Makam Callista

1119 Kata
Pagi ini Dela bangun dengan badan terasa tak enak, beberapa bagian tubuhnya terasa pegal-pegal. Kurang tidur memang selalu membuat Dela merasa tak sehat. Bahkan sekarang badannya semakin mengurus dengan pipi yang semakin kurus. Setelah selesai melakukan semua ritual paginya, mulai dari mencuci pakaian, menjemurnya, membereskan rumah dan terakhir memasak, Dela berniat merebahkan tubuhnya sebentar. Kuliahnya di mulai pukul sepuluh nanti, masih tersisa kurang lebih dua jam untuk Dela beristirahat. “Dela ….,” panggil Alicia yang membuat Dela mendesah malas. Baru saja dia berpikir, bisa beristirahat sebentar karena tubuhnya yang terasa sakit, tapi itu semua seperti hayalan. “Iya, Bu?” tanya Dela setelah berdiri di depan Alicia. “Kamu nggak punya uang?” Dela menggeleng. “Sama sekali nggak punya?” “Ada, tapi untuk ongkos beberapa hari ke depan, Bu. Ibu kan belum kasih aku uang.” Alicia merotasikan matanya. “Bawa sini uang kamu. Setelah ibu hitung-hitung modal untuk pesanan orang ternyata kurang. Sedangkan pesanan harus selesai dua hari lagi.” Dela menghela napas, memasang wajah sendunya. “Buruan siniin uang kamu! Jangan durhaka sama orang tua,” paksa Alicia dengan wajah yang memang tidak menunjukan kasih sayang pada Dela meski sedikit. “Iya, Bu,” jawab Dela. Perempuan itu berjalan menuju kamarnya. Tadi sebelum melakukan ritual pagi, Dela sudah mandi terlebih dahulu. Sekarang dia ingin pergi dari sini secepatnya. Entah kemana, asal tak di rumah. “Ini, Bu,” ujarnya memberikan dua lembar uang lima puluhan. “Cuma segini?” Alicia memasang wajah sombongnya. Dela mengangguk. Tak ingin berlama-lama di sana, ia segera berjalan menuju pintu, bahkan Dela tak berpamitan dengan Alicia. Untuk pertama kalinya Dela melakukannya. Tanpa sadar, hampir dua puluh menit lamanya Dela berjalan tanpa arah. Sekarang dia berdiri di depan pemakaman garden. “Aku rindu kamu, Kak,” ujarnya memasuki pemakanan itu. Dela berjongkok di depan nisan yang bertuliskan Callista Putri. Diusapnya dengan lembut nisan itu seraya tersenyum getir. “Kak, kamu rindu aku nggak? Aku rindu banget sama kamu,” ucapnya masih mengelus nisan. “Aku capek jadi anak tunggal ibu, Kak. Setelah kepergian kamu, ibu dan ayah nggak sayang aku lagi.” Tangannya berpindah mencabuti rumput-rumput di sekitar gundukan tanah. “Kak, Dela harus apa? Boleh Dela nyusul Kakak?” tanpa sadar air matanya jatuh begitu saja. “Kamu tau nggak, Kak? Sekarang aku udah semester lima, lho. Aku berusaha sekuat mungkin biar tetap dapat beasiswa. Terkadang sangking fokusnya belajar aku lupa makan dan akhirnya mimisan. Tapi, Ibu nggak marahin aku, Kak. Mungkin ibu senang ya kalau aku nggak makan dan sakit?” Dela menarik napasnya pelan. “Aku juga udah bisa jalan jauh, Kak. Lihat dari rumah kemari aku jalan kaki lho, Kak. Kakiku sakit.” Dela menangis, pundaknya bergetar. “Tapi nggak ada yang perduli sama aku, Kak. Aku capek, Kak. Capek banget. Tubuhku sakit, pikiranku sakit, mentalku sakit.” Dela menghapus air matanya. “Tapi aku nggak boleh nyerah kan? Kakak bilang aku harus kuliah biar dapat gelar dan kerjaan yang enak. Biar aku bisa beli jagung s**u keju yang banyak.” Sebelum berpamitan pulang, Dela tersadar bahwa dia tak membawa bunga untuk Callista. Bunga putih, bunga favorite Callista. “Kak, maafin aku lupa bawa bunga, ya. Lain kali kalau aku ke sini, aku bawakin. Aku pulang ya, Kak.” Sebelum benar-benar keluar dari area pemakaman, di depan makam Callista, Dela melihat sosok lelaki yang tampak tak asing di matanya. Laki-laki itu berjongkok di makam seseorang, tidak berdoa, tidak pula bercerita seperti yang Dela lakukan. Dia hanya dia menatap papan nama itu. “Dave?” gumam Dela. *** Selesai kelas Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan, Andin mengajak Dela untuk makan di kantin bersama. Tapi Dela mengatakan agar Andin saja terlebih dahulu pergi dan menunggunya di kantin, sedangkan Dela berjalan menuju kelas Revo. K3-B. Sudah beberapa hari Revo seperti menghilang, pesan yang Dela kirimkan hanya di read saja tanpa dibalas. Panggilan yang Dela lakukan, ditolak oleh Revo. “Permisi, lihat Revo nggak?” tanya Dela pada perempuan yang duduk di depan kelas yang Dela ketahui sebagai kelas Revo. “Tadi keluar, deh,” jawabnya. “Oh dia hadir?” Perempuan itu mengangguk. Lihat lah, Revo hadir namun tak menyempatkan diri untuk bertemu dengannya. Padahal kelas mereka tidak begitu jauh. “Iya hadir.” “Perginya sendiri?” tanya Dela lagi. “Enggak, bareng Angela.” Dela tersenyum kecut. Harusnya dia sudah tau ini. Jika Revo menghilang, maka dia selalu bersama Angela. “Beberapa hari ini Revo hadir terus?” Dela tahu dia sudah terlihat seperti wartawan, tapi dia benar-benar membutuhkan info ini. “Semalam dia nggak hadir.” Dela mengangguk-anggukan kepalanya dan mengucapkan terima kasih. Sebelum Dela pergi, suara Salsa terdengar. “Del, boleh gue ngomong?” kata Salsa menatap Dela Dela tidak mengenalnya karena dia berbeda peminatan dengan Dela, dan mereka tidak pernah sekelas di semester sebelumnya. Tapi, perempuan itu pasti mengenal Dela, siapa yang tidak mengenal perempuan yang selalu mendapat beasiswa dan menjadi korban hubungan toxic itu? Dela mengangguk. “Lo cantik, lo bisa cari laki-laki lain. Jangan sama Revo lagi, gue kasihan lihat lo sering dibentak di muka umum, sering diabaikan, karena dia begitu perhatian ke Angela.” Dan lagi-lagi Dela hanya bisa memasang senyum terpaksanya, mengucapkan terima kasih dan berlalu pergi. *** Dela mengedarkan pandangannya. Siang ini kantin lebih ramai dari biasanya, tapi tetap saja Dela tak bisa menikmati itu. Di sudut sebelah kiri, meja nomer dua paling belakang, Dela melihat Andin yang melambaikan tangan ke arahnya. Keningnya berkerut karena melihat Andin mau duduk di kursi akhir yang sangat jauh dari kipas angin. Kode dari Andin membuat Dela tersadar, ternyata Dave di meja paling belakang. Andin memang tidak bisa berubah. “Delaaaa …,” jerit Andin pelan namun ekspresinya begitu bahagia. “Lo kenapa, sih?” tanya Dela yang tak mengerti dengan sikap temannya ini. “Lo udah tau kan siapa yang di belakang gue?” Dela mengangguk. “Gila parfumnya oke banget wanginya,” puji Andin setengah berbisik yang mencium aroma Dave. “Lo jadi mau sewain satu kamar?” tanya Jaka yang terdengar oleh Andin dan Dela. “Jadi.” “Dengan harga murah?” Dave mengangguk, mengunyah baksonya. “Kok baik banget lo? Lo kan iblis bukan malaikat.” Dave acuh tak acuh. Diseruputnya minumannya sebelum menjawab. “Gue nggak punya waktu buat beresin itu rumah. Si Tuan juga kasihan kalau gue nggal di rumah, dia sendirian terus.” “Tuan?” beo Andin. “Oh, jadinya lo butuh catsister ni ceritanya?” tanya Jaka penuh selidik. “Enggak, lha. Gue tetap bantuin ngurus si Tuan, kok,” jawab Dave. Andin tersenyum licik, melihat Dela. “Ngapain lo lihat gue dengan senyum licik gitu?” tanya Dela sedikit ketakutan. “Gue mau pindah indekos,” jawab Andin. “Ke apartementnya Dave.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN