Bab 13. RDK

1417 Kata
“Jovanka! Siapa yang berani merusak harga diri keluarga kita, hah? Adelio?” tanya ayah dari Jovanka. “Bukan, Yah. Dia namanya, Rey. Aku menjalin hubungan dengan dia di tengah hubunganku dengan Adelio. Aku menduakan cowok yang benar-benar tulus menjagaku hanya untuk manusia berhati iblis itu,” jawab Jonka dengan suara serak sebab menahan tangisnya. “Sekarang, antarkan aku ke rumah Rey yang kamu maksud. Ayah nggak ingin, cucuku nanti tak memiliki ayah yang bertanggung jawab." Jovanka pun seketika menganggukkan kepalanya tanda ia mengiyakan ajakan ayahnya. Jovanka, berserta ayah dan ibunya segera beranjak dan melangkahkan kaki menuju mobil. Mereka hendak menuju rumah Rey yang selama ini diketahui oleh Jovanka. Mereka pun tak jalan bareng dan peri ke rumah Rey itu. Jovanka hanya sering menjemputnya di depan rumah dan bahkan jika mengajaknya tidur pun di ajak ke kosan dengan alasan, dia jarang di rumah malas sama kedua orang tuanya yang katanya sama sekali tak respek dengannya. Ayah Jovanka melajukan mobilnya sesuai petunjuk yang diberikan oleh anaknya. Sesampainya di sana, mereka melihat rumah di balik pagar yang terbentang luar dan mewah. "Ini rumahnya, Nak?" tanya Nyonya Nesa menanyakan kebenarannya. "Iya," jawab Jovanka dengan lirih. Ayah Jovanka memarkir mobilnya tepat di depan rumah itu, lalu mereka perlahan turun. Nyonya Nesa bergegas memencet belnya, agar penghuni rumah tahu jika sedang ada tamu. Tak berselang lama penghuni, seorang wanita paruh baya keluar dan membukakan pintunya. "Mau cari siapa, Tuan, Nyonya?" tanya ibu itu. "Reynya ada, Bu?" tanya Jovanka kembali. "Den Rey? Oh, ada silahkan masuk," ajak ibu itu. Perasaan lega Jovanka kala mendengar Rey kekasihnya ada di dalam. Dia mencoba meyakinkan hatinya, bagaimana pun tanggapan Rey nantinya Jovanka mencoba tegar. Entah, nanti mereka mampu menikah dan pisah lagi, yang terpenting anak ini memiliki status ayahnya siapa. Mereka pun melangkah masuk ke dalam rumah itu. Sedangkan wanita yang menyambutnya berjalan ke belakang untuk memanggilkan majikannya. Tak berselang lama, keluar seorang wanita yang usianya sama dengan Nyonya Nesa dan anak pria tampan mengekor di belakangnya. "Eh, ada tamu. Ada apa, ya?" tanya wanita cantik yang menghampirinya. Beliau dengan sopan menjabat tangan tamunya, begitu juga pria tampan yang ada di belakangnya. "Ini mamanya, Rey?" tanya Nyonya Nesa. "Iya, saya mamanya Rey. Kenapa, ya?" wanita pemilik rumah itu duduk sembari memasang wajah kebingungan. Saat orang tuanya mencoba menjelaskan, si Jovanka menatap anak lekaki yang bersama wanita pemilik rumah itu dengan wajah kebingungan. "Jadi gini, saya ke sini dengan istri dan anak saya, ingin meminta pertanggung jawaban anak Anda si Rey," ujar ayah Jovanka memulai permasalahan ini. "Tanggung jawab?" gumam wanita itu bersamaan dengan anak lelaki yang bersamanya. "Iya, ini anak saya Jovanka sedang mengandung anak Rey. Kami hanya ingin meminta pertanggung jawaban darinya," tambah ayah Jovanka. "Loh, kenapa harus saya? Saya sama sekali tak mengenal anak Anda, macam mana saya harus bertanggung jawab apa yang tak pernah saya perbuat," elak wanita itu. "Kamu, Rey?" tanya Jovanka dengan wajah linglung. "Iya, aku Rey. Kamu siapa? Aku sumpah demi Allah, tak pernah mengenal kamu. Bertemu aja baru hari ini," jawab Rey. Dengan pertanyaan Jovanka, justru membuat kedua orang tuanya bingung. "Kenapa, Jov? Apa benar Rey, dia?" tanya Ayahnya ikut kebingungan. "Bukan dia, Yah. Lalu, apa ada Rey lain di rumah ini?" tanya Jovanka ke pemilik rumah. "Nggak ada, Nak. Anak saya dua, pertama si Rey ini yang kedua Adinda dia perempuan. Apa kalian salah alamat? Kok kebetulan banget namanya sama dengan anak bujangku," jawab wanita pemilik rumah. Jovanka mencoba mengingat apa yang sudah ia lalui bersama Rey kekasihnya. "Saya sering menjemput kekasih saya tepat di depan rumah ini, kok. Berkali-kali, walaupun belum pernah sih diajak untuk masuk ke dalam rumah," jelas Jovanka. "Bentar, biar saya panggilkan seluruh penghuni di sini. Barang kali ada salah satu dari mereka," ujar wanita itu dengan baik, walaupun tahu keluarga Jovanka salah tuduh ke anaknya. Jovanka hanya menganggukkan kepala, sedangkan kedua orang tuanya mengiyakan langsung ucap wanita itu. "Tunggu bentar, ya." Rey pemilik rumah ini sangat baik dan ramah. Jovanka panik, otaknya serasa buntu dengan kenyataan yang ada. Tak berselang kama, mamanya Rey datang dengan mengumpul semua orang yang berada di sini. Dari semua orang, tak satupun wajah mereka yang di kenal oleh Jovanka. "Bukan mereka," jelas Jovanka. "Lalu, Rey siapa? Kenapa di tujukan ke rumah ini?" tanya ayah Jovanka. "Nggak tahu, dia selalu kujemput dan antar di depan rumah ini. Entahlah, memang aku bodoh," ujar Jovanka yang sudah putus apa dengan apa yang ia alami saat ini. "Apa nama Rey hanya untuk dalih semua kebohongannya? Kok bisa sih, Nak. Kamu bekum tahu seluk bekuk dia, kamu berikan semua yang ada dalam dirimu. Ya Allah," sahut mamanya Rey. "Ya begitulah, orang kalau boddoh! Sudah memiliki kekasih yang tulus dari keluarga yang jelas asal dan usulnya, malah mendua dan memberikan semua hal yang ada pada dirinya ke orang yang salah. Biarkan saja, mau ngapain terserah!" hardik ayah Jovanka. Jovanka bersujud di kaki kedua orang tuanya. "Ampuni aku, Yah. Iya, aku memang boddoh, hanya memikirkan kesenangan tanpa memikirkan ke depannya seperti apa. Ampuni aku, Ibu, Ayah. Hukum aku bila itu membuat kalian bahagia," ujar Jovanka sembari menangis sesenggukan. "Aku bantu kamu cari yang namanya, Rey ini, ya. Aku hanya ingin tahu, apa maksud dia menggunakan namaku untuk kebohongannya. Apa ada dendam dia denganku?" gumam Rey. "Ada fotonya nggak, barang kali Rey atau Ibu pernah tahu," pinta mamanya Rey. Jovanka beranjak dari tempat duduknya, lalu meraih ponsel yang ada di sakunya. "Ini." Jovanka memberikan ponselnya ke mamanya Rey. Terlihat Rey dan mamanya kebingungan. "Kok aku nggak pernah ketemu anak ini, ya? Eh, lalu kenapa harus ke rumah kita, Ma?" gumam Rey. "Mama juga nggak kenal, sih. Apa memang namanya beneran, Rey. Tapi hanya saja dia biar kelihatan rumah mewah pakai rumah kita." Mamanya Rey menduga-duga. "Nah, mungkin seperti itu. Lalu, kalau kamu nggak pernah di ajak ke rumahnya, lalu maaf kamu diajak begituan di mana?" tanya Rey. Jovanka sebenarnya malu untuk menjawab, tetapi demi kejelasan hidupnya dia harus menjawab dengan jujur. "Aku diajak dia ke kosannya. Dia bilang, keluarganya nggak respek makanya dia sering tinggal di kos itu. Entahlah, aku percaya saja sama dia." Jovanka menjelaskannya. "Dasar boddoh, mulut lelaki jangan sepenuhnya dipercaya. Nggak semua orang baik, Jovanka. Ah." Ayah Jovanka terlihat sangat kesal. Jovanka hanya menundukkan kepalanya, dia tahu ayahnya marah. Memang ini yang harus ia terima kala akal tak sejalan dengan hatinya. "Maafkan aku, Ya," ujar Jovanka lagi. "Sudahlah, Pak. Kasihan anaknya, kami bantu cari. Apa yang sudah terjadi, ya dilewati saja. Semoga Bapak sekeluarga mampu melewati ini dengan baik," sahut mamanya Rey mencoba menengahi. Beliau tak ingin mendengar keributan di rumah ini. "Kamu tunjukan kosnya saja, kita datangi dia sekarang," pinta Rey. Mereka pun segera beranjak dan mengendarai mobil dari keluarga Jovanka. Tak ada pilihan lain selain itu, sebab hanya Jovanka yang mengetahui di mana letak tempat tinggal kekasihnya itu. Sesampainya di kosan, Jovanka segera turun dan berlari menuju kamar yang biasa ia gunakan. Ketukan pintu berkali-kali sama sekali tak ada dahutan. "Rey, buka pintunya,"pinta Jovanka. Tetap tak ada sahutan, hingga tetangga kosnya keluar. "Cari siapa, ya?" tanya tetangga kosan yang berada di sebelah kamar Rey yang di maksud Jovanka. "Rey, pemilik kamar ini di mana, ya?" tanya Jovanka lagi "Loh, Rey yang mana? Kamar ini kan untuk di sewa harian, kalau yang nempatin asli sih nggak ada. Dari kamar nomor sepuluh hingga dua puluh hanya untuk penyewa harian sih," ujar tetangga kos itu. "Lah jadi, kamar ini nggak ada yang menghuni tetap?" tanya Jovanka semakin terkejut. "Nggak ada, sih. Tiap hari ganti-ganti penghuninya, jadi nggak hafal siapa yang sering makai," jawab tetangga kosan itu. Jovanka terbelalak. Dia tak tahu rasa sakit yang seperti apa bersarang dalam hatinya saat ini. Dia tak tahu, ada orang yang sejahat ini menipu dengan cara seperti ini. Jovanka menangis tersedu-sedu, tak tahu apa yang harus ia lakukan lagi. "Lalu, dia siapa? Kenapa harus seperti ini?" Jovanka berteriak dan menangis secara histeris. Tangisan penyesalan yang harus ia rasakan. Tak tahu harus menyalahkan siapa, sebab ada kemauan dalam dirinya sendiri sebelumnya. Dia tak tahu harus mencari ke mana dan meminta pertanggung jawaban kepada siapa dalam keadaan seperti ini. Jovanka yang semula berdiri, perlahan menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Derai air mata tak mampu merubah segalanya. Apa yang sudah terjadi menjadi sebuah penyesalan. "Orang itu, kalau punya otak dipakai. Apa sih, yang membuatmu terlena dengan orang yang belum tahu seluk beluknya. Jelas-jelas ada Adelio yang mapan, dan dari keluarga yang terpandang menjadi pasanganmu. Kau membuang permata demi sebuah batu kali, Jovanka. Kau hanya akan menuai sebuah hinaan untuk keluarga kami. Sangat memalukan!" Ayah Jovanka yang kesal, pun tak bisa mengontrol ucapannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN