Dela berjalan santai menuju restaurant tempat dia bekerja. Kakinya yang kemarin luka juga sudah sembuh total. Jalanan lenggang, karena saat ini masih pukul empat sore yang artinya para pekerja belum waktunya pulang.
Perempuan itu melihat arlojinya, kurang lebih sudah dua puluh menit dia berjalan dari kampus menuju restaurant, ternyata jauh juga. Perempuan itu mengeluarkan botol mineral yang ia beli di kampus tadi.
Dela langsung mendorong pintu dan berjalan menuju kasir. Di sini, hanya tersedia dua kasir saja tanpa pelayanan. Para pembeli diarahkan untuk memesan kemudian menunggu pesanannya untuk disiapkan.
“Halo,” sapa Dela pada kasir sebelah kanan.
Laki-laki di balik kasir berdiri, dapat Dela tebak bahwa dia adalah rekan kerjanya. “Gue Dela, karyawan baru di sini,” kata Dela memperkenalkan diri.
“Gue Andika, panggil Dika saja,” ujar Dika seraya membuka rompi yang khusus dipakai saat bekerja dan memberikannya pada Dela.
Setelah selesai bersiap-siap, Dela langsung mengambil posisi. Berdiri di depan monitor kasir.
“Lo kenapa masih di sini?” tanya Dela melihat Dika yang masih duduk di area kasir, di samping Dela.
Dika mendongakan kepalanya. “Gue full hari ini, karena Pak David nggak bisa datang buat training lo, jadi gue yang ditugaskan.”
Kepala Dela manggut-manggut mendengar jawaban dari Dika.
“Udah siap training?”
Dela menganguk mantap.
“Oke.” Dika berdiri, memasukan ponselnya ke dalam saku. “Kenalin ini namanya Dylan.” Dika memperkenalkan laki-laki yang berdiri di samping Dela, kasir sebelah kiri.
“Hai, gue Dela,” ujar Dela melambaikan tangannya yang mendapatkan anggukan dan senyuman dari Dylan.
“Di sini terdapat empat kasir, di mana setiap shiftnya akan berpasangan. Jika kasir kanan perempuan, makan di kiri laki-laki, begitu juga di shift selanjutnya. Itu ..” Dika menunjuk ke arah perempuan yang terlihat bersiap-siap untuk pulang. “Namanya Clara, dia juga kasir.”
Lagi, Dela menganggukan kepalanya.
“Jadi setiap jam shift lo kerja, lo bakalan dikasih modal sebesar 200.000, itu uang pecahan kalau lo butuh kembalian nantinya.”
Dela diam, mendengarkan dengan serius semua penjelasan dari Dika.
“Ini monitornya layar sentuh, jadi lo tinggal tekan-tekan aja menu apa yang dia pesan. Di sini ada dua pilihan setiap mau pembelian paket, misalnya burger, kentang dan minuman. Nah, dia mau yang berukuran besar atau kecil. Lebih baik lagi, kalau lo tawarin yang besar, semakin banyak yang beli paket besar, bonus kita bakalan nambah,” ujar Dika menjelaskan.
“Oke siap,” jawab Dela.
“Dan ini,“ Dika menunjukan benda berbentuk bulat bewarna hitam. “Meski ini restaurant cepat saji, tetap aja bakalan ada kendalanya, entah kentang yang belum masak atau sebagainya. Nah, biar mereka berdiri nggak terlalu lama dan juga nggak memperpanjang antrian, lo bisa kasih mereka ini.”
“Ini buat apa? Cara pakainya gimana?” tanya Dela.
“Nanti ditombol ini, lo masukan kode dari benda ini, di sini sebutnya alarm. Setelah makanan selesai, lo tekan tombol finish di sini,” Dika menjelaskan dengan menunjuk layar monitor di depan Dela. “Ketika lo tekan tombol finish, alarm ini bakalan bersuara dan berlampu bewarna hijau, yang artinya makanan si pembeli tadi sudah siap dan dapat diambil.”
“Oke, gue paham.”
“Uda paham semuanya? Ada yang mau ditanyakan?”
Dela menggeleng. “Saat ini belum ada sih.”
Dika menganggukan kepalanya, kembali duduk di kursinya tadi. “Oke kalau begitu, selamat bekerja. Kalau ada yang nggak paham jangan sungkan nanyak ke gue. Semangat, ya,” ujar Dika dengan senyuman.
***
“Gue paket large ya, Dave,” pinta Jaka. Laki-laki itu menghembuskan asap yang keluar dari mulutnya ke atas.
Dave tak menggubris, dia langsung berdiri dan berjalan menuju kasir. Keningnya berkerut kala melihat perempuan dibalik kasir. Dave mengingat wajah dan senyumnya tapi tidak dengan namanya.
“Perempuan yang dirampok?” tanya Dave memastikan.
Dela melebarkan matanya melihat Dave yang beridiri di depanya namun dengan secepat kilat, keterkejutan Dela tadi berubah menjadi tatapan tajam. Tidak elite sekali predikat yang Dave berikan padanya.
“Nama gue, Dela. Candelaria, bukan perempuan yang dirampok,” sengit Dela tak terima. Tangannya mulai bergerak di atas monitor, menekan fitur menu.
Dave hanya mengindikan bahunya. Style Dave saat ini begitu keren di mata Dela. Kaus hitam yang dipadukan dengan kemeja hitam, celana yang Dave pakai sama seperti celana yang sering ia gunakan di kampus, ketat dan membentuk. Satu tangannya ia masukan ke dalam saku celana, dan tangan lainnya yang menunjuk menu.
“Hamburger dan kebab large masing-masing satu,” pinta Dave.
“Pakai kentang?”
Dave mengangguk.
“Minumnya mau apa?” tanya Dela lagi.
Dave tampak berpikir. “Apa yang enak aja,” jawabnya.
“Oke.”
“Lo kerja di sini?” tanya Dave.
Dela mendengus kesal mendengar pertanyaan Dave. “Menurut lo, Dave? Ya kali gue pelanggan tapi berdiri di sini. Ini hari pertama gue.”
Dave tak menjawab, tangannya mengeluarkan dompet dari saku celananya.
“Tumben lo nggak tidur? Totalnya 65000,” kata Dela saat melihat totalan pesanan Dave di monitor.
“Jaka yang maksa.”
“Buat makan aja lo harus dipaksa, ya, Dave?”
Dave menganguk. “Kalau lapar nggak perlu dipaksa juga, sih. Makasih, ya.” Dave berjalan menuju meja di mana Jaka berada bersama teman mereka lainnya.
“Lama banget lo mesan makanan untuk gue doang.”
Jaka berkomentar dan mendapat lirikan tajam dari Dave.
“Bercanda, elah. Seram banget mata lo.”
Jaka memang selalu takut jika Dave sudah meliriknya dengan tajam seperti tadi. Kalau kata Jaka, tatapan Dave itu seperti elang yang ingin menerkam mangsanya. Aura yang dirasakan Jaka pun berbeda kalau Dave sudah meliriknya.
“Siapa yang jadi kasir? Gue lihat lo akrab sama dia,” tanya Jaka.
“Dela.”
“Dela? Teman sekelas kita? Si pintar itu?”
Dave mengangguk.
“Kerja di sini dia?”
Lagi, Dave mengangguk.
“Salah nanyak orang gue,” gerutunya karena hanya mendapatkan anggukan dari Dave.
***
Dela melihat jam tangannya, sudah pukul sepuluh malam, saatnya dia pulang. Restaurant tempat Dela bekerja, bukan restaurant 24 jam. Restaurant ini buka dipukul tujuh pagi dan tutup di pukul sepuluh malam.
Selesai berganti pakaian, Dela pamit pada semua rekannya, baik yang di dalam dapur maupun Dylan sendiri. Perempuan itu berjalan keluar, mengeratkan jaket ditubuhnya kala ngina berhempus kencang.
Dela memeriksa ponselnya, tidak ada pesan dari siapapun, baik dari orang tuanya ataupun Revo. Sepertinya mereka memang tidak perduli dengan Dela.
Perempuan itu mendial nomer Revo, berniat meminta agar laki-laki itu mau menjemputnya. Namun tidak ada jawaban sama sekali.
Panggilan dari Andin masuk, segera Dela mengangkatnya. “Kenapa, Ndin?”
“Lo kok belum pulang kerja?”
“Gue di jalan pulang.” Tangan kanannya semakin mengeratkan jaket. Sepertinya malam ini akan turun hujan.
“Nggak naik ojol? Gue pesanin dari sini, ya.”
“Uang gue nggak cu—“
“Gue yang bayar! Nanti gue kirim plat mobil ojolnya.”
Dela memandangi layar ponsel, begitu panggilan di seberang telah diputus oleh Andin. Sedikit menghela napas, karena lagi-lagi dia merepotkan Andin.
Dela berjalan sedikit menuju kursi kosong di depannya. Mungkin dia akan menunggu ojol pesanan Andin di sana. Dela tersenyum tenang, duduk menikmati sudut-sudut jalan yang sepi dan lenggang seraya menikmati hembusan ngina yang kencang tidak pernah ia rasakan. Ini kali pertama.
Dibukanya aplikasi Intagram, melihat story yang Angela bagikan. Tangannya mengepal, melihat Revo yang tertawa bersama Angela di time zone, sekitar lima jam yang lalu.
Dela membatin, kapan Revo akan melakukan hal seperti ini dengannya. Hampir dua tahun berpacaran, Dela dan Revo tidak pernah berkencan layaknya sepasang kekasih. Dulu, Revo sering mengajaknya namun Dela selalu menolak karena sibuk dengan urusan rumah.
Dela kira, Revo akan mengerti akan dirinya. Ternyata salah, dia malah menghabiskan waktu dengan perempuan lain dan tidak ingin menyudahi hubungan mereka.
Lamunan Dela buyar begitu merasakan ponselnya bergetar. Nama Revo terpampang di layar ponselnya.
“Lo di mana?”
Senyum tipis terbit di bibir Dela, kakinya ia ayunkan. “Di dekat tem—rumah.” Dela tergagap. Dia lupa, kalau dia belum memberitahu Revo tentang diterimanya dia bekerja dan tentang ia pergi dari rumah.
Kalau Dela memberitahunya sekarang, laki-laki itu pasti marah-marah. Dela sudah begitu lelah karena bekerja dia tak ingin membuang tenaga lagi.
“Yakin?”
“Iya.”
“Oke, kalau gitu. Gue baru pulang main game barang Angela. Sekarang gue mau antar dia pulang.”
Panggilan terputus. Haruskah Revo bersikap terlalu jujur seperti itu? Apa tak pernah dia memikirkan perasanaan Dela? Meski seujung kuku saja?