Berhubung hari ini tidak ada jadwal kuliah, karena sang dosen yang super duper sibuk tidak masuk, Dela menggunakan waktunya untuk datang ke restaurant yang dikirimkan oleh Andin semalam.
Pukul tiga sore, Dela berjalan di bawah terik matahari sendirian. Sesekali perempuan itu mengeluh kemudian melanjutkan langkahnya lagi.
“Permisi,” ucapnya pada seorang perempuan yang berdiri di balik kasir begitu sampai.
Perempuan itu menoleh. “Ya.”
“Saya mau mengantar lamaran kerja, Kak.” Dela memberikan amplop yang ia pegang ke arah perempuan itu.
“Kalau begitu silakan tunggu di sana, ya.” Perempuan itu menunjuk salah satu kursi yang tersedia di dalam restaurant ini.
Restaurant ini cukup besar. Di dalam ruangan tersedia kurang lebih delapan meja, dan di bagian luar sekitar lima meja. Lokasinya strategis karena berdekatan dengan kampus dan beberapa perusahaan lainnya.
Dilihat dari menu yang tersedia di dinding atas area kasir, restaurant ini benar-benar menyediakan makanan cepat saji, seperti burger, kentang dan kebab.
Restaurant ini juga menyediakan wifi jika para pelanggan ingin menggunakannya. Uniknya desain restaurant cepat saji ini serba cokelat yang memanjakan mata.
“Maaf, ya, kalau nunggu lama,” ujar laki-laki paruh baya duduk di depan Dela.
Dela tersenyum canggung. “Tidak masalah, Pak.”
“Perkenalkan saya Pak David, manager di restaurant ini,” kata Pak David memperkenalkan diri. “Saya sudah membaca surat lamaran kamu. Sebelumnya saya mau bertanya, kamu kuliah?”
Dela mengangguk. “Iya, Pak.”
“Apa tidak masalah kalau sambil bekerja? Di sini memang tersedia dua sift, hanya saja saya takut kuliah kamu terbengkalai.”
“Saya kuliah pagi, Pak. Jika saya diterima, saya mau minta sift sore saja, apa boleh, Pak?”
Pak David mengangguk. “Oke kalau begitu. Bisa diatur. Kamu saya terima, nanti akan saya hubungi kembali untuk mengatur shift kamu bekerja, ya.”
Dela tersenyum senang. “Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak.”
***
Setelah melakukan wawancara dengan manager restaurant, Dela berjalan pulang dengan senyum yang mengembang. Sebelum memasuki rumah, Dela menarik napasnya sebentar. Ia yakin kalau ibu dan ayahnya pasti sudah pulang.
Sekarang sudah pukul sembilan malam. Bagi beberapa orang rumah merupakan tempat ternyaman ketika kita pulang, tapi bagi Dela tidak. Setiap kembali ke rumah, Dela pasti merasakan sesak. Dia tidak mendapatkan kenyaman di sana.
Suara pintu terbuka terdengar, terlihat Ibu dan Ayahnya yang duduk di sofa ruang tengah menoleh ke arahnya.
“Dari mana kamu?” tanya Alicia.
“Ngerjain tugas, Bu,” jawabnya berbohong. Dela tak ingin kedua orang tuanya tau kalau dia akan bekerja, karena bisa dipastikan semua gajinya akan mereka ambil seperti sebelumnya.
Saat menduduki semester tiga, Dela sempat bekerja. Tapi, seluruh hasil kerjanya selalu diminta Alicia dengan alasan, toko kue butuh modal. Padahal yang Dela lihat, Ibunya menggunakan uang itu untuk makan enak di luar sana.
“Cari kerja! Jangan cuma ngerjain tugas yang nggak berguna begitu.” Alicia kembali fokus menghitung uang yang ada di depannya. Mungkin hasil penjualan dari toko hari ini.
Dela berjalan menuju kamar, ingin membersihkan tubuh terlebih dahulu, kemudian merebahkan badan sebentar.
Baru selangkah ia melangkah, suara dehaman Anton terdengar. “Masakin makanan, Ayah lapar,” ucapnya tanpa melihat putrinya.
Dela tersenyum perih. Kata orang, cinta pertama anak perempuan itu ayahnya, tapi tidak bagi Dela. Dia tidak pernah mendapatkan cinta dari Anton, bahkan sekali saja Anton bertanya apa Dela sudah makan, mungkin Dela merasa itu hari terbahagianya.
Dela sering iri dengan Andin, meski berada jauh dari orang tua dia selalu mendapatkan kasih sayang yang melimpah. Padahal Andin bukan anak bungsu atau satu-satunya. Andin anak kedua dari tiga bersaudara. Sedangkan Dela? Dia anak bungsu yang sudah menjadi satu-satunya, dan berada di dekat orang tuanya, namun untuk merasakan kasih sayang itu hal yang mustahil.
Setelah meletakkan tasnya di dalam kamar, Dela langsung menuju dapur. Badannya sudah lengket, dan sangat gerah. Namun, apa boleh buat? Jika Dela tidak langsung menyiapkan makanan, dapat dipastikan kata-kata menyayat hati akan keluar dari mulut kedua orang tuanya.
“Bu, bahan-bahannya habis. Sisa telur aja di kulkas,” kata Dela berdiri di samping ibunya.
“Kok bisa habis? Kamu pemborosan, ya? Kan uda Ibu bilang semua bahan dihemat, kamu nggak bisa ngasih uang di rumah ini, kurangi jatah makan kamu! Kalau mau makan enak, kerja! Bukan belajar!” jawab Alicia menatap Dela dengan tajam, tak ada kasih sayang dalam pancaran matanya.
Dela meremas ujung kemejanya. Sakit? Tentu. Ibu yang diharapkannya memberinya pelukan saat kesusahan, malah membencinya.
“Ini uang pakai buat beli dua telur lagi di warung. Buruan masak, Ibu dan ayah sudah lapar.”
Dengan menahan tangis, Dela berjalan keluar rumah. Menepuk-nepuk dadanya yang terasa sakit.
***
Dela berjalan sendirian di jalan yang gelap, lampu jalanan memang sedang rusak sejak kemarin. Dilihatnya jam tangan yang melingkar di tangannya. Pukul sepuluh malam. Ya, Ibu dan Ayahnya menyuruhnya masak di jam segini karena kelaparan menonton televisi.
Tanpa perduli bagaimana keadaan sekitar, Dela terus berjalan. Kakinya terus melangkah, matanya menatap kosong ke depan. Di depan sana, terlihat beberapa preman yang memang selalu mengumpul di tempat itu. Dela tidak perduli akan itu, dia hanya ingin terus berjalan jauh.
“Hey, sendirian aja, Neng?” tanya salah satu preman yang memakai anting di telinga kirinya.
Dela menoleh ke arahnya, menatap datar sebentar kemudian lanjut berjalan lagi.
“Kalau disapa itu dijawab, Neng. Jangan sombong.” Laki-laki yang memakai tindik di hidungnya memegang pergelangan tangan kiri Dela.
Dela berhenti, menghempaskan tangan laki-laki itu dengan kasar. Seakan baru tersadar, Dela ketakutan.
“Saya orang miskin, nggak punya harta apa pun. Bahkan kasih sayang dari orang tua pun saya nggak punya. Saya cuma bawa dua butir telur,” kata Dela dengan polosnya.
Laki-laki yang memakai anting tadi ingin memegang Dela kembali, namun kegiatannya berhenti begitu menoleh ke belakang, melihat Dave yang mengeluarkan pisau dari saku bajunya.
Dave yang sengaja berjalan kaki menuju taman yang sering ia kunjungi, tidak sengaja melihat seorang perempuan yang berjalan sendirian melewati preman-preman itu.
“Ayo, pergi,” suruhnya laki-laki yang memakai anting pada anak buahnya.
Dela bingung kenapa preman itu tiba-tiba pergi, tapi dia tak ingin ambil pusing. Memikirikan kehidupannya saja hampir membuat kepada Dela pecah.
Sejujurnya, Dave tak mengetahui siapa perempuan yang berjalan tidak jauh di depannya ini. Namun, karena Dave masih memiliki rasa kemanusiaan meski sedikit, dia tetap berjalan mengikuti perempuan itu, hingga perempuan itu berhenti secara tiba-tiba dan menjerit sampai membuat Dave tersentak kaget.
“Aaaaaa ……” jerit Dela kemudian berjongkok memeluk lututnya. Perempuan itu menangis.
“Aku juga anak kalian! Bukan cuma Kak Lista! Aku juga butuh kasih sayang!” jerit Dela terisak.
Dave yang berdiri tak jauh di belakangnya, hanya diam mendengarkan perempuan itu mengeluarkan segala keluh kesahnya.
“Kematian Kak Lista bukan salahku! Aku nggak bersalah! Apa di mata kalian aku bukan manusia? Aku bukan anak kalian?!” Dela semakin memeluk lututnya. Pundaknya bergetar hebat, rasanya sesak sekali. Hampir 15 tahun lamanya, Dela merasakan ini semua.
Sekali lagi, rasa kemanusiaan yang Dave miliki membuatnya melakukan hal yang tak pernah ia lakukan pada orang asing. Dave memberikan jaketnya dan menyelimuti tubuh Dela, membuat perempuan itu tersontak kaget.
Dengan mata yang mulai bengkak dan berair, Dela mendongak, memastikan siapa orang yang memberi jacket hitam itu.
“Lo?” tanya Dela tak percaya. Meski dalam keadaan gelap, Dela masih bisa melihat wajah dan rahang tegas milik Dave—si pemilik b****g seksi.
“Lo kenal gue?” tanya Dave mengerutkan keningnya menatap Dela.
Dengan cepat Dela menghapus air matanya. Dia lupa, meski tampan dan pemilik b****g seksi, Dave ini tipikal laki-laki yang jarang berbaur, kecuali dengan perempuan-perempuan seksi yang mengejarnya. Wajar saja kalau Dave tak mengenal Dela, karena Dela tidak masuk kategori seperti perempuan-perempuan yang mengejar Dave.
“Lo nggak takut nangis sendirian malam-malam begini?” tanya Dave lagi yang ikut berjongkok di samping Dela.
“Bukan urusan lo.”
Dave mengangguk-anggukan kepalanya. “Dingin, lebih baik lo pulang. Bawa ini juga.” Dave memberikan pisau lipat di genggaman tangan Dela.
“Preman di sana tadi bukan lagi baik hati, tapi gue ancam pakai pisau ini makanya nggak jadi gangguin lo.” Dave berdiri, memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana.
“Satu lagi.” Dave melihat ke kanan dan ke kiri. “Kata orang, di sini banyak hantu kayak Mbak Kunti.” Setelah itu, Dave melangkah pergi meninggalkan Dela.
***
Pukul sebelas malam, Dela baru bisa membersihkan dirinya. Setelah memasak, Dela harus membersihkan rumah dan mencuci pakaian. Di rumahnya tidak tersedia mesin cuci, kata Ibunya itu pemborosan, jadi Dela harus mencuci pakai tangannya sendiri.
Dela merebahkan tubuhnya di kasur, menatap langit-langit kamar yang bewarna putih itu. Perempuan itu selalu bertanya, kapan ibu dan ayahnya bisa menyayanginya. Tapi sampai detik ini dia tidak menemukan jawabannya.
Suara getaran ponsel membuyarkan lamunan Dela, satu pesan dari Revo.
MyRev
Dela, aku rindu
Dela tersenyum, jarinya bermain di atas layar untuk membalas pesan dari sang kekasih.
Me
Tumben?
MyRev
Aku di depan rumah kamu, keluar bentar dong
Dela membelalakan matanya, untuk apa Revo di depan rumahnya di jam segini? Tapi, perempuan itu tetap bangkit dari tidurnya, berjalan menuju pintu untuk menemui Revo. Dengan pelan, Dela membuka pintu takut Ibu dan Ayahnya terbangun.
“Kamu ngapain di si---“
Belum sempat Dela meneruskan perkataannya, Revo sudah lebih dulu melumat bibir ranum gadis itu dengan kasar. Untungnya daerah rumah Dela sudah sepi di jam segini, jadi tidak akan ada yang melihat apa yang mereka lakukan.
Dela membalas ciuman dari Revo, karena memang dia membutuhkan itu sekarang, setidaknya dengan berciuman dengan Revo, semua bebannya hilang sementara.
Tidak sampai di situ, tangan Revo sudah turun ke bawah, meremas dua gundukan milik Dela. Merasa mereka sedang berada di luar, Dela melepaskan ciuman kemudian mendorong tubuh Revo dengan kasar.
“Kenapa?” tanya Revo. Kilatan nafsu tercetak jelas di matanya.
“Ini di luar, Rev. Di lingkungan rumah aku, kalau ada yang lihat gimana?”
Revo menoleh ke kanan dan ke kiri. “Nggak ada siapa-siapa.”
“Gak usah gila, sekarang kamu pulang sana, udah malam banget ini.”
Revo menggeleng, melangkah kaki agar lebih dekat dengan Dela. “Aku rindu kamu.”
“Kamu rindu tubuhku, Rev. Bukan aku.”