Dela duduk di salah satu kursi tempatnya bekerja, menunggu Andin yang akan menjemputnya. Sejak 15 belas menit yang lalu, jamnya bekerja sudah selesai, namun Andin tak kunjung terlihat. Untuk menghilangkan rasa bosannya, Dela membuka ponsel dan teringat akan perkataan Andin tempo hari.
“Kalau lo bosan, mending lihat t****k, meski kebanyakan video unfaedah tapi cukup menghiburko. Video yang sering muncul juga tergangung dengan konten apa yang sering lo sukai.”
Berhubung masih berada di tempat kerja yang memberikan akses wifi. Dela langsung mendownload aplikasi yang Andin katakan.
Selesai mendownload, dia langsung membuat akun dan langsung bisa melihat beberapa video yang muncul di sana. Satu video menarik perhatian Dela, tanggannya menekan gambar pemutar musik kemudian melihat semua video yang menggunakan lagu itu.
Membuat power point dengan kata-kata romantis kemudian mengirimkannya dengan kekasih. Dela tersenyum, dia tertarik untuk mengikuti itu. Tidak ada salahnya bukan, mengirim kata romantis pada Revo.
Kala asik melihat video di ponselnya, suara klakson dari mobil Andin mengejutkannya. Disimpannya ponsel itu, dan berjalan menuju mobil Andin.
“Sorry lama,” ujar Andin. “Satria lagi sakit, jadi manja gitu terus nggak mau ditingggal katanya. Padahal kami kan LDR,” sambung Andin seraya memutar setir memasuki jalanan.
“Mungkin dia kangen sama lo,” jawab Dela.
“Anehnya, setelah gue matiin tuh Video call, terus pamit karena mau jemput lo, ponselnya nggak aktif dong. Bahkan sampai sekarang.”
“Mungkin mati, Din. Dia kan sakit, lagi istirahat nggak sempat deh ngisi daya ponselnya.”
“Lo emang orang yang punya pikiran paling positif yang gue kenal, Del. Bingung sih gue, lo ini selalu mikir positif apa kebegoan? Zaman sekarang lupa ngisi daya ponsel? Orang baru pakai ponsel kali, ah.”
Dela tak menanggapi. Pendapatnya memang selalu berbeda dengan Andin. Dela yang positif, dan Andin yang curigaan. Namun, pertemanan mereka bertahan lama.
“Din, kita mau langsung pulang ke rumah?” tanya Dela.
“Makan dulu gimana? Di indekos, nggak ada makanan. Gue juga lupa belanja tadi,” jawab Andin matanya masih menatap jalanan yang mulai terlihat sepi.
“Boleh, sih. Tapi gue mau minta tolong boleh?”
Andin menoleh ke arah Dela sebentar. “Apa?”
“Lewat rumah gue dong, gue rindu ibu dan ayah,” ujarnya.
“Masuk surga banget deh lo ini. Merasa nggak pernah sayang sama lo, lo rindui?”
Dela mengangguk. “Sebenci-bencinya mereka sama gue, tetap mereka orang tua gue. Gue nggak bisa milih kan, Din?”
Helaan napas Andin terdengar. “Yaudah.”
Dela tersenyum, kemudian teringat akan video t****k yang ia lihat tadi. “Din, gue mau bikin power point romantis, lho. Lo nggak mau buat terus kirim ke Satria?”
“Lo udah download t****k, ya?” tanya Andin.
Dela mengangguk. Mengambil ponselnya dari dalam tas, kemudian membuka aplikasi canvas yang memang dia punya. Tangannya mengetik kata kunci seperti tutorial yang ia lihat di t****k tadi.
Terlalu larut dengan kegiatannya, Dela sampai tak sadar kalau mereka sudah sampai di depan rumahnya. Terlihat Alicia dan Anton yang baru turun dari taksi dengan paperbag di tangan mereka.
“Orang tua lo baru selesai belanja, ya?” tanya Andin, matanya memicing menghitung ada beberapa paperbag di tangan Alicia. “Banyak juga Del belanjaan ibu lo.”
Di tempatnya Dela tak tahu harus bereaksi apa. Bahkan kepergian Dela dari rumah seperti kebahagiaan bagi mereka. Mereka merasa tak harus mengeluarkan uang untuk Dela lagi, dan bisa memakainya untuk bersenang-senang.
“Ayo pulang, Din,” ajak Dela. Pandangannya ia alihkan. Matanya mengerjap, menghalau air matanya yang akan mengalir.
***
Air hujan yang tiba-tiba turun membuat Revo dan Angela terpaksa berteduh di warung kaki lima yang tak jauh dari rumah Angela. Revo membuka kemeja yang ia kenakan, saat melihat tubuh Angela menggigil karena pakaian yang ia pakai sedikit terbuka.
“Makasih,” kata Angela, mengeratkan kemeja Revo di tubuhnya.
“Kamu mau pesan apa?” tanya Revo. “Teh hangat, ya. Kamu kedinginan gitu.”
Angela mengangguk. “Sekalian cemilan ya, Vo.”
Revo terkekeh kecil. “Cemilan apa, Ngel? Ini kaki lima bukan McDonald atau KFC.”
Angela mengerucutkan bibirnya, membuat Revo gemas sendiri. Kalau tidak ingat tempat, sudah disantapnya bibir seksi itu.
“Aku pesan ayam aja, ya? Nggak usah pakai nasi.”
Angela menurut, berjalan memilih tempat duduk untuk mereka. Perempuan itu mengambil ponselnya, membuka aplikasi i********: untuk mengabadikan perjalanannya dengan Revo. Lebih tepatnya untuk membuat Dela semakin iri.
Dia sengaja mengambil gambar Revo yang berdiri kemudian beralih ke kemeja dan menuliskan kata-kata. Sweet banget sahabat aku, kemudian mmepostingnya sembari menunjukan senyum licik.
Lima menit kemudian, Revo kembali. Laki-laki itu duduk di sebelah Angela. Tangannya merapikan rambut-rambut kecil perempuan itu yang menutupi wajah mungilnya.
Tanpa mereka sadari, semua interaksi yang mereka lakukan, mulai dari memasuki tempat itu dan berakhir duduk, semuanya disaksikan oleh Jaka dan Dave yang kebetulan sudah berada di sana sejak lima belas menit sebelum kedatangan Revo dan Angela.
“Kasihan gue sama Dela,” bisik Jaka karena Revo dan Angela duduk di meja yang tak jauh dari mereka.
“Kenapa?” tanya Dave. Laki-laki terlihat sangat menikmati ayam yang ada di depannya.
“Itu pacarnya Dela. Kayaknya gue pernah kasih tau lo, deh.”
“Mana gue ingat.”
Jaka menepuk jidatnya. “Gue yang salah emang. Sejak kapan lo ingat nama orang kan?”
“Kalau yang nggak penting, gue malas ngingatnya. Menuhi memori ingatan gue aja,” jawab Dave seenaknya.
“Dave lihat,” Jaka menyenggol lengan Dave agar melihat ke arah Revo yang sedang mengecup pipi Angela.
“Fix selingkuh sih ini. Kasih tau Dela, yuk. Kasihan banget loh dia. Padahal dia cantik.”
“Selama bukan urusan lo nggak usah ikut campur, Jak. Suka banget lo ngerepotin diri sendiri,” jawab Dave membuat Jaka menggeleng-gelengkan kepalanya.
***
Berhubung di luar hujan sudah turun berbondong-bondong membasahi bumi. Terpaksa Andin dan Dela hanya memesan makanan kemudian membawanya pulang. Mereka tak ingin kedinginan di jam hampir mendekati pukul sepuluh malam seperti ini.
“Del, minta sausnya dong,” pinta Andin.
Mereka memesan dua porsi ayam geprek dengan level 10, dan masih ditambahi saus sambal lagi. Dela dan Andin memang maniak pedas. Kata mereka kalau makan tidak pedas, seperti bukan makan.
Dela menyodorkan botol saus ke arah Andin. “Lo punya oven nggak, Din?”
“Nggak punya, buat apa?”
“Gue mau buat kue, belajar. Dulu di rumah selalu dilarang,” jawab Dela.
“Entar gue beli deh, biar lo bisa belajar. Mana tau lo jadi pengusaha kue dan bolu.”
Dela menggeleng kuat. “Nggak usah, buat apa lo beli? Lo juga mageran orangnya.”
Andin tertawa mengiyakan. Sambil menikmati makanan dengan cuaca yang sedang hujan, Dela dan Andin bercerita dan sesekali tertawa. Hal yang tidak pernah Dela lakukan di rumahnya.
Suara ketukan pintu, menghentikan kegiatan mereka. Andin melirik ke arah jam yang bertengker di dinding. Pukul setengah sebelas malam. Siapa yang mengunjungi indekosnya di jam segini dalam keadaan hujan?
“Del, siapa tuh?” tanya Andin.
Dela mengindikan bahu. “Gue kan numpang di sini, mana gue tahu yang sering datang ke kos lo.”
“Nggak usah dibuka, deh,” kata Andin.
Mereka berdua berjalan menuju watafel, meletakan piring kotor dan mencuci tangan. Sekali lagi, suara ketukan pintu terdengar.
“Buka aja, deh, Din. Kali aja sepupu lo atau siapa gitu. Kasihan di luar hujan-hujanan.”
“Terus kalau dia maling lo kasihan juga? Sekarang banyak maling yang modus, Del. Iya kalau dia cuma ambil barang, kalau dia perkosa kita gimana? Kita berdua perempuan, mana punya kekuatan ngelawan dia.”
Dela menghela napasnya. Terkadang Andin dan segala pikirannya itu membuat Dela lelah dan ingin menghilang dari bumi.
Tanpa menunggu persetujuan Andin, Dela berjalan menuju pintu. Sedangkan Dela sudah bersiap memegang sapu di belakang Dela.
“Del, gue takut,” kata Andin.
Dela memegang knop pintu, menatap Andin sebentar. Sudah seperti adengan dalam film yang sering Andin tonton saja. Dengan perlahan, Dela membuka pintu dan melihat sosok laki-laki yang basah kuyup dan koper di sebelah kanannya.
Apa indekos Andin tempat penampungan orang yang melarikan diri dari rumah?