“Lo tidur nyenyak kan, Del?” tanya Andin yang baru sampai dengan tampang merasa bersalah.
“Nyenyak lah, hotelnya nyaman gitu. Mahal banget pasti kan, Din? Maaf ya, gue nyusahin lo mulu.”
Semalam, laki-laki yang dating ditengah hujan yang begitu deras adalah Satria—pacar Andin. Laki-laki itu sengaja tidak memberitahu Andin dan berpura-pura sakit agar Andin tidak curiga, kemudian memberi surprise. Dela sampai iri sendiri.
Karena sudah basah kuyup, Dela tak enak jika Satria yang menginap di tempat lain. Lagi pula laki-laki itu juga sudah lelah di perjalanan. Dela yang tahu diri, mengatakan biar dirinya saja yang menginap di hotel, dan Satria bisa di indekos Andin untuk menyalurkan rindunya.
“Gue yang minta maaf, karena Staria datang gue berasa ngusir lo.”
“Ngusir apaan coba? Kan gue yang mau, Din. Terus gimana, Satria di mana?”
“Di indsekos sendirian hehe …, katanya dia lagi libur gitu dua minggu jadi kemari deh nemui gue. Kaget banget gue, Del.” Andin bercerita dengan semangat, matanya memancarkan kebahagiaan, Dela ikut bahagia melihat itu.
“Makanya jangan mikir yang nggak-nggak lo, kebiasaan banget emang.”
“Del, ini elo?” tanya Tasya yang memasang wajah kagetnya.
“Kenapa, Sya?”
“Kaget aja, lo berdandan sekarang? Pakai riasan? Lo cantik tau Del, kenapa nggak dari dulu begini coba?” puji Tasya tulus.
Sebenarnya, sejak ia menginjak kaki di koridor tadi, Dela sudah menjadi pusat perhatian. Namun, ia tak sadar jika mereka memperhatikan wajah Dela yang terlihat lebih fresh dari sebelumnya.
Sebelum pergi, Tasya berpesan. “Jangan sia-siain wajah cantik lo, ya. Sayang banget wajah cantik begini pacaran sama Revo yang begitu.”
Andin yang ingin menimpali perkataan Tasya, tertunda karena Bu Cica sudah memasuki kelas. Dela mengucapkan syukur, setidaknya dia tak harus berdebat dengan Andin kali ini.
“Langsung saja, kelompok empat silahkan persentase,” intrusi Bu Cica di depan sana.
Dela mengeluarkan semua barang yang ia butuhkan untuk persentase, sedangkan teman kelompoknya—Dave terlihat sudah berdiri dengan malas-malasan di depan.
Begitu power point ditampilkan, Dave dan Dela menjelaskan secara bergantian. Bahkan Dave menambahi pendapatnya yang tidak ada di power point, membuat Dela tersenyum tipis.
“Terima kasih,” kata Dela dan Dave secara bersama
Akhirnya tugas kelompok mereka selesai dipersentasekan hari ini, terlihat senyum mengembang di bibir Bu Cica.
“Berikan tepuk tangan pada kelompok DEDA,” kata Bu Cica yang menyebut Deda sebagai gabungan nama Dela dan Dave.
“Bagus, saya suka sama pemikirian kalian, terutama tentang pelayanan kesehatan. Mau bagaimanapun yang utama dan paling utama adalah kesehatan dan keselamatan pasien. Jika, mereka sudah mengeluh sakit yang begitu parah, alangkah baiknya memang administrasi untuk mengisi data diri dilakukan di akhir, yang terpenting memberi pelayanan terlebih dahulu.”
Dela tersenyum kemudian menoleh kepada Dave, berniat mengacungkan jempolnya sebagai ungkapan kalau dia senang mendapat nilai positif dari Bu Cica yang terkenal dengan julukan hanya memberi nilai A pada mahasiswa laki-laki saja. Tapi, belum sempat Dela mengacungkan jempolnya, dia sudah melihat Dave yang kembali tertidur di mejanya sana.
“Baik, untuk kelompok berikutnya dipersiapkan untuk minggu depan, ya. Hari ini sampai di sini perkuliahan kita.” Bu Cica melangkah keluar.
Dela melangkah menuju meja Dave, menggoyang tubuh laki-laki itu akan terbangun. Kegiatan yang Dela lakukan, membuat seisi kelas—termasuk Andin menatapnya tak percaya.
Dave yang jarang berbaur dengan perempuan, selain yang pernah tidur dengannya, kali ini didekati oleh Dela—perempuan sebatas teman sekelas dan teman sekelompoknya saja.
“Susah, Del, ini anak kalau uda tidur susah banget bangunnya.” Jaka yang duduk di samping Dave memberi tahu Dela bagaimana tingkah sahabatnya itu.
“Kok mau lo berteman sama orang begini?”
“Terlepas dari sifat magerannya, dia sebenarnya perduli dan baik, Del.”
Ya, Dela mengakui itu. Dave pernah membawanya ke apotek untuk mengobati lukanya, padahal bisa saja Dave pergi begitu saja meninggalkan Dela yang notabenenya teman sekelas yang tidak ia ingat namanya sampai sekarang. Dave juga pernah memberinya jaket saat Dela menangis, dan Dave juga pernah menemani Dela ke pantai. Dave memang laki-laki yang baik. Meski di mata banyak orang image-nya sebagai playboy.
“Yaudah, deh. Bilangi ke dia, makasih sudah bekerja sama, ya. Ini minuman buat dia.” Dela memberikan sebotol minuman jus jerus dingin yang memang sudah ia sediakan sejak pagi tadi, “Gue tau kerongkongannya pasti gatal karena uda banyak ngomong di depan tadi.”
Dela menerutkan kening saat mata teman sekelasnya masih menatap ke arahnya. “Gue cuma ngucapin terima kasih, kok,” jelas Dela. Takut mereka salah paham dan dianggap sebagai perempuan yang sudah pernah tidur dengan Dave.
Dicap sebagai perempuan bodoh karena bertahan dengan Revo saja sudah membuat Dela pusing, gimana lagi jika dia mendapat predikat baru?
Tak berapa lama Dela meninggalkan kelas, Dave menegakkan tubuhnya, melihat botol minuman yang ada di depannya.
“Itu dari---“
“Gue tau,” potong Dave. Laki-laki itu tersenyum tipis.
***
“Lo kok bisa dekat sama si Dave?” tanya Andin. Saat ini mereka berada di kantin fakultas sastra,
“Dekat gimana? Teman sekelompok doang. Lo tau kan dia mageran sama kayak lo, tapi Dave lebih parah lagi? Jadi tadi gue kasih minuman gitu, dia setiap ngomong panjang kali lebar, kerongkongannya gatal,” jawab Dela seraya melahap satu potong batagor.
Andin memicingkan matanya, menatap Dela curiga. “Lo sampai tahu kalau tenggorokannya gatal kalau banyak ngomong? Perempuan yang pernah di bawah Dave aja nggak tahu.”
“Lo tau dari mana perempuan yang berada di bawah Dave nggak tau? Lagian lo tau dari mana kalau Dave tukang nidurin anak orang?” tanya Dela.
“Ya ampun, Dela …,” Andin mencubit pipi Dela gemas. “Makanya jangan fokus sama si Revo aja lo. Dave dan Revo itu beda tipis. Bedanya Dave nggak mau menjalin hubungan sama siapapun, makanya nggak punya pacar sampai sekarang. Dave juga mainannya banyak, kalau Revo kan cuma Angela doang, dan pacaran sama lo. Semua orang di kampus ini udah tau, Del.”
“Ya taunya dari mana, Din? Dave ngomong langsung gitu?”
Andin berdecak. “Lo lupa kalau ada perempuan yang marah-marah ke kelas kita karena Dave nggak mau ngehubungi dia lagi? Karena dia kita sebut b****g Dave seksi. Pakai logika, deh, ya kali tuh cewek tau gimana seksinya b****g Dave kalau nggak ehem-ehem,” jelas Andin.
Perempuan itu meneguk minumannya, kemudian melanjutkan penjelasan yang sempat tertunda. “Terus pernah juga ada cewek di kantin yang bilang nggak terima nomernya diblokir sama Dave padahal mereka uda tidur sama, endingnya Inez ngaku-ngaku kalau Dave miliknya. Nggak ingat lo?”
Dela mengangguk-anggukan kepalanya. Baru teringat dengan semua perempuan yang marah-marah menemui Dave. Bahkan ada yang teriak tidak akan pernah bisa lepas dari b****g seksi Dave, aneh sekali.
“By the way, Del. Lo malam ini mau tidur di hotel lagi? Gu check-in sekarang ya.”
“Nggak usah, “ tolak Dela.
“Terus tidur di mana lo?”
Dela juga bingung dia harus tidur di mana, tapi tidur di hotel yang nyaman dengan uang Andin juga bukan hal yang baik.
“Gue punya ide, Del,” kata Andin mendapatkan ide cemerlang.
“Lo ingat kalau Dave pernah bilang mau nyewain satu kamarnya?”
Dela mengangguk.
“Gimana kalau lo tinggal di sana aja?”
Lagi, Dela menggeleng, kali ini lebih kuat. “Gila lo!”
“Kok gila, sih? Dave sewain satu kamarnya dengan harga murah lho, sesuai dengan yang lo cari. Tapi ya syaratnya ngurus kucingnya.”
“Lo tau gue takut kucing, Din.”
“Iya, tapi perlahan pasti lo nggak takut lagi karena udah terbiasa. Nggak ada salahnya juga kalau lo tinggal sama dia, bisa ngelihatin b****g seksi setiap hari.”
***
Dave berjalan menuju parkiran motor, di samping kanannya terlihat Jaka yang ikut berjalan menuju bersamanya. Jam perkuliahan sudah selesai sejak setengah jam yang lalu, tapi Jaka dan Dave memilih mengisi perut dahulu sebelum pulang.
“Hai, Dave,” sapa Inez yang tiba-tiba muncul dan menggandeng lengannya.
“Kok baru kelihatan lo” tanya Jaka.
Akhir-akhir ini Inez memang jarang terlihat, wajar perempuan itu selebgram yang begitu sibuk membuat konten dan mengurus endorse-annya. Padahal tanpa bekerja pun dia sudah menjadi kaya.
“Lo kan tau gue nggak niat kuliah, Jak,” jawab Inez.
Ya, itu sudah menjadi rahasia umum bahwa seorang Inez merupakan mahasiswa termalas yang pernah ada. Sangking malasnya perempuan itu harus mengikuti kelas ganti untuk semua mata kuliah di semester tiga.
“Lo mau kemana, Dave? Nongkrong yuk,” ajak Inez.
Dave duduk di motor kesayangan bewarna hijau itu. “Gue ngantuk,” jawabnya.
“Yaudah tidur bareng gue aja,” tawar Inez blak-blakan sampai membuat Jaka membulatkan matanya.
“Bar-bar banget lo,” kata Jaka seraya menghidupkan motor merahnya. “Gue duluan, Dave,” ujar Jaka sebelum memakai helm fullface miliknya.
“Jadi gimana Dave? Kita kemana?”
Belum sempat Dave menjawab, namanya sudah dipanggil oleh seseorang yang berdiri di belakangnya.
Dave membalikkan tubuh, menatap Dela. Untuk beberapa detik, matanya tidak berkedip. Melihat penampilan Dela yang berubah hari ini, sedikit membuat Dave terkagum. Detik berikutnya, Dave menatap Dela dengan tatapan datar khas seorang Dave, sedangkan Inez menatap tak senang.
Dave menaikan satu alisnya.
“Gue mau ngomong bisa?” tanya Dela.
Tadi, sebelum memutuskan untuk menemui Dave, Dela sudah menghubungi Revo agar bisa membantunya. Dela mengatakan membutuhkan uang dan berniat meminjamnya dari Revo. Namun, Revo mengatakan dia sedang sibuk menemani Angela makan siang dan mengabaikan keluhan Dela.
“Ya, ngomong aja.” Bukan Dave yang menjawab melainkan Inez.
“Nez, gue nggak bisa kali ini. Next time, ya,” kata Dave secara tidak langsung mengusir Inez dari hadapannya.
Merasa kesal, Inez menatap Dela dengan tatapan tajam sebelum berlalu pergi dengan menghentak-hentakan kakinya.
“Gue mau tanya, lo udah nemu penyewa kamar lo nggak?”
Dave menggeleng.
“Kira-kira kalau gue mau nyewa di sana, bisa?”
“Lo minggat dari rumah?” tanya Dave.
Dela mengangguk.
“Keren.”
“Jadi, gimana? Lo nerima gue tinggal di kamar yang lo sewain nggak?”
Dela greget sendiri, dia merasa sedang melamar pekerjaan dan Dave adalah manager killernya.