Semalam pukul 12 malam, Revo mengubungi Dela dan mengajaknya sarapan di kantin pagi ini. Andin yang mengetahui hal itu hanya menatap sinis ke arah Revo yang tersenyum padanya—berdiri di ambang koridor fakultas kesehatan masyarakat.
“Meski muka lo sinisin gitu, lo tetap cantik kok,” puji Revo di depan Dela.
“Jiwa lo udah sakit emang!” ketusnya. “Del, gue duluan deh ke kelas, bisa naik darah tinggi gue lihat muka cowok lo yang nggak ada tampan-tampannya ini.”
Setelah mengatakan itu, Andin pergi meninggalkan Revo dan Dela yang melihat kepergiannya sampai punggungnya tak terlihat lagi.
“Yuk, makan,” kata Revo merangkul Dela.
Diam-diam, Dela tersenyum. Sudah lama rasanya dia tidak diperlakukan seperti ini dengan Revo. Laki-laki ini sangat sulit ditebak, terkadang dia mengabaikan Dela, terkadang dia bersikap manis.
Berbeda dengan Dela, reaksi beberapa orang yang berada di sepanjang koridor menuju kantin sangat berbeda. Samar-samar Dela mendengar mereka menceritakan tentangnya dan Revo.
Ada yang mengatakan Revo pasti buang tabiat dan akan segera mati karena bersikap baik dengan Dela. Hal yang sangat jarang ia lakukan.
Dela mengadah, menatap Revo di sampingnya yang lebih tinggi. Laki-laki itu terlihat biasa saja, bahkan terkesan tidak perduli meski banyak yang menggunjingnya.
“Mau pesan apa?” tanya Revo saat mereka sudah duduk di salah satu meja yang tersedia di kantin.
“Salad buah ada nggak, ya, di sini?” tanya Dela, matanya membaca menu yang tersedia.
“Makan lontong aja biar kenyang lo, lihat ini badan.” Revo menyentuh lengan Dela dengan satu jari. “Kurus banget, kayak orang kekurangan gizi lo,” tambahnya berkomentar.
“Yaudah iya,” jawab Dela pasrah.
Selagi Revo pergi memesankan makanan untuk mereka, Dela mengecek ponselnya. 10 pesan terbaru dari Andin. Kening Dela berkerut kemudian membuka pesan dari Andin.
Rasanya Dela ingin mengumpat begitu membaca semua pesan yang Andin kirimkan. Beberapa gunjingan yang Dela dengar di koridor tadi, Andin kirimkan kepadanya. Dan diakhiri dengan kata “Bahkan seantero kampus nggak yakin kalau Revo kesayangan lo itu benar-benar berubah dan treat you like a queen.”
“Lihatin apa sih lo?” tanya Revo begitu sampai dan duduk di depan Dela.
Dela menggeleng, memasukan ponselnya ke saku. Seperti biasa saat makan, Revo menyediakan makanan Dela di depannya, menyediakan sendok dan garpu, kemudian membukakan botol minuman Dela. Apa ini tidak seperti memperlakukan Dela seperti ratu di mata Andin?
“Lo selingkuh, ya?” tanya Revo.
Hampir saja Dela tersedak mendengar pertanyaan dari Revo. Selingkuh? Bukannya dia yang terlihat seperti itu?
Revo mengambil gorengan yang ia beli kemudian melahapnya. “Tugas gue udah selesai?” tanya Revo lagi.
Dela menghentikan aktifitasnya. Dia lupa menyelesaikan tugas Revo kemarin karena berdebat dengan orang tuanya. Padahal deadlinenya hari ini.
“Lo lupa bawa atau belum lo kerjain?” tanya Revo menatap Dela datar.
“Aku udah kerjain sebagian, Vo. Tapi aku nggak bawa tugasnya. Maaf.”
Revo tertawa hambar. “Maaf?” gorengan yang ia pegang tadi, ia letakin kembali di piring.
“Itu tugas gue kasih seminggu yang lalu dan belum selesai?”
“Maaf, Vo. Sekarang aku kerja, pulang kerja karena terlalu lelah aku suka ketiduran,” jelas Dela.
“Gue nggak perduli mau lo kerja, lo salto, atau apapun. Kalau gue udah ngasih tugas ya dikerjain bego!” bentak Revo.
Beberapa orang di kantin menoleh ke arah mereka, melihat Dela yang dibentak-bentak oleh Revo, tapi tak bisa berbuat apa-apa.
“Itu Dela kan?” tanya Jaka yang berada di meja tak jauh dari Dela.
Dave mendongakan kepalanya kemudian mengangguk.
“Tolongin yuk, Dave. Cowoknya sakit jiwa itu!” geram Jaka.
“Nggak usah! Dia yang punya kendali untuk dirinya, kalau dia diam aja diperlakukan seperti itu, berarti dia nggak masalah. Kenapa harus kita yang repot?” jawab Dave, matanya masih menatap ke arah Dela yang berkali-kali ditoyor oleh Revo.
“Terkadang nggak semua orang bisa mengendalikan dirinya, Dave. Makanya dia butuh orang lain.”
Dave menoleh sebentar ke arah Jaka, kemudian menatap Dela lagi.
***
“Kapan sih otak lo itu waras, Del? Kapan mata lo itu kebuka?” tanya Andin geram.
Pulang dari kampus, Andin mengajak Dela membeli make-up untuknya. Agar mata perempuan itu terbuka dan menyadari bahwa dirinya cantik. Dan bisa segera melepas diri dari Revo—si sakit jiwa itu.
“Tadi memang gue yang salah, Ndin,” jawab Dela.
Ditengah-tengah keramaian mall, Andin ingin membunuh Dela rasanya. Andin curiga kalau Dela ini pasti dipelet oleh Revo. Baru kali ini Andin menemui perempuan sebego Dela.
Tak ingin memperpanjang perdebatan, Andin berjalan menuju stan lipstick yang diikuti oleh Dela.
“Lo mau beli lipstik, Ndin?”
“Buat lo,” jawab Andin.
“Nggak perlu, gue masih punya lipstik kok,” tolak Dela secara halus.
“Anggap aja ini kado ulang tahun lo untuk tahun depan. Lo harus cantik, terus minta putus dari Revo.”
Dela merotasikan matanya. Setiap pembicaraan, Andin selalu mengatakan agar Dela putus dari Revo. Dela sampai bosan sendiri mendengarnya.
“Halo, Kak,” sapa Andin pada SPG yang berdiri di depannya.
“Halo, Kak. Ada yang bisa saya bantu?”
Andin menarik Dela mendekat. “Saya mau lihat lipstik boleh?”
“Boleh, Kak. Kakak suka lipstick warna apa?” tanya SPG itu berjalan mendekati stan yang berada di sebelah kiri.
Andin dan Dela mengikutinya. “Bukan buat saya, sih, Kak. Buat dia,” tunjuk Andin ke arah Dela yang hanya tersenyum kikuk.
“Halo, selamat siang,” sapa seorang perempuan yang mungkin juga seorang SPG. Hanya saja warna bajunya berbeda dengan SPG yang Andin sapa tadi.
“Mau saya rekomendasikan warna lipstick, Kak?” tawar perempuan itu yang bernama Jingga—terlihat dari name tag yang ia kenakan.
“Boleh, Kak,” jawab Andin semangat. “Teman saya ini rada bego, Kak. Padahal dia cantik, tapi nggak mau berdandan,” cibir Andin.
“Dilihat dari warna kulit saya rekomendasikan, warna dusty pink dan chic rose, Kak.” Jingga memberikan contoh lipstick kepada Dela.
“Yaudah, Kak, kami ambil dusty pink dan chic rose.”
“Peach juga bagus, Kak. Biasanya lipstick peach menggambarkan karakter yang baik dan murah hati. Terlihat dari wajah kakak yang murah hati,” kata Jingga melihat Dela.
Andin mendengus kesal. “Kebaikan dia mah, Kak,” cibirnya. “Yaudah, Kak. Aku ambil warna nude, cokelat, merah, dusty pink, chic rose, dan peach, ya. Sekalian eyeshadow, blush on, maskara, eyeliner juga, Kak.”
“Baik, Kak.”
“Buat apa banyak banget, Ndin?”
“Biar lo cantik! Visi misi hidup gue sekarang adalah membuat lo cantik agar bisa putus dari Revo dan cari laki-laki lain. Dave misalnya,” ujar Andin yang diakhiri kekehan kecil.
***
Dua jam kemudian, setelah sampai di rumah. Andin langsung menarik Dela untuk duduk di depan meja rias.
“Lo hari ini kerja kan?” tanya Andin yang diangguki Dela.
“Oke, gue ajarin lo make-up. Kita lihat reaksi teman-teman kerja lo, kalau mereka muji cantik, lo harus sering bermake-up. Setidaknya pakai sunscreen, cushion, maskara dan lipstick.”
Dikeluarkannya semua barang yang mereka beli tadi di atas meja. Andin mulai menjelaskan dan mempraktekan bagaimana cara pakainya. Mulai dari eyeshadow, blush on, dan eyeliner.
Andin juga mengajari Dela bagaimana cara membuat ombre lips yang sedang ngetren saat ini.
Sesekali Dela tertawa, karena tingkahnya yang aneh saat memakai eyeliner. Dia tidak pernah memakai itu sama sekali. Ini kali pertama.
“Sumpah …!! Lo cantik banget, Del,” puji Andin melihat wajah Dela yang sudah selesai dipoles.
Dela melihat pantulan dirinya di cermin, dan benar, dia memang terlihat cantik. Seperti bukan seorang Dela.
Dilihatnya Andin yang masih tersenyum melihat Dela. “Lo cantik,” kata Andin lagi.
Dela terharu, memeluk Andin dengan kuat, mengucap rasa sykur berkali-kali dalam hati. “Makasih, Ndin. Makasih banyak.”
Andin membalas pelukan dan mengangguk. “Sama-sama, Del. Lo harus lepas dari hubungan toxic itu, ya. Gue yang sakit hati setiap Revo memperlakukan lo nggak baik.”
Dela melepaskan pelukannya, tersenyum tipis melihat Andin. Apa memang sesalah ini kah hubungan mereka? Sampai Andin merasa sakit melihatnya diperlakukan buruk oleh Revo.
“Sekarang lo siap-siap berangkat kerja, deh. Entar telat,” suruh Andin dan mendapat anggukan dari Dela.
***
Sedari tadi, saat Dela sampai di lokasi kerjanya, dia sedikit merasa risih karena ditatap beberapa orang. Dela sering menjadi sorotan seperti ini, namun dengan alasan yang jelas. Apalagi kalau bukan karena merasa kasihan menjalin hubungan dengan Revo.
Tapi kali ini, tidak ada yang mengenal Dela selain rekan kerja. Dia juga merasa tidak melakukan apapun.
“Cantik banget lo hari ini, habis kencan?” tanya Dika yang kebetulan satu shift dengan Dela.
Pipi Dela memerah mendengar pujian dari orang lain, selain Andin. Kepalanya menggeleng, Dela tersenyum malu-malu. “Perdana make-up gue,” jawabnya.
Dika mengangguk-anggukan kepalanya. “Bagus, kok. Kelihatan lebih fresh. Sering-sering begini, target kita pasti tercapai.”
“Masih pemula gue, belum mahir. Ini aja teman yang bantu.”
“Pelan-pelan pasti bisa, Del.”
“Permisi, Mbak. Saya mau pesan,” kata laki-laki di depannya.
Dika mendekat ke telinga kiri Dela. “Tuh, kan. Padahal kita sama-sama free, tapi dia malah milih lo.” Dika menarik tubuh, tersenyum manis.
Dela hanya tersenyum menanggapinya. “Silakan, Mas.”
“Lah, elo Del?” tanya laki-lai itu yang ternyata Jaka.
“Eh, Jaka. Sama siapa lo?” tanya Dela.
“Tuh..,” Jaka menunjuk ke arah perempuan berambut pirang panjang. “Sama Inez.”
“Pacarnya Dave kan? Lo mau pesan apa? Antrian panjang tuh.”
“Burger ayam deh, pakai kentang, minumnya fanta.” Jaka memberikan uang seratus ribu ke arah Dela. “Itu bukan pacar Dave, Inez-nya aja yang klepek-klepek sama teman gue,” sambung Jaka.
“Ini kentangnya mau yang large nggak? Terus Dave-nya mana?” tanya Dela, matanya masih fokus menatap layar monitor.
“Nggak usah yang biasa aja. Lagi di jalan si Dave entar lagi mungkin sampai.”
Dela membentuk bibirnya seperti O sebagai jawaban. Memberikan kembalian kepada Jaka dan mengucapkan terima kasih.
“Btw, lo cantik hari ini,” puji Jaka.
Sekali lagi, pipi Dela merona.