Dela meletakan kopernya di sudut ruangan, matanya menjelajahi setiap sudut indekos Andin yang tidak cocok disebut indekos. Setau Dela, indekos itu hanya berukuran 4 x 3, tapi indekos Andin ini berukuran 5 x 4 dengan kamar mandi di dalam.
“Ini bukan indekos, Ndin,” kata Dela duduk di ujung kasur empuk yang Andin miliki.
“Lah, kan cuma satu ruangan, indekos dong, gue juga nggak tinggal sama orang tua,” jawab Andin yang terlihat sibuk memasak makanan untuk mereka dua.
Tadi, sebelum menuju indekos Andin, Dela sudah menghubunginya terlebih dahulu untuk memita izin menginap beberapa hari di sana. Andin yang memang sudah mengajaknya tadi siang langsung mengiyakan dan mengatakan akan menyediakan makanan untuk Dela.
“Lo masak apa, Ndin?”
“Mie carbonara, eh apa ya namanya? Gue dapat resep dari t****k sih. Pakai s**u full cream dan mie lemonilo yang rasa pedas korea,” jelas Andin.
Dela hanya mengangguk-anggukan kepalanya, dia tidak tau resep yang Andin katakan. Untuk membuka t****k saja, Dela tidak punya waktu, gimana dia mau tahu tentang resep itu.
“Lo mandi aja dulu, Del. Selesai mandi kita makan,” ujar Andin kembali.
Dela terharu, Tuhan begitu baik padanya memberikan Andin sebagai teman yang selalu membantu Dela.
“Makasih ya, Ndin. Lo baik banget sama gue,” ucap Dela seraya memeluk Andin.
“Sama-sama, Del. Gue senang bisa ngebantu lo kok. Jangan ngerasa sendirian, ya? Gue bakalan selalu ada buat lo,” jawab Andin membalas pelukan Dela.
Suara deringan ponsel di atas kasur, membuat Andin dan Dela melepaskan pelukan mereka dan sama-sama menoleh ke arah kasur. Sadar akan ponselnya yang bordering, Dela berjalan mendekat dan melihat nama Revo yang terpampang di sana.
Dela hanya memperhatikan layar ponselnya tanpa ingin menjawab panggilan dari Revo. Sakit hati melihat kedekatannya dengan Angela tadi masih membekas.
Revo
Lo di mana?
Kenapa panggilan gue nggak lo angkat?
Kata anak kampus, tadi siang lo bawa koper. Mau kemana?
Delavv
Kenapa baru sekarang nanyakin?
Oh ya, aku lupa. Tadi siang kan kamu SIBUK sama Angela J
Revo
Besok pagi temui gue di kantin koridor B
Dela menghembuskan napasnya pelan membaca pesan terakhir dari Revo dan tak ingin membalasnya. Laki-laki itu selalu sesuka jidatnya memerintah Dela, dan anehnya Dela tak pernah menolak itu.
“Kenapa? Revo gila?” tanya Andin yang mendapat anggukan dari Dela.
Andin yang sudah selesai memasak dan menatanya di atas meja, berjalan mendekati Dela. Perempuan itu berdeham sebelum berbicara. “Del, lo perempuan baik, lo berhak dapatin yang lebih baik dari Revo.”
Dela membalas tatapan mata Andin. “Tapi gue butuh Revo, Ndin.”
“Lo butuh dia dalam segi apa? Lo kemana-mana lebih sering sendiri kan? Bahkan sampai di rampok orang, lo juga ngerjain tugas sendirian, bahkan tugasnya Revo yang lebih sering lo kerjain. Lo kalau butuh uang juga nggak pernah dibantu Revo kan? Jadi, letak lo butuh dia itu di mana?”
“Hanya Revo yang mau nerima gue. Dari begitu banyaknya masalah yang gue hadapi, saat menerima perilaku manis Revo, gue merasa dicintai di dunia ini, Ndin,” jawab Dela. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Lalu gimana dengan perilaku buruknya ke lo? Gimana dengan dia yang sering pergi sama cewek lain? Gimana dengan dia yang lebih perduli dan perhatian sama sahabatnya dari pada lo pacarnya? Gimana dengan dia yang datangi lo saat mau memenuhi nafsunya aja? Lo nggak pernah mikirin itu, Del? Diri lo lebih berharga dari apapun, jangan beranggapan lo nggak dicintai di dunia ini.”
Dela menghela napas nelangsa, kemudian diam, tampak memikirkan semua yang Andin katakan, bahkan perkataan Dewa tadi siang pun muncul di kepalanya. Apa sekarang saatnya dia membebaskan diri dari semua penderitaan yang dia alami?
***
Tanpa mengetuk pintu, Dave langsung masuk ke dalam rumahnya. Rumah yang tadinya gelap, persekian detik berubah menjadi terang. Dave menatap datar pada sosok wanita paruh baya di depannya.
“Kenapa kamu pulang larut malam, Dave?” tanya Kiara—Ibu tiri Dave yang menikah dengan ayahnya saat Dave berada di umur enam tahun.
“Bukan urusan anda!” ketus Dave.
Kakinya ia langkahkan menuju tangga yang akan membawanya ke kamar di lantai dua. Di dalam rumah ini, hanya kamar tempat ternyaman bagi Dave. Dia masih bertahan di sana karena rumah itu milik ibunya yang sudah diberikan pada Dave. Namun, Papa-nya masih mengambil ahli rumah itu, belum memberikan seutuhnya pada Dave.
“Berhenti Dave,” intruksi Bayu—Papa Dave yang sudah berdiri di dekat Kiara dengan memasukan kedua tangannya di saku celana.
Dave membalikan tubuhnya, menatap datar dua orang yang sangat ia benci di dunia ini.
“Kapan kamu akan berubah? Sudah kepala dua, tapi sikapmu seperti anak umur lima belas tahun!”
Dave berdecih. “Apa yang harus diubah, Pa? Sejak kepergian Mama dan wanita itu masuk ke dalam rumah ini, sikap Dave seperti ini sudah melekat pada diri Dave.”
“Dia mama kamu! Apa kamu tak tau sopan santun? Papa kuliahkan kamu tinggi-tinggi ternyata tidak ada gunanya sama sekali! Kamu tetap anak yang tak tau diuntung.”
“Mamaku cuma satu dan bukan dia!” tegas Dave, langsung melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda tadi.
Kiara mengelus pundak Bayu, menenangkan laki-laki itu. “Pelan-pelan, Mas. Perlahan mereka pasti akan mengerti.”
Dave memang bukan anak tunggal. Dia anak bungsu dan memiliki seorang kakak yang berada di Amerika—mengikuti suaminya setelah menikah. Dulu, Dania—kakak Dave sering menasehati adiknya itu untuk mengontrol emosi dan perkataannya, agar tidak begitu membenci Kiara.
Seiring berjalannya waktu setelah kepergian Diana, Dave kembali lagi pada sosok Dave yang keras kepala. Dave kehilangan semua orang yang menyayanginya. Dave merasa sendirian.
***
Dela berdiri di depan indekos Andin tepat pukul tujuh pagi. Hari ini kelasnya sedikit lebih siang dari sebelumnya. Angin pagi yang mendesir membelai sisi wajah Dela, kala perempuan itu berdiri di depan pagar, menikmati hembusan angin.
Ini kali pertama Dela bisa menikmati angin di pagi hari dengan tenang, biasanya dia harus buru-buru memasak sarapan dan mengejar bus di depan komplek.
“Ngapai lo?” tanya Andin.
“Nikmati angin.”
“Masuk angin tahu rasa lo. Lagian kenapa udah rapi begini? Bukannya masuk jam setengah sembilan ya kita?” tanya Andin. Perempuan itu duduk di kursi yang disediakan di teras untuk bersantai ria, sambil menikmati teh hangat yang ia buat.
“Gue ada urusan.”
“Urusan apa? Berasa sekretaris presiden lo, ya.”
Dela ikut duduk di samping Andin, menyeruput teh hangat yang Andin sediakan. “By the way, gue udah diterima kerja,” ujar Dela memberitahu Andin. “Nanti sore hari pertama gue kerja,” lanjutnya.
Semalam sekitar pukul sembilan malam, saat Dela sibuk memikirkan ceramah dari Andin dan perkataan Dave di perpustakaan, Pak David menghubunginya dan mengatakan bahwa hari ini dia sudah bisa bekerja.
“Syukur lah, lo nggak perlu pusing lagi mikirin biaya kuliah. Lo harus dandan yang cantik, ya, Del,” kata Andin memberi saran.
“Loh kenapa?”
“Lo kan kasir, lebih sering bertatap muka dengan customer, kalau lo nggak dandan yang cantik pelanggan pada kabur. Coba lo dandan yang cantik, pelanggan bisa sering berkunjung, dan lo dapat bonus yang banyak, deh.”
Dela menggelengkan kepalanya, dari mana Andin tahu tentang hal itu? Dia saja belum pernah bekerja.
“Itu salah satu teknik marketing, Dela. Gue sering dengarin teman SMA gue yang bilang kalau manager tempat dia kerja tuh nyari karyawan yang good looking. Jadi, biar lo tetap dipertahankan di sana, lo harus belajar dandan mulai sekarang.”
Sebelum berdiri, Dela mengehela napasnya sebentar. Bukan dia tak mau melakukan apa yang Andin katakan. Masalahnya, Dela tidak memiliki alat-alat make up sama sekali, dia saja hanya memakai bedak bayi dengan tambahan sedikit liptint murah yang ia beli di pasar.
“Besok kalau nggak ada kelas, kita ke mall beli alat make up buat lo. Nggak usah mikirin uangnya, pokoknya lo ikut gue aja.”
Dela meringis mendengarnya. Andin memang orang terbaik yang Dela miliki. Perempuan itu melirik ke arah arlojinya, sesegera mungkin memakai sepatu. Pagi ini dia ada janji dengan Revo seperti intruksi laki-laki itu kemarin.
“Gue berangkat ya, Ndin. Ketemu di parkiran entar.”
Andin ingin berbicara, namun Dela keburu lari duluan dan meninggalkan Andin. Dela sudah bisa menebak apa yang ingin Andin katakan, tak lain dan tak bukan pasti menceramahinya tentang Revo.
***
Dela pikir dia akan lebih dulu sampai dari pada Revo, ternyata salah. Laki-laki itu sudah duduk manis di sana, bersama Angela yang ikut duduk di sampingnya. Ah, mereka memang terlihat sangat serasi. Harusnya dari dulu Dela menyadari ini.
Dela menghela napasnya, mencoba tersenyum dan berjalan mendekati mereka.
Raut wajah Revo seketika berubah kala melihat kehadiran Dela di depan mereka. “Duduk!” titahnya yang langsung dilakukan oleh Dela.
Dela menatap ke arah Angela yang menunjukan tatapan tak sukanya. Perempuan ini memang ahli dalam bermuka dua. Di depan Revo dan orang banyak dia akan pura-pura menjadi orang yang baik yang sangat perduli dengan Dela. Namun, bila saling menatap dengan Dela, sifat aslinya keluar, bahwa dia tak menyukai Dela.
“Kenapa lo biarin teman kamu jelek-jelekin, Angela?” tanya Revo to the point. Dela sudah menebaknya dari kemarin, bahwa Revo mengajaknya bertemu karena ingin memarahinya hanya karena tak membela sahabat yang paling dia cintai itu di depan orang.
Dela sampai bingung, sebenarnya siapa yang berstatus pacar Revo di sini?
“Aku nggak ada tenaga buat bela dia. Lagi pula apa yang dikatakan Andin itu benar, kok. Kamu lebih milih nemani Angela dan biarkan aku pergi sendirian kan?”
Revo memegang tangan Dela yang berada di atas meja, meremas kuat pergelangan tangan perempuan itu. “Angela sahabat gue, sudah sepantasnya gue nemani dia. Lo tau sendiri, Angela tinggal sendirian di kota ini. Harusnya sebagai pacar lo ngerti itu.”
Remasan di pergelangan tangan Dela semakin kuat, membuat perempuan itu meringis kesakitan. “Sakit, Revo!” Mendengar itu Revo langsung melepaskan cengkramannya. Bercak merah tercetak di sana.
“Kamu bilang sebagai pacar? Kapan kamu nganggap aku pacar? Kemana kamu waktu aku dirampok? Kemana kamu waktu aku butuh bantuan? Sama Angela kan? Berarti dia pacar kamu, bukan aku!” ucap Dela dengan nada tajam menunjuk ke arah Angela. Perempuan itu memegang lengan Revo, memasang wajah pura-pura ketakutannya, seakan Dela yang paling menyeramkan di sini.
“Sejak kapan lo berani ngelawan begini?” tangan Revo terulur menjambak rambut Dela yang terurai. Beberapa pengunjung kantin memperhatikan mereka.
Dengan sekuat tenaga, Dela melepaskan tangan Revo dari rambutnya. “Aku nggak tau apa yang terjadi sama kamu, padahal dulu kamu nggak begini sama aku dan kita baik-baik aja. Aku ngelakuin salah apa, Vo?”