Pesona Dave

1311 Kata
“Udah lama banget lo nggak kemari?” sapa Boy bartender di club tempat biasa Dave dan Jaka kunjungi. “Lo tau si Dave gimana kan? Rasa malasnya dia tuh melebihi ibu-ibu hamil kayaknya,” komentar Jaka tanpa memperdulikan orang yang sedang ia cibirin berada di sebelah. Boy terkekeh kecil, menyediakan dua gelas cocktail untuk mereka. “Inez kemarin nanyakin lo,” ujar Boy menatap Dave. “Tiap hari mah dia ngejar-ngejar Dave. Nggak bosan apa, ya?” Bukan Dave yang menyahut melainkan Jaka. “Lo pakai pelet apa, sih, Dave? Banyak bener yang nyantol,” tanya Boy. “Pelet kepala lo!” balas Dave acuh. “Permainan di ranjang yang mungkin buat cewek-cewek ngejar dia,” ujar Jaka seraya tertawa meski tak terdengar karena tertupi musik yang bergema. “By the way, Boy. Ini bukan cocktail pesanan gue bisa, deh,” ucap Jaka setelah merasa ada yang berbeda dengan rasa cocktail yang ia minum. “Gue baru belajar kemarin, jadi gue buatin buat lo pada. Enak nggak?” Jaka meneguk minumannya lagi, kemudian mengangguk. “Enak sih, tapi rada aneh aja karena nggak biasa minum yang ini. Apa namanya?” “Negroni, dari Italia. Kata mentor gue rasanya ini strong yet sweet. Selama ini kan kalian minum yang rada pahit kan, kayak hidup. Sesekali minum yang begini.” Boy berlalu, menuju pelanggan yang tak jauh dari Jaka dan Dave. “Hai, Dave.” Tiba-tiba dari sebelah kanannya, Inez muncul dan langsung mengecup pipi Dave tanpa dosa. Dave langsung menetralkan keterkejutannya kala melihat wajah Inez yang tersenyum di sebelahnya. “Lo kemana aja, sih? Di kampus gue cari-cari nggak ketemu mulu,” keluh Inez. Bibirnya sengaja ia majukan agar terlihat lebih imut. “Sibuk gue.” “Sibuk ngapain?” “Tidur.” Senyuman licik terbit di bibir Inez, dengan cepat ia mendekatkan tubuhnya kepada Dave. Bahkan dua gundukannya begitu terasa di lengan kekar Dave. “Kali ini ayo tidur bareng gue. Gue rindu b****g lo,” bisik Inez dan sedikit menggigit cuping Dave. Seperti peribahasa, buaya mana yang menolak bangkai? Maka seperti itulah Dave. Laki-laki itu langsung berdiri dan memeluk pinggang Inez dengan posesif. Jaka yang paham hanya mengangguk, kemudian berjalan menuju lantai dansa. Dia tak ingin mengikuti jejak Dave malam ini. Dave sengaja menyewa satu tempat VVIP yang tersedia di dalam club untuk mereka. Inez langsung melakukan aksinya begitu pintu sudah tertutup rapat. Tidak tinggal diam, Dave juga langsung melakukan aksinya. Mulai dari bibir, leher, turun pada gundukan yang begitu menggoda. Dengan kasar, Dave membuka kemeja yang Inez kenakan begitu juga dengan penutup gundukan itu. Bibirnya langsung mengulum benda kenyal itu, dan satunya diremas menggunakan tangan kiri. Inez mendesah kuat, merasakan kenikmatan yang Dave berikan. Tangannya mendorong Dave, kemudian membuka kaus yang masih Dave kenakan dan celana yang ia pakai. Digigitnya bibir bawah kala melihat b****g yang Dave miliki. “I miss your as,” ujar Inez dengan suara sensualnya tepat di telinga Dave. *** Setelah berhari-hari membujuk Revo, akhirnya laki-laki itu menuruti keinginan Dela. Sore ini, Revo dan Dela berada di taman, duduk di rumputan dengan beberapa snack di depan mereka. Hembusan angin sore membuat Dela tersenyum. Hal itu tak luput dari pandangan Revo, meski ia hanya menatap datar. Sebelum pergi dengan Dave, Dela sudah meminta izin dengan orang tuanya tadi, dan untungnya mereka mengizinkan. “Di sini nyaman kan, Vo?” tanya Dela dengan mata tertutup menikmati semilir angin. “Lebih nyaman di apart gue,” jawab Revo. “Ayo nonton di apart gue,” ajaknya kemudian. Dela membuka mata. “Nonton apa?” Revo mengindikan bahu. “Terserah, gue punya banyak stok film. Dari pada di sini, apa yang lo lihat coba?” ‘Aku cuma mau duduk berdua sama kamu,’ jawab Dela dalam hati. “Ayo,” kata Revo lagi yang sudah berdiri. Mau tak mau, Dela mengikutinya. Selama perjalanan menuju apartemen Dave, Dela hanya menatap luar jendela, menyaksikan kegiatan orang-orang di sana. Ada anak-anak yang mengamen, ibu-ibu yang menjual gorengan, dan beberapa remaja yang menjual tissue keliling. Dela sempat berpikir, jika dulu orang tuanya mentelantarkan dia, mungkin nasibnya akan seperti mereka. Alasan Dela tak ingin pergi dari rumah itu, karena dia merasa berterima kasih. Meski hidup tanpa kasih sayang, setidaknya dia tidak ditelantarkan. Nasibnya lebih beruntung dari anak-anak di jalan itu. Telalu banyak melamun membuat Dela tak sadar bahwa mereka sudah sampai di basemanti. Revo saja sudah keluar lebih dulu. “Lo mau minum apa? Di rumah gue ada wine, mau?” tawar Revo saat mereka sudah memasuki apartemen. Dela menggeleng kuat, dia tak pernah mencicipi minuman seperti itu. “Air putih aja.” Revo memutar film romantis Fifty Shades Of Grey. Laki-laki itu duduk di samping Dela, tangannya ia letakan di pinggang Dela, agar perempuan itu lebih dekat dengannya. Selama film berlangsung Dela terlihat serius, bahkan tak sadar jika tangan Revo sudah berada di atas gundukannya. Saat adegan kissing ditampilkan, Revo menarik wajah Dela agar menatapnya, kemudian mengulum bibir ranum perempuan itu dengan lembut. Tangannya mulai menulusuri setiap lekuk tubuh Dela. Tubuh Dela bergetar, kala lidah Revo bermain di benda kenyal bewarna pink miliknya. Tanpa sadar menjambak rambut Revo. Revo terus melanjutkan aksinya, mulai membaringkan tubuh Dela di atas sofa dan Revo menindihnya. Baju Dela sudah lepas, begitu juga bra yang ia kenakan. Revo terus mengulum dan meremas dengan kuat. Membuat tubuh Dela semakin bergetar. Revo mulai turun ke bawah, berniat membuka celana yang Dela kenakan. Namun, aksinya langsung Dela hentikan. “Aku nggak mau, Vo,” kata Dela dengan suara parau. “Lo nggak cinta sama gue?” tanya Revo sedikit kesal. “Bukan gitu. Ta—“ “Oke, nggak masalah.” Revo bangkit dari posisinya, memakai kaus yang ia buka tadi. “Pakai baju lo, gue antar pulang.” *** Keesokan paginya, Dave datang sedikit terlambat ke kampus dan tidak mengikuti kelas pertama. Dia langsung menuju kantin, menemui Jaka yang sudah menunggunya. “Ganas juga Inez, ya,” komentar Jaka melihat bercak kemerahan di leher Dave. “Begitu banyak cewek di ranjang yang sama, sama gue. Masih Inez yang terbaik,” jawab Dave jujur. “Gila. Berarti punya peluang besar jadi pacar lo?” goda Jaka. Raut wajah Dave langsung berubah. “Gue nggak pernah menjalin hubungan sama perempuan yang udah di bawah gue,” ungkap Dave. Jaka menganggukan kepalanya. Hampir lima tahun mengenal Dave, laki-laki itu tidak pernah berubah. Dia masih menunggu satu orang yang membuatnya tak ingin menjalin hubungan dengan siapa pun. Bagi Dave semua perempuan itu hanya mainan, kecuali ibu dan perempuan yang ia tunggu. “Dave!” jerit Kamila dari pintu kantin membuat seisi kantin menatapnya. “Kamu kemana aja selama ini? Dua minggu aku cariin. Nomer aku kamu blokir ya?” tanyanya yang sudah duduk di depan Dave. “Iya,” jawab Dave singkat, padat, dan jelas. “Kenapa diblokir? Kamu nggak sayang aku lagi?” Dave menaikan satu alisnya. “Sejak kapan gue sayang lo?” “Lho? Jadi permainan panas dua minggu yang lalu itu apa, Dave?” wajah Kamila memerah menahan amarah. “Senang-senang. Lo senang, gue senang.” Kamila mengepalkan tangannya, tak terima. “Nggak bisa gitu, dong! Kamu laki-laki terseksi yang aku kenal, maka kamu harus jadi milikku.” Dave hanya memutar bola matanya malas, dan tak menanggapi Kamila. “Dave milik gue,” ujar Inez yang tiba-tiba datang dan langsung mengecup pipi Dave. Sepertinya itu sudah menjadi kebiasaan Inez. Kamila yang melihat tidak ada penolakan dari Dave semakin geram. “Kamu pilih dia atua aku Dave?” Dela yang juga berada di kantin, memasang wajah bodohnya menyaksikan adegan perebutan Dave itu. Entah apa yang mereka lihat dari seorang Dave selain kaya dan b****g seksinya. Berbeda dengan Andin, perempuan itu memasang wajah seriusnya. Ingin tahu, apa kali ini Dave mengakui Inez sebagai pacarnya atau tidak. Jika ya, maka hari itu akan menjadi hari patah hati sefakultas kesehatan masyarakat. Dave mengangkat wajahnya. “Pilih kasur. Gue ngantuk.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN