“Bengkak amat tuh mata pagi-pagi?” tanya Andin yang baru sampai dan langsung mendaratkan bokongnya di samping Dela.
Semalam Dela menangis satu malaman, ketika mengingat hidupnya yang menyedihkan semenjak kepergian Callista. Dulu, sebelum kejadian itu terjadi, Dela selalu mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Setiap hari Minggu, mereka selalu bertamasya di taman depan komplek dan bermain bersama. Tapi, semenjak kepergian Callista semuanya berubah.
Dela akui, memang dia yang bersalah di sini. Jika, dia mendengarkan perkataan ibunya untuk tidak membeli permen sendirian pasti semuanya tidak terjadi. Dela tidak akan diculik dan Calissta--- kakaknya yang berusia tiga tahun lebih tua darinya tidak akan dibunuh secara tidak manusiawi.
Callista yang saat itu berusaha membuka ikatan kaki Dela, tiba-tiba ditusuk dari belakang, dan menyuruh adiknya untuk berlari sekencang mungkin. Bahkan, dalam keadaan kritis, Callista berusaha sekuat mungkin menahan kaki sang penculik agar tak bisa mengerjar Dela.
“Kok malah ngelamun, sih?” tanya Andin lagi saat merasa tidak ada jawaban dari temannya itu.
“Gue lelah hidup, Din,” ucap Dela dengan mata sayu menatap Andin.
“Ibu lo lagi, ya? Atau Ayah lo? Mereka berdua, deh. Kenapa sejahat ini, sih?” Andin memeluk Dela, menguatkan perempuan itu.
Dela menggeleng dalam pelukan Andin. “Bagi mereka anaknya cuma Kak Lista. Gue anak pembawa sial, ya, Din? Lo selalu sial kalau dekat gue?”
Andin menggeleng. “Gue bahkan ngerasa beruntung bisa berteman sama lo, Del. Lo anak yang baik, pantang menyerah. Buktinya lo tetap bertahan sampai semester akhir meski dengan beban sebesar itu kan?”
Dela melepaskan diri dari pelukan Andin. “Tapi kenapa Ayah dan Ibu gue belum bisa maafin gue? Bukan gue yang bunuh Kak Lista. Kalau begini jadinya, gue bakalan nyuruh Kak Lista pergi, biar gue aja yang dibunuh.”
“Ssstt …, jangan ngomong begitu, ah.” Andin memegang kedua bahu Dela. “Lihat gue, Del.”
Perempuan itu menurut.
“Lo hebat, lo kuat. Semua akan baik-baik saja. Lo punya gue yang bisa lo andalin kapan aja. Jangan sedih, oke?” Dengan air mata yang sudah jatuh, Dela mengangguk.
Andin benar, dia masih memiliki Andin di sisinya. Dela tidak sendiri. Dia harus bisa melalui ini semua.
Dela menghapus air matanya, “Bantu gue cari kerja, ya.”
“Lo mau kerja?”
Dela mengangguk sebagai jawaban.
“Kemarin temen gue bilang kalau dia mau resign gitu, terus suruh gue cari penggantinya. Lo mau nggak?” kata Andin seraya mengeluarkan beberapa alat make-up yang memang selalu berada di dalam tas. Mulai dari bedak, lipstick, mascara, eyeliner, semua itu tersedia di tas Andin.
Pernah Dela bertanya, apa alasan Andin membawa itu semua? Bahkan, terkadang Andin lupa membawa buku dan selalu ingat membawa make-up.
‘Gue cewek yang harus cantik, Del. Prinsip gue, harus cantik kapan pun dan di mana pun. Lo sih gue ajarin make-up nggak mau.’ Begitulah kira-kira jawaban yang selalu Andin berikan.
“Kerja apaan? Di mana? Nerima mahasiswa kan?” tanya Dela secara beruntun.
Andin terkekeh. “Satu-satu dong. Del. Ngalahin reporter lo. Jadi kasir supermarket, alamatnya gue belum tahu, sih, entar gue tanyakin. Kayaknya juga nerima mahasiswa, lagian kita kan uda semester lima. Bisa lah sambil kerja.”
“Gue mau coba dong, Din. Biar bisa bayar cicilan uang buku semester kemarin.”
Andin kembali memasukan peralatannya ke dalam tas. “Nanti gue bilangin ke dia, sekarang makan, yuk. Lapar gue.”
“Tapi bentar lagi kelas Pak Sukro.”
“Dia nggak datang, lihat noh grup.”
“Tapi, gue nggak punya uang, Din. Ibu cuma kasih pas-pasan buat ongkos aja.”
Andin melepaskan tangannya dari pergelangan tangan Dela. “Kebiasaan, deh, lo. Kita berteman uda hampir tiga tahun, dan lo masih masalahin tentang uang? Pakek uang gue! Gue nggak suka kalau gue ajak lo makan, jawaban lo kayak tadi, ya, Del.”
Dela tersenyum, menggenggam tangan Andin. “Makasih, Andin baik hati. Lo teman terbaik yang gue punya di dunia ini.”
***
Hal yang paling membosankan adalah menunggu, apalagi menunggu makanan seperti yang Dela dan Andin lakukan. Tadinya, Andin sudah mengajak Dela untuk makan di luar saja, tapi perempuan itu menolak. Dan berakhir seperti ini, menunggu makanan yang tak kunjung datang karena kantin sedang ramai-raminya.
Andin menatap ke arah pintu masuk, terlihat Dave dan Jaka—teman baik Dave berdiri di sana. Memakai kaus hitam yang ditutup kemeja merah dan celana jeans, membuat Dave terlihat seksi.
“Del, lo kenal Dave?”
Dela yang sedang memainkan ponselnya, mengangkat wajah. “Teman sekelas kita?”
Andin mengangguk. “Dia ganteng kan? Auranya itu seksi gitu di mata gue.”
“Inget lo udah punya Satria, Din.”
Bahu Andin merosot. “Kenapa harus diingetin, sih? Sesekali mata gue jelalatan kan nggak papa, sih. Gue normal Dela.”
Dela mengangkat bahunya kemudian fokus lagi ke ponsel yang ia genggam. Melihat instastory Angela yang berisi kegiatannya bersama Revo. Bicara tentang Revo, laki-laki itu belum mengabari Dela sejak semalam. Bahkan pesan yang Dela kirimkan belum dibaca sama sekali, padahal laki-laki itu sedang online.
“Itu si Dave punya pacar nggak sih, Del?”
Ternyata Andin masih fokus membicarakan tentang laki-laki pemilik b****g sexy di kelas mereka itu.
“Lo nggak salah nanya orang? Dave nggak punya pacar? Seantero kampus tahu kalau dia playboy, Din.”
Andin beralih menatap Dela. “Enggak, Del. Menurut lambe turah yang selalu ngasih gosip terakurat di kampus kita ini, kalau si Dave nggak pernah ngajak cewek mana pun buat jadian.”
“Lah, jadi kenapa dicap playboy?” tanya Dela tak mengerti.
Andin mengangkat bahu dan alisnya secara bersamaan, untuk mengekspresikan kalau dia tak tahu apa alasan Dave dicap playboy.
“Mungkin karena dia sering terlihat sama cewek sana-sini kali. Lo lihat aja noh.” Andin mengarahkan matanya ke arah meja di mana Dave, Jaka dan Inez—perempuan cantik, memiliki body bagus, dan anak dari rektor di kampus mereka, sedang bergelaut manja di lengan Dave.
Dela menoleh ke belakang sebentar, kemudian balik lagi menatap Andin.
“Kemarin sama si Cila, sekarang Inez. Besok siapa lagi?”
“Mana gue tau,” jawab Dela.
Andin memegang tangan Dela, mendekat diri ke arah Dela. “Tapi gue penasaran banget sama bokongnya Dave. Pakai celana aja kelihatan sexy, gimana kalau nggak pakai, ya?”
Dengan cepat Dela langsung memukul lengan Andin dengan kuat. Bisa-bisanya dia penasaran dengan hal seperti itu.
***
Pulang dari kampus, Dela langsung membersihkan rumah dan memasak makanan untuk kedua orang tuanya. Tubuhnya sudah begitu lelah, dia tak ingin mendengar ocehan dari ibunya lagi yang bisa membuatnya gila.
Berhubung bahan di kulkas sudah menipis, Dela hanya memasak telur goreng untuk makan malam.
“Selesai,” ucapnya begitu mendaratkan b****g di sofa empuk yang berada di ruang tengah.
Dela membuka ponselnya membaca pesan dari Andin, perempuan itu mengirikam alamat supermarket yang ia bicarakan tadi siang. Hanya sekitar 20 menit dari rumahnya jika menggunakan motor, kalau berjalan kaki lumayan jauh juga.
Perempuan itu mengetikan kata terima kasih pada Andin, menutup roomchat, dan beralih ke roomchat Revo. Masih sama seperti tadi pagi, Revo belum membalas pesannya padahal sudah melihat Snap w******p milik Dela.
“Aku lelah, Vo.” Perempuan itu memilih merebahkan tubuhnya. Dia benar-benar lelah dengan semunya.
Pukul sepuluh malam, Dela baru terbangun dengan keadaan rumah yang gelap. Orang tuanya belum pulang juga. Dela berjalan gontai menuju saklar untuk menghidupkan lampu-lampu di rumahnya.
Suara pintu terbuka terdengar, terlihat Anton dan Alicia yang baru pulang dengan barang belanjaan di tangan mereka berdua.
“Tumben lama, Bu?” tanya Dela dengan senyuman.
“Ibu sama Ayah belanja baju dulu tadi. Toko kue kita dapat 500 pesanan kue besok.”
Dela tersenyum lebar, “Wah, bagus dong. Dela boleh ikut bantu besok, Bu?”
Anton menatap tajam ke arah Dela. “Nggak usah! Kamu bawa sial, entar yang ada mereka nggak mau pesan lagi.”
“Tapi Dela mau belajar buat kue, Yah. Dela mau punya toko kue sendiri juga.”
“Nggak usah! Kamu nggak akan bisa! Cuma Lista yang bisa buat kue seenak buatan kami!”
Dela sangat menyukai kue. Bahkan berniat pindah jurusan saat semester dua kemarin, agar dia bisa lebih dalam mempelajari untuk membuat kue. Tapi, Ayah dan Ibu-nya melarang. Mereka bilang, biayanya sangat mahal, mereka tak punya uang untuk membiayai Dela. Padahal sekarang pun, orang tuan-nya ogah-ogahan membiayai pendidikan Dela. Perempuan itu sering mengambil job untuk mengerjakan tugas orang lain agar bisa memenuhi segala kebutuhan kuliahnya.
Dela juga sempat belajar dari internet dan mencoba membuatnya di rumah, tapi Anton dan Alicia langsung marah mengetahui hal itu. Bagi mereka, Dela tidak memiliki bakat apa pun. Hanya Callista yang ahli dalam semua hal.
“Yaudah kalau nggak boleh, Yah. Itu Dela sudah masak tadi sore, ada di meja makan,” ucap Dela.
Alicia melihat Dela dengan remeh. “Nggak perlu, kamu aja yang makan. Ayah dan Ibu sudah makan di restaurant mahal tadi.”
Lagi-lagi Dela merasakan sakit. Mereka bisa menghamburkan uang untuk membeli baju baru dan makan di tempat yang enak. Sedangkan untuk pendidikan Dela, mereka selalu mengatakan tak punya uang.
Sesakit inikah rasanya dibenci di keluarga sendiri?
‘Kak, Lista. Kamu beruntung di atas sana. Bisa kita berganti posisi? Atau mungkin, bisakah kau membawaku bersamamu?’