, seperti Duta Besar Republik Indonesia yang ditempatkan di London saat ini. Ada wakil duta besar, dan beberapa kepala staf. "Kami menerima laporan dari seorang pria yang sekarang berada di samping kanan Anda, apa benar Anda mengenal pria ini?" tanya Duta Besar Republik Indonesia untuk memastikan keabsahan kabar yang diterima olehnya. Mendaline melirik ke arah kanan, dia menatap wajah Askan. Mendaline mengangguk. "Ya, benar. Saya mengenal dia. " "Baik. Laporan yang Letnan Askan laporkan adalah benar bahwa dokumen Anda hilang dan disalahgunakan oleh oknum tertentu?" tanya Duta besar. Mendaline mengangguk. "Ya, benar. " "Bisa Anda jelaskan, selama ini Anda tinggal dan bagaimana Anda diperlakukan oleh orang tua Anda?" tanya Duta besar. Mendaline menundukkan wajahnya sesaat sebelum memandangi wajah Duta besar. Dia memberanikan diri untuk mengungkapkan apapun yang dari dulu ingin dia katakan. "Ketika umur saya lima belas tahun, ibu saya menikah lagi dengan pria berkebangsaan Inggris, dia adalah Barnett Edward, ayah tiri saya yang sekarang. Awal tinggal sekitar satu tahun, saya diperlukan baik, namun seiring bertambahnya waktu, saya mengalami banyak penindasan." Mendaline mulai menceritakan apa yang dia alami. Duta besar dan beberapa orang lainnya mengangguk mengerti. Duta besar memberikan isyarat agar Mendaline melanjutkan ceritanya. "Saya sering mendapat perlakuan kasar, bahkan…." ketika sampai di perkataan ini, Mendaline tak mampu lagi melanjutkan perkataannya. Dia menundukan wajahnya, seperti menahan malu. Duta besar mengetahui bahwa sepertinya tidaklah etis jika dia dan beberapa orang pria yang merupakan pejabat di Kedutaan hadir di sini untuk mendengar cerita dari Mendaline. "Saya akan menunjuk orang yang akan mendampingi Anda, mari kita sampai di sini. Untuk penjelasan Anda lebih lanjut, biarkan Ibu Siti yang mendengarkan, " ujar duta besar. Mendaline menatap wajah duta besar dengan penuh rasa Terima kasih. Sepertinya semua orang yang hadir di ruangan itu mengerti bagaimana perasaan malu yang dialami oleh Mendaline sekarang. Termasuk Askan yang sedang duduk di samping kanan Mendaline. Askan sepertinya mengerti apa yang terjadi, entah mengapa, tatapan wajah Askan bahkan berubah tak enak dipandang, seakan ada sesuatu yang ditahan olehnya. * Askan keluar ruangan, dia menemui Grace dan pacar Grace. Grace yang telah menunggu sahabatnya itu melihat Askan, dia buru-buru bertanya, "Bagaimana?" "Sedang ditangani lebih lanjut, saya pikir mungkin ini agak rumit dari yang dilihat," jawab Askan. Grace menganggukkan kepalanya. "Memang ini tidak sesederhana yang kamu lihat. Tahukah kamu Tuan Pahlawan, setiap wajahnya memar ketika kami bertemu, tentu saja aku sudah tahu apa yang terjadi padanya. Barnett laki-laki sialan itu benar-benar memukul wajah Menda setiap hari. " "Apa?!" mata Askan membulat setelah mendengar ucapan Grace. "Katakan! apa yang kamu ketahui!" pintar Askan tegas. Grace menelan susah ludahnya saat menatap mata tajam Askan. Sementara itu Steve menarik dan menghembuskan napas, cepat atau lambat, kebenaran pasti akan terungkap. * Wajah Askan terlihat datar. Dia duduk sambil menyandar di kursi. "Ketika wajahnya ditampar kasar oleh perompak tempo hari, tak ada ekspresi yang berarti yang ditunjukkan oleh Menda. Bahkan tak ada rasa ketakutan, tak ada rasa sakit," gumam Askan. "Dia… telah terbiasa dengan rasa sakit kekerasan fisik. " Tidak dapat dipercaya oleh Askan. "Kenapa ada manusia keji seperti dia yang hidup di dunia ini? dia benar-benar menjijikkan," desis Askan. Mata tajam Askan menatap pintu ruangan yang kini masih ada Mendaline di dalam ruangan itu. Rahangnya mengetat. "Laki-laki sialan itu tak bisa disebut ayah oleh Menda, dia adalah binatang." Ceklek. Pintu terbuka. Mendaline keluar dari ruangan itu masih dengan memakai toga wisuda. Askan berdiri dan menghampiri Mendaline. "Sudah selesai? " tanya Askan. Mendaline menganggukkan kepala. "Sudah." "Apakah nggak ada lagi yang harus diselesaikan? " tanya Askan. Mendaline mengangguk. "Nggak ada lagi." Seorang wanita berusia sekitar 40-an keluar dari pintu yang tadi digunakan oleh Mendaline. Dia tersenyum tipis ke arah Askan. "Letnan Askan, saya Siti Hanifah, kami menerima informasi bahwa Anda yang melaporkan mengenai dokumen penting milik Nona Menda yang hilang, Anda bertindak atas calon suami dari Nona Menda? " Mendaline terkaget. Dia mendongak menatap wajah Askan, dia tergagap. "Ah? ca-calon suami?" Askan mengangguk tanpa ragu. "Ya, benar. Sebagai calon suami." Mulut Mendaline mangap-mangap. Wanita yang bernama Siti itu tersenyum kecil. Dia melirik ke arah Mendaline lalu berkata, "Nona Menda, Anda beruntung memiliki calon suami ini." Askan berkata, "Saya yang beruntung bertemu dengan dengan calon istri saya." Makin tercenganglah Mendaline. Mendaline tak mampu berkata apapun. Askan berkata lagi. "Menda, ada yang ingin aku katakan padamu." Mendaline bagaikan orang linglung, dia hanya mengikuti kemana Askan membawanya pergi. * Wajah Mendaline masih terlihat syok atas apa yang dia dengar. Namun, berbeda dengan wajah Askan. "Menda," panggil Askan. "Ya?" sahut Mendaline pelan. "Sesuai janjiku padamu tempo hari bawa di hari wisudamu, aku akan mengatakan sesuatu yang penting," ujar Askan. Mendaline mengangguk pelan. "Mari kita menikah!" ujar Askan. "Hah!?" Mendaline membeo, mulutnya terbuka lebar. Melihat respon Mendaline yang sepertinya sesuai dugaannya, Askan tersenyum tipis. "Aku tahu ini mendadak untukmu, tapi aku benar-benar merasa bahwa, kamu adalah gadis yang tepat untuk menjadi istriku." Mendaline terdiam selama beberapa detik. Merasa bahwa Mendaline ragu-ragu menjawab ajakan nikahnya, Askan bertanya, "Ada apa?" Mendaline menundukan wajahnya, kemudian dia menutup mata selama beberapa detik, lalu membuka kembali kelopak mata dan menatap wajah Askan. "Kamu kasihan padaku?" Askan mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu?" "Kamu kasihan padaku karena perlakuan yang aku terima dari ayah tiriku lalu kamu ingin menikahiku?" tanya Mendaline. "Apa maksudmu membicarakan ini? niatku untuk menikahimu bukan karena rasa kasihan. Untuk apa menikahi seseorang hanya karena rasa kasihan? rasa kasihan saja tidaklah cukup!" balas Askan. "Lalu kamu ingin rasa apa lagi?" tanya Mendaline. "Menda, orang menikah itu karena rasa cinta, bukan rasa kasihan. Jika aku menikahimu karena rasa kasihan, kenapa nggak aku nikahin aja gadis yatim piatu? mereka lebih dari cukup untuk rasa kasihan, juga mendapat banyak pahala karena menikahi yatim piatu." Askan membalas ucapan Mendaline. Mendaline terdiam. "Bukankah kita sepakat untuk bersama? " "Tapi menikah terlalu cepat, " balas Mendaline. "Lalu kamu tak ingin?" tanya Askan. Wajahnya terlihat agak kecewa. "Bukan tidak mau tapi-" "Tapi apa?" Askan memotong ucapan dari Menda. "Mustahil," jawab Mendaline. "Mendaline!" Askan terlihat agak marah ketika Mendaline mengucapkan kata mustahil. Namun, meskipun dia marah, Askan tak dapat berbuat apa-apa terhadap Mendaline. "Sebaiknya kamu istirahat dulu. Kamu mungkin lelah, besok aku akan menemuimu lagi atau jika kamu ingin kita bertemu, mari kita bertemu. Di sini adalah tempat terbaik untukmu agar tidak disakiti oleh orang, tinggal di gedung ini sama saja seperti berada di wilayah teritori negara sendiri. Aku pergi." Askan pamit. Mendaline terlihat bingung, ingin sekali dia berkata pada Askan bahwa jangan pergi, namun di sisi lain, dia merasa masih linglung karena lamaran Askan yang begitu tiba-tiba. * "Lalu kamu menolak lamaran dari Tuan Pahlawan?! Mendaaaa! aku katakan padamu! tidak ada pria yang baik padamu di dunia ini selain Tuan Pahlawan! kau bodoh sekali!" Grace baru saja meneriaki Mendaline lewat panggilan telepon. Mendaline bahkan harus menjauhkan ponsel dari telinganya. "Aku tidak menolaknya," bantah Mendaline. "Kalau kau tidak menolaknya, lantas apa? menggantung lamarannya? Menda, kukatakan padamu sekali lagi, tidak ada laki-laki yang baik padamu di dunia ini selain Tuan Pahlawan!" balas Grace berang dari seberang. "Dia dan aku sangat berbeda!" ujar Mendaline. "Apanya yang sangat berbeda? perbedaan yang selama ini kamu katakan? apakah Tuan Pahlawan bertuhan tapi kamu tidak?!" tanya Grace dengan penuh rasa kesal yang tinggi. Mendaline terdiam. "Oh sudah kuduga, pasti karena ini. Dengarkan aku, sayang. Coba kamu tanyakan pada hatimu yang paling dalam, siapa pria yang sangat menarik perhatianmu? siapa pria yang sangat melindungimu? pria yang kau butuhkan itu siapa? lupakan mengenai kau tidak bertuhan! dari itu, aku katakan, tolong percaya saja Tuhan, Tuhan siapapun itu! tolong!" Grace rasanya ingin berterima marah. "Ah! minggu ini aku akan ke Gereja untuk mendoakanmu! akan aku doakan agar kau menikah dengan Tuan Pahlawan! Tuhanku! Aku tidak percaya ini, kau baru saja melewatkan masa depan cerah di depan mata!" Grace terus mengomel. "Kamu benar-benar buta! Oh Tuhan! tolong tenangkan aku, Tuhan!" Grace berusaha untuk tak marah. Sementara itu, pertanyaan dari Grace terbayang-bayang di benak Mendaline. "Siapa laki-laki yang menarik perhatianku? siapa laki-laki yang melindungiku? dan siapa laki-laki yang aku butuhkan?" Mendaline terdiam selama beberapa detik. Dia mengingat hari pertama kali dia dan Askan bertemu, lalu perhatian Askan padanya, betapa baik hatinya pria itu. Jika Mendaline pikirkan lagi, di hidupnya ini, selain sahabatnya Grace, Askan adalah pria paling baik yang dia punya, dia tidak ingin kehilangan pria paling baik itu. "Tidak, aku tidak ingin kehilangan dia," ujar Mendaline. Mendaline menekan nomor telepon Askan. Beberapa detik menunggu panggilan tersambung terasa lama bagi dirinya. "Halo," suara Askan terdengar. "Aku ingin jadi istrimu!" *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN